Masuk Daftar
My Getplus

Sambo Malu karena Kehilangan Kewibawaan

Lahir dari sesosok dewa yang merajai ketiga dunia, Sambo bertakhta sebagai pemimpin selama 29 tahun.

Oleh: Sulistiani | 26 Agt 2022
Bathara Sambo dan Putra-Putra. (kluban.net).

Popularitas nama Sambo sedang tinggi belakangan ini. Datangnya dari Ferdy Sambo, mantan kepala Divisi Propam Polri yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Popularitas Sambo-Sambo yang lain pun terkubur oleh Sambo yang satu itu.

Padahal, sejatinya nama Sambo tersua di banyak tempat. Dalam mitologi Jawa, ada Bathara Sambo. Ia  merupakan anak pertama dari Bathara Guru dan Dewi Umayi. Menurut Ensiklopedi Wayang Purwa, Sambo berarti ambu atau bahu. Ensiklopedi tersebut juga menerangkan lebih jauh tentang Sambo.

“Sang Hyang Sambo mempunyai hak dipuja oleh para penganut agama Sambo (Hindu) dengan peraturan-peraturan tertentu,” kata ensiklopedi tersebut.

Advertising
Advertising

Baca juga: Wayang Penerang

Bathara Sambo muncul pada lakon yang menceritakan dewa-dewa. Menurut dalang wayang kulit Ki Purbo Asmoro dalam laman YouTube-nya, Bathara Sambo berkuasa di khayangan Swilagringging atau Argamilah.

“Menurut Paramayoga (serat/karya Sastra Jawa, red.) istrinya ada dua, yaitu Dewi Susti, anak dari Sang Hyang Guruweda; dan yang kedua Dewi Suwayono, putri Sang Hyang Pancadewa,” kata Ki Purbo.

Pernikahan Bathara Sambo dengan Dewi Susti menghasilkan empat anak: Sambosa, Sambawa, Sambujana, dan Sambodana. Anak terakhir, Sambodana, menurunkan raja-raja Lokapala.

Baca juga: Wayang Wahyu Melakonkan Kisah Injil

Karier Bathara Sambo saat turun ke bumi cukup baik. Ia ahli dalam peperangan. Ia juga pernah menjadi raja di negara Medangprawa dengan gelar Sri Maharaja Maldewa.

“Di dunia pewayangan gagrak Surakarta, Bathara Sambo menjadi tetunggul senapati para dewa dalam peperangan,” sambung Ki Purbo Asmoro.

Sambo dalam Naskah Pustakaraja

Dalam serat Pustakaraja Purwa karya Ki Padmasusastra tahun 1912, diceritakan keadaan ketika Sumatra, Jawa, Bali, dan Madura belum dihuni manusia. Saat itu, Sang Hyang Jagadnata (Bathara Guru) bersama Dewi Umayi yang memiliki lima putra mengutus kelima putranya turun ke bumi untuk membangun kerajaan. Sang Hyang Sambo (Bathara Sambo) termasuk yang diutus.

Sang Hyang Sambo, dengan gelar Sri Maharaja Maldewa, turun di Gunung Rajabasa di Sumatra dan mendirikan Kerajaan Medang Prawa. Bertahun-tahun kemudian, Medang Prawa mendapat kunjungan dari Resi Atrakelasa (Resi Acrakelasa). Sang Resi kemudian diangkat menjadi patih oleh Bathara Sambo.

Medang Prawa kemudian diserang Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka. Bathara Sambo melarikan diri ke Kerajaan Medang Gili. Kerajaan tersebut merupakan tempat kekuasaan Sri Maharaja Sunda Bathara Brahma, saudara kandung Bathara Sambo.

Baca juga: Mantra Sakti Sang Dalang Wayang

Bathara Brahma kemudian memanggil tiga saudara lainnya: Bathara Wisnu, Bathara Indra, dan Bathara Bayu. Kelima bersaudara itu sepakat bekerjasama menghadapi Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka. Mereka berhasil mengalahkan Hiranyakasipu-Hiranyawreka.

