BEBERAPA waktu lalu jagat media sosial sempat dihebohkan dengan perlakuan brutal sekelompok vandalis di Cianjur, Jawa Barat, yang menghancurkan tiga Tugu Penjelas Nama Jalan (TPNJ). Salah satu TPNJ itu menginformasikan riwayat seorang pejuang kemerdekaan bernama Soeroso. Siapakah dia?
Dalam blog pribadinya, Ahmad Samantho menyebut Soeroso sebagai salah satu kakeknya. Menurut penulis sejarah asal Bogor itu, Soeroso memiliki nama lengkap Raden Soeroso dan merupakan putra dari Raden Soemarsono yang pernah tinggal di wilayah Cibalagung (masuk dalam wilayah Ciomas, Kota Bogor).
“Ketika masih kecil, saya sering melihat lukisan pinsil Kakek Soeroso dipajang di rumah Eyang Uti (nenek Samantho) dan di rumah Mbah Buyut Soemarsono,” ungkap Samantho.
Keterangan Ahmad Samantho ditegaskan oleh Sukarna (98). Kepada saya, eks pejuang kemerdekaan di Bogor itu berkisah bahwa Soeroso masih terhitung pimpinannya di BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia) cabang Bogor. Ketika sedang hebat-hebatnya perlawanan para pejuang Indonesia terhadap pasukan Inggris pada awal 1946, secara sukarela Soeroso bersama 10 anak buahnya hijrah ke Cianjur.
Baca juga: Di Bawah Simbol Banteng
“Karena saat itu konvoi tentara Inggris sering melewati Cianjur, Pak Soeroso memutuskan untuk “menunggu” mereka di sana,” ujar Sukarna.
Di kota penghasil beras itu, Soeroso lantas membangun basis perlawanan. Selain melatih para pemuda setempat, dia pun terlibat aktif dalam pengadaan senjata untuk melawan musuh. Dalam sebuah dokumen berjudul “Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1942—1949” yang disusun oleh Tim Sejarah Dewan Harian Cabang Angkatan 1945 Kabupaten Cianjur, dikisahkan Soeroso pernah menyumbang 10 senjata bekas tentara KNIL kepada para pejuang yang beroperasi di Cipanas.
Dalam buku Pertempuran Konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946, Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi (Komandan Resimen ke-13 TRI Komandemen Jawa Barat) menyebut nama Soeroso sebagai pimpinan gerilyawan kota yang aksi-aksinya sangat impresif. Dalam suatu aksi penghadangan di pusat kota Cianjur pada Maret 1946, Soeroso dan anak buahnya berhasil mengganggu pergerakan Bataliyon 3/3 Gurkha Rifles (suatu kesatuan elit militer Inggris dari Divis ke-23 British India Army) dari Bandung ke Sukabumi.
Bersama gerilyawan-gerilyawan lain dari Yon 3 Resimen III TRI, Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, Lasykar BBRI pimpinan Soeroso (lebih dikenal sebagai Pasukan Banteng Soeroso) melakukan penyerangan lewat aksi hit and run terhadap Yon 3/3 Gurkha Rifles yang diperkuat oleh tank Sherman, panser wagon, brencarrier dan truk-truk berisi pasukan. Kendati hanya menggunakan molotov cocktail (bom sederhana yang terbuat dari botol yang diisi bensin dan disertai sumbu) dan beberapa pucuk senjata saja, mereka melakukan serangan terstruktur khas tentara Jepang dari sudut-sudut pertokoan dan lorong-lorong rumah yang berderet sepanjang pusat kota Cianjur.
“Bagi para serdadu Gurkha Rifles, situasi itu cukup membingungkan. Mereka hanya bisa bertahan dan membalas serangan tersebut sekenanya dari balik kendaran-kendaraan tempur mereka… ” kata Eddie Soekardi.
Baca juga: Neraka Pasukan Gurkha
Ketidakberdayaan salah satu satuan elit militer Inggris dalam Perang Dunia II sempat dicatat oleh sumber Inggris sendiri. Dalam The Fighting Cock: The Story of The 23rd Indian Division, Kolonel A.J.F Doulton memuji pergerakan taktis gerilyawan Indonesia yang sempat membuat para serdadu Gurkha panik dan terpukul.
“Ini menjadi suatu bukti, orang-orang Indonesia mengalami kemajuan dan semakin militan…” tulis Doulton.
