Masuk Daftar
My Getplus

Pameran Mengudar Bacaan Liar

Bacaan liar karya Soepratman hingga Semaoen dipamerkan. Dilarang dan disita pemerintah kolonial.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 24 Agt 2019
Pameran Bacaan Liar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20-24 Agustus 2019. (Foto: Hendaru Tri Hanggoro/Historia)

Wage Rudolf Soepratman. Ini nama tenar. Semua orang Indonesia tahu dia pencipta lagu Indonesia Raya sekaligus Pahlawan Nasional. Tapi bagaimana kalau tenyata dia juga seorang pengarang? Kepengarangan Soepratman jarang sekali mengemuka. Sebab karangannya tak tersimpan di banyak perpustakaan umum dan belum diunggah ke internet sebagai buku elektronik.

Sebagian halaman karya W.R. Soepratman kini dapat dibaca khalayak dalam pameran “Colonial Bastard: The Forbidden Fictions” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20—24 Agustus 2019. Misalnya karangan berjudul Perawan Desa. “Berkisah tentang ketidakberesan dalam kehidupan masyarakat kolonial dan menyinggung kebijakan pemerintah kolonial,” kata Sulaiman Harahap, periset pameran.

Gagasan dalam karya Soepratman mendapat kecaman dari pemerintah kolonial. “Karyanya kemudian disita dan dibakar tak lama setelah terbit pada 1929. Yang tersisa sedikit sekali,” lanjut Sulaiman. Karena itu, karyanya terputus dari khalayak. Ini juga menjelaskan mengapa karyanya tak tersimpan di banyak perpustakaan umum.

Advertising
Advertising

Baca juga: Supratman sebagai Buronan

Sulaiman memperoleh Perawan Desa dari seorang kolektor pustaka lawas bernama Harianto Sanusi. “Dia masih menyimpan banyak sekali buku, majalah, dan bacaan lawas di rumahnya, di Rawamangun, Jakarta Timur,” kata Sulaiman.

Perawan Desa, karangan W.R. Soepratman. Berkisah tentang kemalangan perempuan di desa. (Foto: Hendaru Tri Hanggoro/Historia)

Beberapa koleksi bacaan lawas Harianto termasuk bacaan liar dalam pandangan pemerintah kolonial. Menurut Sulaiman, bacaan liar mempunyai karakter berbeda dari standar bacaan pemerintah kolonial untuk rakyat Hindia Belanda.

“Bacaan liar menggunakan bahasa Melayu pasar, bahasa sehari-hari, sehingga orang kebanyakan mudah mengerti. Tema dan ceritanya pun dekat dengan keseharian rakyat. Ada juga kandungan cabulnya. Tapi banyak pula kritik terhadap kolonialisme dan feodalisme,” kata Sulaiman. