Mpu Monaguna, penulis abad ke-13 dalam karyanya, Kakawin Sumanasantaka, menggambarkan kehidupan di pedalaman. Salah satunya tempat tinggal para pertapa. Para biarawan itu membajak sawah dan memiliki kebun-kebun sayur yang terpelihara. Sementara para rahib perempuan memasuki hutan untuk mengumpulkan buah-buah serta dedaunan untuk dijadikan obat.
Tokoh utama dalam kisah itu, seorang putri raja, Putri Indumati, seringkali dipakaikan pupuk (apupuk) pada ubun-ubunnya. Pilis dioleskan ke pelipisnya yang sakit. Bila cegukan diobati ujung daun sirih. Obat tuli-tuli untuk merawat bagian telinganya. Ia juga minta disembur air yang melegakan ketika tenggorokannya sakit seperti tersedak.
Karya Mpu Monaguna itu merekam bagaimana orang Jawa Kuno mengobati penyakit. Pupuk dan pilis hingga kini masih digunakan. Pupuk adalah ramuan yang ditempelkan pada ubun-ubun bayi atau batita agar tetap hangat. Pilis adalah jamu oles yang terbuat dari bahan-bahan seperti ganthi, kencur, kunyit, peppermint, dan bunga kenanga. Biasanya ia ditempelkan pada bagian kening atau dahi. Pilis sampai kini dipercaya bisa membantu meredakan rasa pusing dan melancarkan peredaran darah.
Baca juga: Bertemu dalam Secangkir Jamu
S. Supomo dalam Kakawin Sumanasantaka: Mati karena Bunga Sumanasa menjelaskan dari asal katanya, tuli-tuli mungkin adalah obat untuk penyakti telinga. Sedangkan menyembur tenggorokan yang sakit dengan air yang melegakan diartikan sebagai metode pada masa itu yang dilakukan oleh penyembuh. Fungsinya untuk mengobati sakit ringan dengan kunyahan jamu yang mendinginkan.
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menjelaskan bahwa kata "jamu" adalah serapan dari istilah bahasa Jawa Baru. Bahasa kromonya adalah jampi.
“Varian sebutannya, yaitu jampyan, terdapat dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan yang berarti obat, pengobatan, atau penawar,” kata Dwi.
Istilah jampi atau jampyan banyak muncul dalam kesusastraan kuno. Di antaranya Kakawin Gathotkacasraya, Bhomakawya, Bharattayudha, Sumanasantaka, Lubhdaka, Subhadrawiwaha, dan Abhimanyuwiwaha. Muncul juga dalam susastra kidung seperti Harsyawijaya, Kidung Sunda, Kidung Malat, dan Kidung Ranggalawe.
Baca juga: Kala Sarjana Eropa Ramai-Ramai Teliti Jamu
Menurut Hesti Mulyani, dosen pendidikan bahasa Jawa Universitas Negeri Yogyakarta, tak ada catatan jelas sejak kapan tradisi meracik dan meramu jamu bermula. Namun, tradisi itu diyakini sudah menjadi budaya sejak kerajaan Hindu-Buddha di Jawa
“Relief Candi Borobudur menggambarkan kebiasaan meracik dan meminum jamu untuk menjaga kesehatan,” tulis Hesti dalam “Pengobatan Tradisional Jawa Terhadap Penyakit Bengkak dalam Manuskrip Serat Primbon Jampi Jawi Jilid I dan Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II Koleksi Surakarta”, yang terbit di Prosiding Seminar Nasional Meneguhkan Peran Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dalam Memuliakan Martabat Manusia.
Sementara itu, Murdijati Gardjito, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, mengatakan kebiasaan meracik dan meminum jamu tampak dalam relief Karmawibhangga di kaki candi yang mulai dibangun pada abad ke-8. Salah satu adegannya menunjukkan beberapa orang menolong laki-laki yang sakit dengan cara dipijat kepalanya, digosok perut dan dadanya. Ada pula yang membawakan semangkuk obat.