Tetapi karena kurang lengkapnya persenjataan para pejuang Indonesia, Cianjur pada akhirnya jatuh juga ke tangan tentara Inggris. Sebagai markas, para prajurit Inggris memilih bekas gedung Pabrik Es (sekarang menjadi Gedung Gelanggang Muda Cianjur). Pasukan Banteng Soeroso sendiri kemudian menyingkir ke arah Pasar Suuk (sekarang Jalan Barisan Banteng) dan mendirikan markas di sebuah rumah yang ditinggal pemiliknya (sebuah keluarga Belanda).
Zoehdi (95) masih ingat bagaimana Soeroso kerap melatih anak buahnya berbaris di sekitaran Pasar Suuk. Bunyi aba-abanya yang khas dan terdengar tegas, seolah menembus rimbunan pohon-pohon mahoni yang saat itu banyak tumbuh di sana.
“Saya mengenang Pak Soeroso itu sebagai pemuda pemberani, badannya kekar dan sorot matanya tajam menantang, mirip seekor banteng muda”ungkap eks anggota milisi Angkatan Pemoeda Indonesia (disingkat API, sebuah milisi perjuangan rakyat Indonesia yang didirikan pada akhir 1945) tersebut.
Keberanian Soeroso memang sangat populer di kalangan para pejuang Cianjur saat itu. Dikisahkan oleh Zoehdi, Soeroso pernah nekad mengejar sebuah pesawat tempur Inggris hanya menggunakan sepeda motor dan sebuah stengun.
Akhir 1946, tentara Inggris mulai meninggalkan Indonesia. Sebagai penggantinya maka tentara Belanda mulai bermunculan dan menjadi penguasa sebenarnya. Situasi tersebut jelas membuat para pejuang Indonesia semakin menguatkan perlawanannya. Mereka tak mau Belanda menjajah lagi untuk kedua kalinya. Di Cianjur, nyaris setiap hari hidup tentara pendudukan tak pernah tenang. Selalu saja ada dari mereka yang terbunuh atau hilang diculik gerilyawan Republik. Salah satunya adalah Pasukan Banteng Soeroso.
Dengan modal senjata seadanya, hampir tiap malam, mereka melakukan aksi teror terhadap asrama militer Belanda yang berada di wilayah Kampung Tangsi (sekarang menjadi Gang Pangrango) dan induk pasukan mereka yang bermarkas di Joglo (sekarang menjadi gedung Komando Distrik Militer 0608 Cianjur, Toserba Slamet, gedung Markas Corps Polisi Militer). Merasa terganggu dengan serangan-serangan Banteng Soeroso ini, maka militer Belanda kemudian melancarkan suatu operasi intelijen untuk menjebak pimpinan milisi Republik itu.
Baca juga: Tokoh di Balik Takluknya Tentara Inggris di Sukabumi
Maka disebarlah telik sandi ke pinggiran kota dan pelosok desa. Setelah semua informasi terkumpul, intelijen militer Belanda lantas membuat skenario penangkapan. Singkat cerita, “diutuslah” oleh militer Belanda seseorang (yang berpura-pura sebagai pejuang) ke markas Banteng Soeroso. Dengan dalih membahas strategi perjuangan selanjutnya, sang telik sandi itu mengundang Soeroso untuk menemui sekumpulan gerilyawan kota di sebuah warung makan yang masuk dalam wilayah Satoe Doeit (sekarang Jalan Soeroso atau Ampera). Tanpa kecurigaan, Soeroso menyanggupi undangan tersebut dan datang ke Satoe Doeit, bersama dua ajudannya, Sjamsoe dan Slamet.
Menurut kesaksian Sjamsoe, sekira jam 19.00 mereka tiba di warung makan itu dan langsung memesan makanan. Saat santap malam itulah, satu peleton tentara Belanda mengepung tempat tersebut. Soeroso yang sadar dirinya masuk dalam jebakan lantas melakukan perlawanan. Pertempuran tidak seimbang pun berlangsung cukup seru.
“Kami bertiga bertarung habis-habisan, kami masing-masing hanya menggunakan sepucuk pistol,” kenang Sjamsoe.
Sayang, saat hendak meloloskan diri ke luar warung makan, sebutir peluru menghantam tepat dada Soeroso. Dia pun terjungkal. Diikuti Slamet yang juga tertembak dan bermandikan darah. Lantas bagaimana nasibnya Sjamsoe,? Begitu terjungkal karena hantaman peluru, beberapa warga setempat langsung membawanya ke seorang dokter bernama Ojo. Kendati mengalami luka berat, Sjamsoe nyawanya masih bisa diselamatkan dan bisa melanjutkan hidupnya hingga awal tahun 2000.
Baca juga: Palagan Kali Cisokan