Kelima bersaudara tersebut lalu kembali ke kerajaan masing-masing. Mereka hidup rukun berdampingan hingga terjadi perselisihan yang dimulai dari perselisihan antara Kerajaan Medangpura, tempat Bathara Indra berkuasa, dan Kerajaan Medang Gili. Perselisihan tersebut mempengaruhi Kerajaan Medang Prawa, Medang Gana, dan Medang Gora. Akibatnya Agama Dewa yang diajarkan Bathara Guru terpecah menjadi lima: Agama Sambu, Agama Brahma, Agama Indra, Agama Bayu, dan Agama Wisnu.

Perselisihan tersebut dapat didamaikan oleh para brahmana anak dari Bathara Ismaya. Kekuasaan mereka lalu dibagi-bagi berdasarkan jenis “rakyat”: Kerajaan Medang Prawa hanya diperbolehkan memimpin binatang terbang, gelar pemimpinnya yakni Sri Maharaja Kagapati; Kerajaan Medang Pura hanya boleh memimpin binatang air, gelar pemimpinnya yakni Sri Maharaja Matsyapati; Kerajaan Medang Gora hanya boleh memimpin binatang darat, gelar pemimpinnya Sri Maharaja Mregapati; Kerajaan Medang Gili hanya boleh memimpin manusia dan raksasa, gelar pemimpinnya Maharaja Prajapati; dan Kerajaan Medang Gana hanya boleh memimpin para resi (orang suci) dan jawata (dewa), gelar pemimpinnya Maharaja Surapati.

Setelah mereka akur kembali, para brahmana kembali ke khayangan. Hanya satu brahmana yang tinggal, yaitu Brahmana Balika. Ia memiliki murid dan pengikut yang bertambah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, Brahmana Balika mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Sri Maharaja Balya.

Baca juga: Cerita Sukarno dengan Dalang Wayang Kulit Kesayangannya

Seiring bergulirnya waktu, para rakyat di Medang Prawa, Medang Pura, Medang Gora, dan Medang Gili lebih memilih menjadi pengikut Sri Maharaja Balya. Mereka menganggap Sri Maharaja Balya lebih bijak daripada panutan mereka.

Sri Maharaja Matsyapati mempeloporinya dengan kembali ke Tanah Hindustan dan kembali menjadi Bathara Wisnu. Langkah tersebut diikuti oleh Sri Maharaja Kagapati, Sri Maharaja Prajapati, dan Sri Maharaja Mregapati. Mereka kembali menjadi Bathara Sambo, Bathara Brahma, dan Bathara Bayu. Sementara, Bathara Indra tetap di bumi karena rakyat Kerajaan Medang Gana adalah kaum resi dan jawata yang sudah tidak tertarik keinginan duniawi.

Langkah Sri Maharaja Matsyapati kembali menjadi Bathara Wisnu disebabkan oleh rakyatnya yang banyak menaati Sri Maharaja Balya. Demikian pula dengan Bathara Sambo, Bathara Brahma, dan Bathara Bayu merasa kehilangan kewibawaan. Mereka malu sehingga memutuskan kembali ke Tanah Hindustan.

“Sang Hyang Wishnu bertahta di bumi selama 27 tahun, Medang Pura dihancurkan, tidak ada lagi raja di sana. Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, dan sang Hyang Bayu juga bertahta selama 29 tahun, Medang Prawa, Medang Gili, Medang Gora dihancurkan, tidak ada raja yang berkuasa lagi,” kata Pustakaraja Purwa.

TAG

wayang

ARTIKEL TERKAIT

Wayang Potehi Terawat di Gudo Gan Kam, Tionghoa Penyelamat Wayang Orang Jawa Jalan Terjal Ngesti Pandowo Wayang Penerang Kisah Hanoman dari Kota Lama Gan Thwan Sing, Pencipta Wacinwa Membaurkan Cina-Jawa dalam Wacinwa Menguliti Muasal Pertunjukan Wayang Kulit Dari Penasehat ke Pelawak Tjokroaminoto Jadi Hanoman