KEGEMARAN Albertina van Spreeuwenburg, perempuan campuran Indo-Eropa, pada jamu membuatnya jadi penyembuh tenar di Weleri, Jawa Tengah. Suami Albertina merupakan pemilik perkebunan. Bila ada pegawainya yang sakit, Albertina maju untuk menyembuhkan.
Perkenalan Albertina pada jamu didapat dari ibunya yang seorang nyai. Persilangan budaya dari dalam rumah umum terjadi di masa kolonial lantaran adanya interaksi intensif orang Eropa dan pribumi, entah nyai ataupun babu, di dalamnya. Para nyai biasanya tetap melakukan kebiasaan mereka, entah mengenakan kebaya, mengunyah sirih, atau meminum jamu. Kebiasaan ini menular pada anak-anak mestizo mereka.
Tingginya kebiasaan mengonsumsi jamu di rumah tangga Indies mendorong peneliti Eropa mempelajari jamu dan tanaman obat lokal. Mereka biasanya mendapat informasi dari perempuan Indo-Eropa, penjual jamu di pasar, atau dukun. Penggalian informasi tentang jamu dan tanaman obat makin dipermudah ketika dokter, ahli botani, atau apoteker kulit putih yang datang ke Hindia-Belanda melakukan kawin campur. Dari sinilah ilmu pengobatan modern dan lokal bertemu.
Baca juga: Mevrouw Jans Ahli Jamu Asal Semarang
Profesor Hans Pols dari Universitas Sydney dalam artikelnya “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation” menyebutkan, dokter Eropa yang baru tiba di Hindia menikahi wanita Indo-Eropa atau pribumi merupakan hal umum pada paruh pertama abad ke-19. Pernikahan campur ini diterima karena hampir semua orang Eropa yang tiba di koloni adalah lajang dan akan menghabiskan waktu lama di Hindia. Bentuk interaksi antarkelompok sosial dan etnis ini berpengaruh pada pengetahuan medis dan botani di Hindia-Belanda.
Fenomena itu dapat dilihat pada kehidupan dr. CCW Mandt. Ahli kesehatan berkebangsaan Jerman yang menikahi perempuan mestizo dari Makassar itu sangat tertarik pada jejamuan dan mempelajari khasiat tanaman lokal untuk masalah kesehatan sehari-hari. Selain dari istrinya, pengetahuan Mandt tentang obat tradisional diperoleh dari Albertina. Keduanya sering berdiskusi tentang khasiat tanaman Nusantara. Istri Mandt bahkan sering bertukar resep jamu dengan Albertina. Bermodal pengetahuan itu, Mandt lalu mendirikan spa tradisional.
Kegemaran Albertina pada jamu menurun pada anaknya, Johanna Maria Carolina Versteegh (setelah menikah dikenal sebagai Jans Kloppenburg-Versteegh). Selain mendapat pengetahuan tentang jamu dari ibunya, Jans juga sering berdiskusi dengan Hendrik Freerk Tillema, pengusaha air mineral dan pemilik apotek di Semarang, untuk mendapat informasi yang lebih saintifik. Saking tertariknya pada jamu, pada 1907 Jans menulis buku Indische Planten en Haar Geneeskracht (Tanaman asli Hindia dan kekuatan penyembuhnya). Buku itu jadi pegangan rumah tangga orang kulit putih dan buku tentang jamu paling banyak disebut dalam catatan sejarah.
Baca juga: Ramuan dan Roh Jahat
Namun, Jans bukan orang kulit putih pertama yang menulis buku tetang jamu. Sebelumnya, ada Emelie van Gent de Telle, yang berasal dari keluarga pemilik perkebunan di Yogyakarta, yang menulis Boekoe Obat-Obat voor Orang Toewa dan Anak-Anak pada 1875. Setelah Emelie, pada 1885 Nyonya van Blokland dari Suabaya menulis tentang keampuhan pengobatan tradisional lewat buku Doekoen Djawa.
Menurut Martina Safitry dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, hal itu menjadi bukti tingginya minat orang kulit putih pada khasiat jamu dan pengobatan tradisional Nusantara. Pada abad ke-19, hampir semua orang Indo-Eropa dan sebagain orang Eropa menggemari perawatan kesehatan oleh dukun perempuan, baik untuk sekadar pijat, membuatkan secangkir ramuan jamu, atau menyembuhkan penyakit ringan. Mereka menilai para perempuan tua ini punya ilmu perawatan kesehatan yang mumpuni.
Mereka biasanya minta dicarikan tukang jamu atau tukang urut (dukun) pada babu dan jongosnya. Tak jarang pula mereka merekomendasikan perawatan tradisional ini pada pendatang baru Eropa. Pasien Eropa bahkan terkadang merekomendasikan dokter untuk berkonsultasi dengan ahli jamu atau dukun. Tapi usul itu sering bikin dokter Eropa jengkel, seperti yang disampaikan dokter ternama Cornelis Leendert van der Burg dalam bukunya The Physician in the Dutch East Indies.
Baca juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis
“Bahkan ada dokter yang tidak keberatan dengan pengobatan dari wanita ini (dukun/tukang jamu) untuk istri, anak-anak dan bahkan dirinya sendiri,” kata Van der Burg.
Seiring menguatnya sekat rasial pada abad ke-20, ketidaksukaan pada pengobatan tradisional kian sering disuarakan orang kulit putih. Untuk menghindari identifikasi dengan penduduk pribumi, Komunitas Hindia menerapkan standar tinggi pada etiket berkomunikasi, berpakaian, dan etiket sosial Eropa lain. Buntutnya, para profesional Barat, termasuk dokter dan ahli botani, menjadi kurang tertarik pada obat herbal lokal. Mereka juga kurang menghargai pengetahuan pengobatan lokal dan mulai menyingkirkannya dengan ilmu pengetahuan Barat.