Masuk Daftar
My Getplus

Wayang Penerang

Wayang Suluh diciptakan anak muda pada masa revolusi. Media penerangan tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 16 Feb 2022
Pertunjukan Wayang Suluh di Yogyakarta tahun 1948. (Geheugenvannederland).

Kemerdekaan dipertahankan tidak hanya oleh pejuang dengan senapan tapi juga oleh seniman. Mereka menggunakan karya seni –lukis, sastra, teater, dan musik– sebagai media perjuangan. Beragam karya seni pun lahir selama masa revolusi yang mengekspresian perjuangan melawan Belanda.

Kesenian yang paling merakyat sehingga efektif untuk menyampaikan pesan perjuangan adalah wayang. Oleh karena itu, Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) dalam Kongres Pemuda II pada 8–9 Juni 1946 di Yogyakarta, memutuskan akan ambil bagian dalam penerangan kepada rakyat yang sebagian besar masih buta huruf. Tujuannya agar rakyat mengerti akan perjuangan kemerdekaan.

Baca juga: Menguliti Muasal Pertunjukan Wayang Kulit

Advertising
Advertising

“Salah satu sarana penerangan yang akan dipakai ialah wayang modern (karton) yang pada waktu itu disebut Wayang Merdeka,” tulis Tashadi, dkk. dalam Partisipasi Seniman dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur.

Wayang Merdeka dibuat oleh Jama (Djamal) dan Marna Sulana dari bagian penerangan BKPRI. Pertunjukan pertama Wayang Merdeka digelar di Balai Rakyat Madiun pada 10 Maret 1947. Pergelaran ini dihadiri wakil Kementerian Penerangan dari Yogyakarta. Di samping itu diadakan sayembara nama wayang tersebut.

“Demonstrasi mendapat sambutan baik, sehingga perlombaan pemberian namanya telah menghasilkan nama: Wayang Suluh. Dengan demikian lahirlah Wayang Suluh di kota [Madiun] yang hingga kini tetap dipakai,” tulis Tashadi, dkk.

Dewan Pimpinan Pemuda (DPP) seluruh Jawa dan Madura kemudian mengadakan konferensi pada 1 April 1947. DPP membagikan lima setel Wayang Suluh kepada wakil-wakil dari cabang untuk dipertunjukkan di daerah masing-masing.

“Wayang Suluh terus berjalan dengan pesat, karena Wayang Suluh dapat diterima oleh rakyat jelata, sebagai satu-satunya alat penerangan dan penghiburan yang sederhana, tetapi cukup memuaskan dan dapat menambah pengertian mereka,” tulis Tashadi, dkk.

Baca juga: Wayang Perang Idola di Gelanggang

Wayang Suluh dimainkan oleh dalang dengan memakai kelir atau layar diiringi gamelan. Bila tidak ada gamelan, Wayang Suluh bisa diiringi dengan alat musik apa saja seperti terbang atau rebana dan kentrung. Lakon yang dimainkan tidak tetap, disesuaikan dengan kepentingan dan keadaan di daerah masing-masing, biasanya mengambil peristiwa sejarah seperti perang kemerdekaan, Untung Surapati, Pertempuran Surabaya, bahkan Perjanjian Linggarjati dan Renville. Di dalam lakon-lakonnya diselipkan penjelasan, keterangan, dan uraian mengenai Pancasila, kewajiban pamong desa, rukun kampung, pertahanan rakyat, persatuan, keamanan negara, hukum, cinta tanah air dan bangsa, dan sebagainya.

“Dengan demikian secara sederhana rakyat jelata mulai dibimbing, dididik dan dituntun untuk hidup bernegara, menjalankan kewajiban sebagai warga negara dan mempertahankan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945,” tulis Tashadi, dkk.

Wayang Suluh. (encyclopedia.jakarta-tourism.go.id).

Media Penerangan

Kementerian Penerangan memanfaatkan Wayang Suluh sebagai media penerangan kepada rakyat. Pada 1 Desember 1947, Kementerian Penerangan menempatkan Pusat Publisistik Bagian Penerangan Rakyat Urusan Wayang Suluh dan Wayang Beber di Madiun.

