Penyebaran Covid-19 semakin meresahkan masyarakat Indonesia. Jumlah korban yang terus bertambah seolah menegaskan bahwa virus ini tidak bisa dianggap remeh. Namun di tengah berbagai kabar pilu tentang virus tersebut, kabar baik datang menghampiri keluarga korban pembantaian rakyat Sulawesi Selatan oleh serdadu Belanda selama kurun 1946-1947.
Penantian selama delapan tahun akhirnya terbayar sudah. Diberitakan The Guardian, para hakim pengadilan Sipil Belanda di Den Haag memutus Pemerintah Belanda harus membayar kompensasi atas kejahatan militer yang mereka lakukan di Sulawesi Selatan. Kasus ini sendiri dibawa ke pengadilan oleh pengacara HAM Liesbeth Zegveld pada 2012. Baru pada Maret 2020 gugatan ini berhasil dimenangkan.
“Kami puas dengan keputusannya. Prosesnya tidaklah mudah; butuh delapan tahun persidangan,” ungkapnya. “Sungguh disayangkan pemerintah Belanda belum mau untuk lebih terbuka untuk kasus ini karena banyak klien kami yang kemudian meninggal selama persidangan. Akan tetapi bagi klien kami yang masih hidup dan semua keluarganya, pengakuan pengadilan terhadap penderitaan mereka dan hak mereka terhadap kompensasi itu penting.”
Baca juga: Keluarga Korban Westerling Menangkan Gugatan
Aksi pasukan Belanda pimpinan Kapten Raymond Pierre Paul Westerling ini merupakan satu catatan hitam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dalam rangka mengulang kekuasaan Belanda di negeri ini, Kapten Westerling menebar teror. Ribuan orang menjadi korban. Sulawesi Selatan tercatat sebagai daerah yang paling banyak dibantai oleh militer Belanda pimpinan Si Turki (julukan untuk Westerling).
Berikut sejumlah fakta penting tentang Westerling dan aksi terornya di Indonesia selama kurun masa 1946-1950:
Panggung Pertama
Kota Medan terpilih menjadi gelanggang pertama kebuasan Westerling di Indonesia. Pada 14 September 1945, ratusan parasut tampak mengembang di langit kota Medan. Jumlahnya sekira satu kompi pasukan. Bersama mereka, didrop pula 180 pucuk senjata revolver. Lapangan terbang Polonia, Medan, menjadi tempat para prajurit lintas udara itu mendarat.
Dituturkan Letkol (Purn) Burhanuddin kepada Edisaputra dalam Sumatera dalam Perang Kemerdekaan, turunnya pasukan itu disaksikan langsung oleh banyak orang. Burhanuddin dan kawan-kawannya melihat lapangan Polonia dipenuhi oleh pasukan yang entah dari mana rimbanya itu.
“Sayangnya kami tidak tahu siapa yang mendarat itu, tapi pendropan senjata secara jelas kami ketahui karena petinya pecah sewaktu jatuh ke bumi,” ujar Burhanuddin.
Tercatat dalam Medan Area Mengisi Proklamasi, hasil penyusunan tim Biro Sejarah Prima, pasukan asing itu datang di bawah pimpinan Letnan Raymond Westerling. Kedatangannya telah dinanti oleh Letnan Brondgeest, seorang perwira Angkatan Laut Belanda yang memimpin Unit IV pasukan Anglo Dutch Country Section (ADCS).
Keduanya berkolaborasi menegakan kekuasan Belanda di wilayah Sumatera bagian timur yang kaya akan hasil perkebunan. Brondgeest bertugas mengurusi organisasi pemerintahan, sedang Westerling menyusun kekuatan pasukan. Dalam waktu singkat, Westerling dapat membentuk sepasukan polisi berkekuatan 200 orang. Mereka terdiri dari orang Belanda, Indo-Belanda, dan jebolan tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL).
Baca juga: Aksi Sadis Westerling di Medan
Di Medan, Westerling juga menjadi kepala dinas intelijen Belanda. Ia memegang jaringan intelijen untuk setengah pulau Sumatera. Saat menjalankan tugasnya, Westerling kerap bertindak bengis. Tentang kekejamannya itu pernah diceritakan seorang opsir Inggris yang menyaksikan langsung tindakan di luar nalar Westerling.
