PEMAIN widu bernyanyi bersama. Tangkil hyang mendongeng. Pirus dan menmen menceritakan lelucon cabul. Pemain wayang wong disambut tawa dan sorak sorai. Penampilan mereka di panggung luar biasa. Warga desa yang menonton bersuka ria, tertawa terpingkal-pingkal, dan berteriak.
Pertunjukan di sebuah pesta pernikahan itu dilukiskan Mpu Monaguna, pujangga dari Kadiri pada abad ke-13 M dalam Kakawin Sumanasāntaka. Teks itu menggambarkan keberadaan pelawan sejak masa lalu. Dan lawakan cabul rupanya menjadi daya tarik penonton.
Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa keberadaan pelawak juga disebut dalam beberapa prasasti. Mereka dikenal dengan men-men sebagai pemain pertunjukkan keliling dan ijo-ijo sebagai pemain lawak.
Baca juga: Panakawan, kawan penasihat dan pelawak
Istilah widu dalam Sumanasāntaka merujuk pada aktor, seperti penari, penyanyi, pelantun, dan pemimpin pertunjukan. Namun, menurut Petrus Josephus Zoetmulder, ahli sastra Jawa Kuno, tak jelas apakah yang dimaksud pertunjukan tertentu. Tampaknya, pertunjukan dicirikan oleh mangidung, mawayang, atau berkaitan dengan macarita.
Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menulis bahwa masyarakat Jawa Kuno menyebut pelawak dengan abanol atau mabano dan pirus atau mamirus. Bedanya, abanol mengekspresikan lawakannya dengan gerakan. Sementara mamirus atau pirus melalui pemakaian kata-kata lucu.
Dalam Prasasti Wukajana dari masa Balitung disebutkan adanya pertunjukan mamidu oleh sang Tangkil Hyang. Si Nalu menceritakan kisah Bhimma Kumara sambil menari memerankan tokoh Kicaka, si Jaluk menceritakan Ramayana, si Mungmuk melawak dengan gerakan tubuh yang lucu, dan si Galigi mendalang untuk hyang dengan cerita Bhimma Kumara.
Baca juga: Celetuk dagelan ludruk
Lalu dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur tergambar pemusik jalanan yang meniup sepasang terompet. Di hadapannya, menurut Titi, berdiri seorang laki-laki dalam gerakan lucu. Para penonton pun tertawa melihatnya.
Supratikno menduga pelawak tak hanya tinggal dan melakukan aktivitas di desa, pasar, dan daerah sima. Mereka juga sering melawak di istana.
Dalam Kakawin Nagarakrtagama disebutkan pelawak hadir menghibur para tamu dalam pesta tahunan kerajaan setiap bulan Palguna di akhir tahun Saka. Seluruh warga Majapahit mengadakan pesta untuk menghormati Sang Prabu. Acara puncak perayaan dipusatkan di ibukota kerajaan.
Baca juga: Hiburan masyarakat Jawa Kuno
Juru-i-Angin, seorang ronggeng menandak sambil melawak berpasangan dengan pejabat sepuh daerah. Kerena berbakat membadut, dia dengan kocaknya memperagakan isi kidung yang ditembangkannya. Dia berjalan berkeliling menjemput pejabat untuk menari dengannya.
Pola tingkahnya menerbitkan gelak tawa. Dia sampai dipanggil Sri Paduka untuk minum bersama. Dia dianugerahi kain indah oleh beberapa pejabat.