Kementerian Penerangan kemudian mengadakan pertunjukan Wayang Suluh di Istana Presiden di Yogyakarta pada 23 April 1948. Pertunjukan ini dihadiri Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, beberapa menteri, beberapa anggota KNIP, petinggi militer dan sipil, serta tiga wartawan luar negeri.

“Dengan Wayang Suluh, konsep Republik berikut tokoh-tokohnya: Bung Karno, Bung Hatta, para pemimpin lain, bahkan tokoh antagonis seperti Van Mook pun diperkenalkan secara meluas sampai ke desa-desa,” kata Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi. Mantan menteri penerangan ini berhasil menggelar Pekan Wayang Indonesia pada 1974 dan Kongres Pertama Pewayangan Indonesia pada 1975.

Baca juga: Mantra Sakti Sang Dalang Wayang

Pertunjukan Wayang Suluh tidak hanya di Jawa. Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia 1948 menyebut bahwa Wayang Suluh juga dikirimkan ke Sumatra. Sehingga pertunjukkan Wayang Suluh pun ditonton oleh ribuan rakyat karena lakon-lakon wayang itu mengambil tema yang selaras dengan perjuangan bangsa. Dalam tempo dua tahun Wayang Suluh terus tumbuh, di seluruh Jawa ada 70 dalang Wayang Suluh, di antaranya tiga perempuan, semuanya dari angkatan muda.

“Wayang Suluh juga mendapat perhatian dari tamu-tamu asing yang pernah mengunjungi tempat pembikinannya,” tulis Pramoedya, dkk.

Wayang Perjuangan

Selain Wayang Suluh yang diciptakan oleh pemuda BKPRI, wayang perjuangan lain adalah Wayang Pancasila karya Soeharsono Hadisoeseno, pegawai Kementerian Penerangan asal Yogyakarta.

“Wayang tersebut menceritakan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda. Nama wayang berupa sindiran. [Misalnya] Tokoh Jenderal Spoor, wayangnya dinamai Senapati Rata Dahana (Kereta Api Spoor),” tulis R.M. Sajid dalam Ringkasan Sejarah Wayang.

R.M. Sajid, ahli wayang dari Solo, sendiri menciptakan Wayang Sandiwara pada 1944. Setelah Indonesia merdeka, nama wayang itu diubah menjadi Wayang Perjuangan. “Wayang ditambah dengan wayang serdadu Belanda, serdadu Jepang dan tentara perjuangan dan lain-lain. Dikumpulkan menjadi satu dengan Wayang Kancil, jumlahnya lebih kurang 200 buah disimpan dalam sebuah kotak,” tulis R.M. Sajid.

Baca juga: Cerita Sukarno dan Dalang Wayang Kesayangannya

Sayangnya, sebagaimana diberitakan majalah Adiluhung, edisi 03/2013, perangkat Wayang Perdjoeangan (sekarang dikenal dengan nama Wayang Revolusi) yang terdiri dari 120 boneka mencakup tokoh-tokoh sejarah terkenal dan seleksi dari tokoh-tokoh rakyat Indonesia, dibeli oleh Wereldmuseum di Rotterdam, Belanda, pada 1960-an.

Pada 1995, bertepatan dengan peringatan 50 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah kota Amsterdam menghadiahkan delapan buah panel yang berisi foto-foto adegan dalam Wayang Revolusi kepada pemerintah daerah DKI Jakarta. Dan pada 2005, Wereldmuseum meminjamkan dalam jangka panjang sebagian koleksi Wayang Revolusi kepada Museum Wayang di Jakarta.

TAG

wayang

ARTIKEL TERKAIT

Wayang Potehi Terawat di Gudo Gan Kam, Tionghoa Penyelamat Wayang Orang Jawa Jalan Terjal Ngesti Pandowo Sambo Malu karena Kehilangan Kewibawaan Kisah Hanoman dari Kota Lama Gan Thwan Sing, Pencipta Wacinwa Membaurkan Cina-Jawa dalam Wacinwa Menguliti Muasal Pertunjukan Wayang Kulit Dari Penasehat ke Pelawak Tjokroaminoto Jadi Hanoman