Ketika sedang asik minum kopi di pemondokannya, Westerling memperlihatkan kepala seorang Indonesia dari dalam keranjang sampah. Dengan santai Westerling menceritakan kepala itu milik seorang “ekstrimis” Indonesia yang berhasil dihabisi setelah cukup lama dibuntuti. “Jam empat pagi aku masuk ke kamar mandi dan menyuruh pengacau itu berpusing. Sekali penggal dengan pedangku aku memisahkan kepala dari badannya,” kata Westerling kepada si opsir Inggris seperti dikutip K’tut Tantri dalam Revolusi di Nusa Damai.
Pada 23 Juli 1946, Westerling dipindahkan dari seksi intelijen ke satuan pasukan komando. Pemindahan itu sekaligus mengakhiri tugasnya di Medan. Ia dikenang sebagai sosok algojo yang melakukan teror pembunuhan di sekitar Medan.
Ribuan Korban
Sulawesi Selatan, antara 1946-1947, disulap menjadi ladang mayat oleh pasukan militer Belanda. Dalam disertasi Remy Limpach, De brandende kampongs van Generaal Spoor (dialihbahasakan menjadi Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia) tindakan ekstrem para pejuang gerilyawan, yang mengakibatkan sedikitnya 1.000 orang Indonesia pro Belanda tewas, memicu aksi-aksi balas dendam tentara Belanda yang jauh lebih brutal.
Pasukan dari 3-11-RI dan 123 prajurit Baret Hijau dari Pasukan Komando Khusus/Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Westerling didatangkan Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letanan Jenderal S.H. Spoor atas permintaan Komandan Markas Besar Timur Raya dan Borneo (HKGOB) Kolonel Hendrik de Vries dan Residen Sulawesi Selatan C.L. Cachet.
Pada 5 Desember 1946, Westerling dan Letnan Dua Jan Vermeulen beserta unit Baret Hijau pimpinannya, tiba di Sulawesi Selatan. Sebagai pasukan khusus, Westerling dan pasukannya memiliki hak yang berbeda dengan unit lainnya. Ia ada dalam perlindungan Mayor Jenderal E. Engles, Direktur DCO (Direktorat Pusat Pelatihan). Sehingga wajar jika dalam menjalankan aksinya, Westerling tidak takut kalau-kalau tindaknya terlalu berlebihan.
Westerling malah memerintahkan pasukannya mengembangkan metode “penertiban” yang lebih mirip kepada aksi pembunuhan massal. “Mayor Jenderal Engles yang paham benar pendapat dan metode saya memerintahkan kepada saya untuk pergi ke sana (Sulawesi Selatan) untuk mengembalikan ketertiban. Pada waktu itu, saya tahu apa yang harus saya lakukan,” ungkap Westerling seperti dikutip Limpach.
Baca juga: Jenderal Spoor dan Peristiwa Sulawesi Selatan
Menurut sejarawan J.A. de Moor dalam Westerling Oorlog, cara yang digunakan Westerling dalam melancarkan aksinya nyaris selalu sama: mengepung dan mengunci area operasi, menggiring penduduk ke satu titik pusat, menggeledah, mengeksekusi dan terakhir membumihanguskan kampung-kampung yang dianggap sarang ekstremis. Di setiap kota yang didatangi DST selalu berakhir dengan pembunuhan-pembunuhan brutal.
Pihak Republik mengklaim korban yang jatuh akibat aksi Westerling sebanyak 40.000 nyawa. Namun menurut Limpach angka yang paling rasional adalah lebih dari 3.500 orang. Angka itu sudah termasuk 500 orang yang tewas dibunuh oleh milisi pro federal: Barisan Penjaga Kampung. Soal angka 3.500 itu juga diyakini oleh sejarawan Sulawesi Selatan Letnan Kolonel Natzir Said.
“Jumlah 40.000 itu fiktif dan dihembuskan untuk menyemangati pasukan sendiri dan mengundang simpati internasional,” kata Natzir dalam De Eenling.
Dukungan Anti-Republik
Dukungan untuk Westerling datang juga dari seorang Republik yang ingin mempertahankan kekuasannya. Adalah Sultan Hamid II atau Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak. Hamid cukup dekat dengan Westerling karena kerap bertemu di sebuah cafe di Jakarta sepanjang Januari 1948.
