JAKARTA, 12 Desember 1947. Malam baru saja melangsungkan waktunya beberapa jam saat para penonton di Bioskop Capitol Pintu Air (sekarang Jalan Ir.H. Djuanda) dikejutkan suara menggelegar dari luar. Situasi menjadi kacau. Para penonton berhamburan. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat pemandangan mengerikan di jalanan: 12 serdadu bergelimpangan dalam kondisi berdarah-darah. Sebagian besar kemungkinan sudah tak bernyawa lagi.
Menurut A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VI: Perang Gerilya Semesta I, aksi pelemparan granat terhadap truk militer Belanda itu dilakukan para gerilyawan kota dari unit Pasukan Berani Mati pimpinan Sersan Mayor Hindoroto.Unit ini terkait dengan grup rahasia bernama Field Preparation Barisan Hitam (FPBH) yang pada 1 Februari 1948 kemudian berubah nama menjadi Satuan Pemberontak 88 (SP 88).
Baca juga: Pencipta Neraka di Barat Jawa
Nama SP 88 tak bisa dipisahkan dari sosok Letnan Kolonel Oesman Soemantri. Dia adalah satu pendiri dan otak di balik strategi yang dijalankan SP 88. “Pak Oesman terkenal sebagai perwira cerdas. Kemampuan berbahasa asingnya bagus,” ujar Gar Soepangat, mantan anak buah Oesman di SP 88.
Oesman lahir di Jakarta sekitar awal 1920. Tak banyak orang tahu jika pemuda berkulit putih itu merupakan cucu penyair besar Betawi: Muhammad Bakir. Tak heran Oesman pandai melukis dan bisa menulis puisi. “Karena ketampanan dan kemampuannya dalam bidang seni, Pak Oesman dikenal sebagai perwira yang berjiwa romantis,” kata Soepangat, lelaki kelahiran Purwakarta pada 1928 itu.
Dalam kenangan Masdoeki (102 tahun), Oesman tersohor sebagai perwira flamboyan. Dia dikenal dekat dengan beberapa perempuan cantik di Purwakarta dan Karawang. Karena kedekatan itu, banyak lelaki diam-diam menyimpan rasa cemburu kepada sang perwira.
“Ya wajar saja, dia memang orangnya menarik bagi siapa pun,” kata Masdoeki, mantan anggota intel dari Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) Purwakarta.
Baca juga: Di Bawah Simbol Banteng
Selama 1948, nama Oesman terdongkrak karena aksi-aksi kesatuan yang dipimpinnya. Penculikan orang-orang yang diduga sebagai mata-mata hingga penggulingan kereta api milik militer Belanda di wilayah Cikampek dan Purwakarta. Di Jakarta, SP 88 pun terlibat dalam berbagai aksi penggranatan dan aksi mogok para buruh kereta api.
Wajar saja jika intelijen militer Belanda memburu para dedengkot gerilyawan SP 88. Salah satu operasi perburuan yang hampir berhasil terjadi pada 21 Agustus 1948, ketika sepasukan militer Belanda menyebu Markas Kantor Staf SP 88 di Desa Sukamanah, Purwakarta. Kendati berhasil menawan istri Oesman dan dua perwira pertama SP 88, Oesman lolos dari kepungan.
“Delapan anggota SP 88 menjadi korban, empat di antaranya langsung tewas di tempat,” ujar Kartam (91 tahun), eks gerilyawan di Desa Sukamanah.
Oesman memang kerap lolos dari sergapan militer Belanda. Bisa jadi itu disebabkan instingnya sebagai seorang intel sangat tajam. Namun di balik kepopulerannya sebagai gerilyawan Republik, banyak rekannya di organ perjuangan mencurigai Oesman “bermain di dua kaki“. Terlebih setelah salah seorang anak buahnya pernah memergoki Oesman tengah berbincang akrab dengan beberapa perwira Belanda di wilayah Purwakarta kota.
“Itu jelas fitnah. Masak hanya karena menguasai bahasa Belanda, Pak Oesman dianggap pengkhianat? Bisa jadi dia pernah berbincang dengan tentara Belanda tapi saya yakin itu dilakukannya kala dia berperan sebagai seorang intel,” ujar Soepangat.
Pada pertengahan 1949, Oesman dipanggil ke Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Baru beberapa hari pulang dari Yogyakarta, di sebuah tempat bernama Tegaldanas (masuk wilayah Karawang), tiba-tiba Oesman terjungkal karena sebuah tembakan dari jarak jauh yang tepat mengenai kepalanya. Penembak jitu yang mengakhiri hidupnya itu diidentifikasi bernama Dul Aceng yang didampingi Debot, dua anak buah Oesman di SP 88. Menurut Soepangat, Debot dan Dul Aceng melakukan aksinya karena perintah dari seorang letnan bernama Gandakoesoemah.
“Saya tidak tahu alasannya Letnan Gandakoesoemah memerintahkan Debot membunuh Oesman. Bisa jadi karena dia termakan fitnah yang ditiupkan oleh intel Belanda,” ungkap Soepangat.
Sebelum Oesman Soemantri, pada pertengahan 1948, militer Belanda juga berhasil meringkus salah satu pentolan jaringan SP 88 di Jakarta. Namanya Yudo. Saat ditahan di Penjara Cipinang, Yudo dikenal sebagai narapidana yang kerap beberapa kali melarikan diri. Karena itu, militer Belanda kemudian memutuskan untuk mengganjarnya dengan hukuman mati. Alih-alih menyesal, Yudo malah menyatakan diri iklas menjalani hukuman tersebut.
“Saya hanya satu punya jiwa dan dengan iklas akan saya berikan demi kebahagian 70 juta jiwa bangsa saya,” demikian seperti dikutip oleh A.H. Nasution dalam bukunya di atas.
Saat akan dieksekusi, Yudo menolak untuk ditutup matanya. Berpakaian putih-putih, dia secara tabah memandang lurus para prajurit yang akan menembaknya, lantas berpidato: “Janganlah pemuda-pemuda turut seperti saya, melainkan harus lebih lagi dari saya!”
Begitu peluru menembus dadanya, dia tak langsung gugur. Terpaksalah, komandan regu tembak memuntahkan peluru pistolnya dari dekat ke tubuhnya hingga dia benar-benar tewas.
Baca juga: Di Balik Kematian Wolter Mongisidi