Baca juga: Penyakit yang Ditakuti pada Zaman Majapahit
Relief lainnya menggambarkan tanaman yang masih digunakan sebagai bahan pembuat jamu, seperti nagasari, semanggen, cendana merah, jamblang, pinang, pandan, maja, cendana wangi, dan kecubung.
“Gambaran yang sama juga ditemukan pada relief-relief di Candi Prambanan, Candi Panataran, Candi Sukuh, dan Candi Tegawangi,” tulis Murdijati dalam Jamu Pusaka Penjaga Kesehatan Asli Indonesia.
Dengan begitu, kata Murdijati, pengetahuan asli orang Jawa tentang penyembuhan penyakit sudah berkembang sejak lama. Pengobatan itu dilakukan dengan bahan dasar yang ada di sekitarnya.
Para Penyembuh
Pada zaman kuno terdapat ilmu, buku, atau orang yang berkaitan dengan pembuatan, penggunaan, dan penjualan obat. Berbagai profesi di dunia kesehatan disebutkan dalam beberapa prasasti. Dalam Prasasti Balawi (1305) muncul istilah tuha nambi yang artinya tukang obat. Kemudian terdapat istilah kdi (dukun wanita) dan walyan (tabib).
Profesi tuha nambi juga muncul dalam Prasasti Sidoteka (1323). Prasasti ini juga menyebut istilah wil tamba. Secara harfiah kata Jawa Kuna dan Tengahan tamba menunjuk pada obat. Kata jadiannya anambani atau tumambani yang berarti menyembuhkan atau mengobati orang.
“Pada bahasa Jawa Baru ada kata-kata Mutiara, tamba teka lara lunga, artinya obat datang penyakit pergi,” jelas Dwi.
Baca juga: Mevrouw Jans Ahli Jamu Asal Semarang
Dalam Prasasti Bendosari (1360) disebutkan istilah padadah atau pemijatan, mungkin merujuk pada tukang pijat. Ada juga tabib desa atau dalam prasasti disebut janggan.
Menurut Dwi, sebutan janggan juga terdapat dalam Serat Pararaton yang berkaitan dengan guru di Desa Sagenggeng.
“Bila menilik sebutannya, yaitu guru janggan, salah satu ilmu yang diajarkan pada muridnya itu adalah ilmu pengobatan,” kata Dwi.
Dari masa Majapahit juga ada Prasasti Madhawapura yang menyebutkan profesi penjual jamu (acaraki). Kata acaraki dan caraki terdapat dalam kitab Korawasrama. Kata caraki juga merujuk pada seseorang yang menyediakan atau menjual ramuan tumbuh-tumbuhan.
Baca juga: Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno
Istilah yang hampir mirip adalah caraka, yaitu sebutan bagi orang bijaksana penyusun buku mengenai obat-obatan.
Istilah caraka telah ada sejak abad ke-9 dan masa sesudahnya. Ia disebut dalam Kakawin Ramayana, Bhomakawya, Arjunawijaya, Sutasoma, Korawasrama, dan Tantri Demung.
“Ada kemungkinan, kata Jawa Baru craken menunjuk pula pada pengarang tulisan mengenai obat-obatan,” jelas Dwi.
Dwi menyebut istilah caraka juga merujuk pada kitab yang membicarakan mengenai obat-obatan. Ia merupakan cabang Yajurveda Hitam.
Hingga kini, pengetahuan asli tentang jamu masih terjaga. Terbukti dengan masih adanya sentra produksi jamu di Wonogiri dan Sukoharjo; dusun jamu di Dusun Kiringan, Bantul, Yogyakarta; kampung jamu di Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah; serta pasar bahan dan perlengkapan untuk membuat dan menjajakan jamu di Pasar Jamu Nguter.
“Sampai ada warung jamu, toko jamu, hingga kafe jamu. Tak ketinggalan industri jamu,” kata Murdijati.