Kedekatannya dengan perwira Belanda itu bukan kali pertama, Hamid diketahui pernah aktif di KNIL berpangkat letnan dua, setelah menamatkan pendidikan di Akademi Militer Belanda (Koninklijk Militaire Academie) di Breda, Belanda, pada 1938. Pada masa pendudukan Jepang, Hamid ditahan selama tiga setengah tahun di Jakarta. Pasca kemerdekaan, ia kembali aktif di KNIL dengan pangkat kolonel. Karir militerny terus melejit. Ia diketahui pernah menjabat ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina.
Hamid pernah membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DKIB) bersama negara-negara kerajaan se-Kalimantan Barat, yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda. Ia juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawaran Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara otonom di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Bali.
Hamid memperjuangkan sistem federal dalam berbagai perundingan, mulai dari Perundingan Malino sampai Konfersensi Meja Bundar (KMB). Sultan dari Pontianak itu percaya bahwa kepulauan Melayu (Indonesia) lebih tepat menggunakan sistem federal untuk ketatanegaraannya. Namun keinginannya itu mendapat tentangan dari kaum republiken yang menginginkan sistem kesatuan atau unitarisme.
Pada 22 Desember 1949, Hamid kembali bertemu Westerling. Kapten Belanda itu menyatakan keberatannya atas posisi Sukarno sebagai Presiden RIS. Ia juga mengklaim telah membentuk sebuah pasukan, APRA, berkekuatan 15.000 orang. Westerling lalu menawari Hamid komando pasukan APRA. Karena tidak yakin, Hamid akhirnya menolak tawaran itu. Namun sang sultan berubah pikiran dan menerima tawaran itu pada 10 Januari 1950.
Maksud Hamid menerima tawaran jadi panglima APRA karena ingin mempertahankan sistem negara federal dari intimidasi yang ingin menghapuskan negara-negara bagian secara inkonstitusional. Tapi ada syarat yang harus dipenuhi: pasukan APRA harus terdiri dari bangsa Indonesia saja; Westerling harus memberitahukan persenjataan, kekuatan-kekuatan dan dislokasi APRA; dan dia harus mengetahui sumber keuangan untuk membiayai APRA.
Baca juga: Akrobat Gagal Sultan Ketujuh
Belum sempat menerima pasukan APRA, Hamid mendengar kabar penyerbuan APRA di Bandung. “Saya marah karena sebelum ada kebersan soal tawaran oppercommando APRA, Westerling telah bertindak sendiri. Dan saya sendiri tidak menyetujui adanya penyerbuan ke kota Bandung itu,” kata Hamid seperti dikuti Persadja dalam Proses Peristiwa Sultan Hamid II.
Alih-alih tidak setuju dengan aksi kawan Belandanya itu, Hamid memerintahkan Westerling dan rekannya, Inspektur Polisi Frans Najoan untuk menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950. Dalam penyerbuan itu, Hamid juga memberi instruksi agar semua menteri ditangkap, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo dan Kepala Staf APRIS Kolonel TB Simatupang harus ditembak di tempat. Sebagai kamuflase, Hamid sendiri harus menerima luka enteng: ditembak di kaki.
Setelah penyerangan, rencana Hamid selanjutnya adalah meminta persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, supaya ia diperbolehkan membentuk kabinet baru, di mana ia akan menjadi Menteri Pertahanan. Ketika akan pergi ke tempat persidangan, Hamid berubah pikiran. Ia ingin mencabut kembali perintah penyerbuan itu. Karena tidak tahu di mana keberadaan Westerling dan Frans Najoan, keinginan Hamid itu hanya dibicarakan dengan ajudannya, Van der Heide.
Serangan gagal. Sidang rupanya selesai lebih cepat dari rencana. Pasukan yang telah bersiap menyerang hanya mendapati tempat penyerbuan telah kosong. Meski begitu, Hamid tetap di tangkap pada 5 April 1950 oleh Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Pada 8 April 1953, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun.
