top of page

Sejarah Indonesia

Cerita Sukarno Dengan Dalang Wayang Kulit Kesayangannya

Cerita Sukarno dengan Dalang Wayang Kulit Kesayangannya

Tak hanya menjunjung tinggi kesenian, Sukarno juga menghargai para senimannya.

Oleh :
3 Desember 2015

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sukarno dan Ki Gitosewoko (kanan). (bloggerpurworejo.com).

  • Aryono
  • 4 Des 2015
  • 2 menit membaca

PADA 1960-an, akan dihelat pagelaran wayang kulit di Istana. Ia salah satu kesenian yang disukai Sukarno. Sukarno memilih sendiri dalang favoritnya, Ki Gitosewoko dari Blitar. Lima hari sebelum pagelaran, Gitosewoko sudah berada di Istana.


“Apakah sudah siap?” tanya Sukarno kepada Gitosewoko. Percakapan pun berlanjut membahas cerita hingga sanggit atau penggarapan. Sukarno berpesan, “Gito, semua mengharapkan pagelaran nanti sukses. Berusahalah tidak mengecewakan penonton.”


Sukarno juga mengarahkan, “Gatotkaca tidak boleh sering memukul. Usahakan sekali memukul lawannya tumbang. Lalu Arjuna lebih tepat jika kau bawakan dengan laras (nada, red) dua atau lima, jadi lebih terkesan jantan. Suaranya harus kau tegaskan! Bukankah ksatria besar macam Arjuna, tidak tepat bila memiliki suara klemak-klemek, tidak bertenaga?”


Kerewelan Bung Karno terhadap pagelaran wayang kulit tidak berhenti di situ. Jelang malam pagelaran, dia kembali memeriksa sendiri tatanan instrumen gamelan. Gamelan harus berada di atas panggung yang sejajar dengan kursi penonton. Lampu penerangan nantinya tidak boleh lebih dari 250 watt. Lalu instrumen gong tidak boleh menutupi penglihatan penonton. Dan terakhir, para pesinden harus berada di belakang dalang.


Soal pesinden, Sukarno pun punya favorit: Nyi Tjondrolukito dari Yogyakarta. Nyi Tjondrolukito, yang bernama kecil Turah, seperti dicatat dalam buku Apa dan Siapa, berguru kepada Larasati dan Madularas di kepatihan Danurejan dan mendapat nama Penilaras. Dia kemudian disunting Ki Tjondrolukito, bangsawan yang ahli tari sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1880-1939).


Pada era Sultan Hamengkubuwono VIII, setiap dia istirahat di Kali Urang, selama dua bulan tanpa henti, diadakan pagelaran karawitan. Ini adalah ujian. Jika seniman itu benar-benar mengabdi kepada seni, maka dia akan tahan dengan padatnya pagelaran. Nyi Tjondrolukito adalah seniman produk zaman Sultan Hamengkubuwono VIII yang tahan uji, baik dari segi mental, moral maupun keterampilan.


Menurut Nyi Tjondrolukito, Sukarno sejajar dengan Sultan Hamengkubuwono VIII soal selera pada kesenian Jawa. Namun, Sukarno memiliki nilai lebih.


“Bung Karno pandai meluhurkan seni lahir dan batin. Sedangkan para raja Jawa dahulu hanya seninya saja. Raja Jawa dulu pandai meluhurkan keseniannya, namun seniman-senimannya masih dipandang sebagai abdi,” ujar Nyi Tjondrolukito kepada Herman Pratikto, penulis cerita silat Bende Mataram, seperti dikutip dalam majalah Warta Para Psikologi No. 10 tahun III.


Salah satu contoh bagaimana Sukarno mengayomi seniman Istana adalah kepeduliannya kepada kesehatan Ki Gitosewoko. Sekali waktu, Gitosewoko mengeluh kepada Nyi Tjondrolukito. “Bapak (Bung Karno, red) melarang saya mengisap candu. Kalo begitu, saya akan cepat mati,” ujar Gito.


Ki Gitosewoko memang pengisap candu semasa jayanya. Sukarno membujuknya supaya berhenti, karena alasan kesehatan. Bahkan dia menjanjikan hadiah jika Ki Gitosewoko dapat meninggalkan candu.


Tidak di situ saja. Sukarno pun tak marah ketika Ki Gitosewoko menggadaikan salahsatu gamelan istana. Mungkin butuh uang, Ki Gitosewoko menggadaikan sebuah kempul atau salahsatu perangkat gamelan, dari dalam Istana ke seorang kawannya di Kediri. Tidak ada yang tahu bagaimana Ki Gitosewoko membawanya keluar Istana.


Sewaktu Sukarno memeriksa perangkat gamelan. Dari sepintas melihat, dia tahu ada kempul yang hilang. Tanpa banyak bicara, dia memerintahkan beberapa orang untuk menyelidiki kemana raibnya gamelan Istana. Pendek kata, posisi kempul sudah diketahui. Sukarno yang menerima laporan itu lalu memerintahkan untuk menebus kembali kempul supaya dapat kembali ke Istana.


Suatu saat, dalang Ki Gitosewoko berjalan di dekat perangkat gamelan Istana. Dia kaget, kempul yang dia gadaikan sudah kembali ke tempatnya.


“Melihat kempul sudah ditempatnya, Mas Gito langsung pingsan,” ujar Ki Kasido, adik Ki Gitosewoko, dalam majalah Warta Para Psikologi.*


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page