PADA masa lalu, sungai seramai lalu lintas di darat. Masyarakat terkadang lebih memilih menyebrang sungai dibanding memutar lewat jalan darat. Distribusi barang dagangan juga sering dilakukan melalui sungai.
Informasi sarana transportasi di air maupun darat untuk pengangkutan barang dagangan pada masa Hindu-Buddha bisa diperoleh dari prasasti, naskah, dan relief dinding candi. Seperti relief cerita Lalitavistara di dinding Borobudur.
Dalam relief itu digambarkan kereta kuda beroda empat yang mengangkut kalangan bangsawan. Relief itu juga cukup banyak menggambarkan angkutan air. Di antaranya kapal dagang besar dengan layar dan bercadik ganda, perahu tanpa cadik dengan penutup di atasnya yang kemungkinan untuk menyebrangi sungai, dan perahu dengan dayung dan layar tanpa cadik.
Angkutan Darat
Paling tidak ada tiga jenis kendaraan angkutan darat. Para pedagang mengangkut barang dagangan di atas kuda (atitih) atau gerobak maupun pedati (gulungan, mapadati) yang ditarik kerbau atau sapi.
Untuk mengangkut orang khususnya bangsawan digunakan tandu dan kereta kuda. Namun, tidak semua orang bisa mengendarai kereta kuda terutama di halaman keraton. Pada masa Majapahit, hak istimewa itu diberikan kepada pejabat tinggi kerajaan, seperti apatih amangku bhumi dan mpu dyaksa.
Nagarakrtagama menggambarkan dengan cukup spesifik penggunaan kereta yang bermacam-macam. Misalnya, kereta dan pedati yang digunakan Mahapatih Gajah Mada ketika melakukan lawatan bersama rombongan Raja Hayam Wuruk. Kereta yang berjumlah 400 itu punya lambang tumbuhan pulutan pada sisinya. Sementara kereta milik Ratu Pajang bergambar matahari yang gemerlapan. Kereta Ratu Lasem berlukiskan banteng putih. Ratu Daha memiliki kereta bertanda bunga daha di atas latar keemasan. Adapun kereta rombongan Ratu Kahuripan dihias taburan bulatan-bulatan bercorak merah putih.
Kereta Hayam Wuruk tak terhitung banyaknya. Semuanya bertanda buah maja. Sementara kereta kencana yang dinaikinya berbentuk tandu lebar yang lapang. Kendaraan mewah ini dihiasi nuansa keemasan yang lengkap dengan permata mutu manikam. Tudung kajangnya diberi tirai tenun grinsing yang berperada emas.
Dalam berbagai sumber, sejumlah istilah digunakan untuk menyebut jenis kendaraan itu: syandana, padati, ratha, dan sakata. Sayangnya, sumber sejarah tidak memberikan keterangan yang cukup untuk mengetahui perbedaannya.
Angkutan air
Jaringan lalu lintas air pun disebut dalam beberapa prasasti di antaranya Prasasti Panambangan dari 903 M dan Ferry Charter dari 1358 M. Prasasti pertama berkaitan dengan kendaraan air di Bengawan Solo. Sedangkan Prasasti kedua dengan Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Prasasti Kamlagyan dari 1037 M juga menyebut orang-orang yang berlayar menuju hulu.
Beberapa prasasti menyebutkan sejumlah istilah untuk kendaraan itu: parahu dan masunghara. Prasasti Dhimanasrama dari masa Mpu Sindok menyebut jenis-jenis perahu yang khusus untuk mengangkut hasil kebun, seperti parahu pakbowan yang memiliki empat gandung (rakit dari bambu yang dipasang di kiri-kanan perahu supaya tidak oleng atau untuk menambah muatan).
Disebutkan juga istilah-istilah yang tidak diketahui maksudnya tetapi berkaitan dengan jenis-jenis perahu. Di antaranya alat angkut yang digunakan untuk memuat barang-barang dalam ukuran besar (akirim agong), ukuran Panjang (akirim Panjang), memuat obat-obatan (akirim tamba-tamba), barang-barang yang dimasukkan ke dalam geladak (kirim dwal baryyan), barang-barang yang terbuat dari bambu (amaring). Jenis perahu lainnya ikang langkapan wlah galah, parahu panawa, parahu jurag, parahu panggagaran, parahu pawalian, dan parahu pangngyan.
Sayangnya, bentuk-bentuk kendaraan air yang dipakai ketika itu tak banyak diketahui. Pun beberapa tak diketahui dengan pasti apa kegunaannya.
Istilah lain untuk perahu adalah lancang. Kata ini ditemukan dalam Prasasti Manajung yang ditemukan di daerah Malang. Prasasti tanpa tahun ini diperkirakan berasal dari pemerintahan Airlangga pada awal abad 11 M. Kata ini juga dijumpai dalam Prasasti Hantang (1135 M).
Bagaimana bentuk perahu ini juga tidak diketahui. Namun, jika lancang ini sama dengan lanchara, yaitu angkutan laut yang oleh penjelajah Tome Pires dianggap sebagai kapal setempat yang ditemukan di Jawa dan Sunda pada awal abad ke-16, kendaraan ini tergolong ke dalam kapal dagang lintas laut. Kapasitas angkutnya bisa mencapai 150 ton.