Pasukan Ratu Adil
Ide pembentukan salah satu pasukan utama Westerling, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), tercetus saat si kapten bertugas di Jawa Barat. Dalam memoarnya, Challenge to Terror, Westerling mengklaim penduduk Jawa Barat, terutama koleganya, selalu memohon perlindungan dari ancaman para bandit yang berkeliaran. Keberadaan Westerling memang cukup disegani, bahkan ditakuti. Tidak ada yang berani berbuat macam-macam jika sudah menyangkut nama Westerling.
“Mereka tidak akan berani menyerang desa kami jika anda melindungi kami,” kata seorang dari mereka kepada Westerling.
Sebelum memutuskan membentuk organisasi pertahanan di kampung-kampung di Jawa Barat, Westerling pergi ke Jakarta untuk meminta saran Letnan Jenderal Simon H. Spoor. Ia menyebut pendirian organisasi ini penting untuk menjaga keberadaan Negara Pasundan dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) bentukan Belanda.
Meski setuju dengan ide itu, Spoor meminta mantan bawahannya itu bertanggung jawab atas segala konsekuensinya. “Itu cukup jelas bahwa saya punya persetujuan dari mantan komandan saya. Keraguan saya hilang. Pada Maret 1949 saya mulai bekerja,” ucapnya. Westerling lalu merekrut teman dan bekas anak buahnya dari Koninklijk Leger (KL) dan KNIL.
Baca juga: Ratu Adil dari Istanbul
Istilah “Ratu Adil” dipakai Westerling setelah seorang pribumi membawakannya buku ramalan Jaya Baya. Dalam karya yang terlahir pada abad ke-12 itu, terdapat kalimat yang menarik perhatiannya: “… Dan kemudian akan datang Ratu Adil, Pangeran Keadilan, yang akan lahir di Turki.”
“Dan Anda lahir di Istanbul,” kata pribumi itu kepada Westerling.
Tampaknya, itu menjadi argumen mereka bahwa Westerling adalah Ratu Adil dalam ramalan kuno. Ia dianggap menjadi pembebas yang dijanjikan untuk melepaskan orang Indonesia dari tirani. Mereka berpikir bahwa keberadaan Westerling tepat untuk membantu mereka. “Hari itu saya membaptis kekuatan saya ‘Pasukan Ratu Adil’,” kata Westerling.
Bantuan Pangeran Belanda
Pada awal 1950 Westerling tampil sebagai tokoh utama kudeta APRA di Bandung. Upaya menjatuhkan Pemerintah Indonesia itu menurut sejarawan senior Gerard Aalders dalam Bernhard, Zakenprins, berjalan berkat satu kekuatan besar di Belanda, yakni peran rahasia Pangeran Bernhard von Lippe-Biesterveld, suami Ratu Belanda Juliana.
Sejumlah arsip Belanda, terutama buku harian Sekretaris Ratu, Gerrie van Maasdijk, menunjukkan betapa Pangeran Bernhard secara efektif berhasil memanfaatkan kedudukannya sebagai anggota keluarga kerajaan untuk mengelola kepentingan-kepentingan politik, diplomatik, dan bisnisnya. Termasuk mengganden Westerling di dalamnya.
Komplotan Bernhard-Westerling, dibantu JW Duyff –Guru Besar Fisiologi Universitas Leiden dan mantan pejuang saat pendudukan Nazi Jerman yang berambisi menjaga Hindia-Belanda tetap di bawah kuasa Negeri Belanda– mengatur penyelundupan senjata dari London dan Paris, melalui Pakistan ke Yogyakarta.
Baca juga: Misi Klandestin Pangeran Oranye
Namun catatan sekretaris ratu tentang skandal senjata itu tidak dijelaskan lengkap di dalam laporan intelijen Belanda. Pihak penegak agaknya melindungi sang pangeran dengan cara tidak menguraikan secara rinci siapa saja otak aksi APRA itu. Cara tersebut dipercaya sebagai upaya menutup-nutupi peran kunci Bernhard, Duyff, dan Westerling.
Peran lain Bernhard terlihat ketika menyelamatkan Westerling di tengah kegagalan aksinya. Belanda tidak ingin Westerling jatuh ke tangan pihak Indonesia dan menganggu hubungan kedua negara yang mulai berjalan. Sang pangeran memang telah lama senang dengan cara kerja Westerling. Ia secara pribadi pernah menyurati Jenderal Spoor di Jakarta agar memberikan koninkelijke onderscheiding (penghargaan kerajaan) kepada Westerling.
“Menunjukkan betapa pangeran ini mengagumi perwira kontroversial yang pernah menjadi anggota staf pribadinya ini,” ujar Aalders.
Tidak Teradili
Kegagalan menduduki Bandung pada 23 Januari 1950 membuat prajurit APRA lari tunggang langgang ke arah Cianjur. Namun upaya menyelamatkan diri itu sia-sia karena Batalyon H Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Sutoyo berhasil menghadang para pemberontak ini. Peristiwa perburuan itu dikisahkan Kolonel (Purn) Mochamad Rivai dalam Tanpa Pamrih, Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
“Mereka terkepung dan kocar-kacir, bahkan sebagian nekad menerjunkan dirinya ke jurang-jurang yang ada di wilayah hutan-hutan Maleber,” ucapnya.
Westerling yang sadar gerakannya telah terpatahkan, memilih melarikan diri ke Jakarta. Selama pelarian, ia didampingi pengawal setianya Pim Colsom dan dua anggota polisi Indonesia yang membelot. Di Jakarta, Westerling hidup berpindah-pindah agar keberadaannya tidak mudah diketahui. Menurut sejarawan Salim Said, salah satu tempat yang pernah ditinggali Westerling adalah rumah milik seorang Belanda di Kebon Sirih.
Awal Februari 1950, seorang pendukung Westerling dari kalangan mantan KNIL Letnan Kolonel Rappard tewas dalam suatu pengepungan oleh kesatuan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Jakarta. Kejadian itu membuat keinginan Westerling ke luar dari Indonesia semakin besar. Maka disusunlah sebuah rencana pelarian yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi militer dan sipil Belanda.
Upaya pelarian Westerling ke luar negeri itu ternyata tercium oleh intelijen APRIS. Demi mencegahnya, dibentuklah tim pemburu oleh pihak militer Indonesia Serikat yang dipimpin Mayor Brenthel Soesilo. Pada 23 Februari 1950, tim pengejar berhasil mengendus keberadaan Westerling di Pelabuhan Tanjung Priok. Benar saja, sampai di mulut pelabuhan, mobil yang ditumpangi Letnan Supardi dan Letnan Kesuma berpapasan dengan mobil Westerling. Tanpa perlawanan, Westerling bersedia ikut singgah ke sebuah pos tentara APRIS di dekat pelabuhan.
Baca juga: Kisah Perburuan Kapten Westerling
Namun belum 100 meter bergerak, tiba-tiba serentetan tembakan menyalak dari kendaraan Westerling dan membuat kendaraan yang ditumpangi kedua tentara APRIS itu terjungkal seketika. Setelah menembak, mobil Westerling segera dipacu ke arah pelabuhan. Sempat terjadi baku tembak antara pengawal Westerling di Pelabuhan II Tanjung Priok dengan pasukan Brenthel Soesilo. Di tengah pertempuran kecil itulah, Westerling meluputkan diri ke Singapura dengan bantaun sebuah pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
Karena masuk tanpa izin, Westerling ditahan pihak keamanan Inggris di Singapura begitu sampai. Mendengar kabar tersebut, Pemerintah RIS melayangkan permintaan kepada otoritas Singapura untuk mengekstradiksi Westerling ke Indonesia. Namun dengan alasan Westerling adalah warga negara Belanda, pengadilan Singapura tidak bisa memenuhi permintaan tersebut.
Setelah dibebaskan, Westerling terbang menuju Amsterdam, Belanda melalui jalur Kairo dan London. Namun di London, petugas menutup akses masuk untuknya. Kehabisan akal, ia terbang menuju Brussels, Belgia. Dikutip harian Montreal Gazette terbitan Kanada 25 Agustus 1950, Westerling tiba pada 23 Agustus 1950 dan langsung ditangkap otoritas Belgia.
Menghindari kontroversi di negerinya, setelah dilepas otoritas Belgia, Westerling memilih menetap sejenak di Brussels. Setelah situasi dirasa aman, Westerling akhirnya bisa kembali ke Belanda dan hidup di sana hingga ajal menjemput.*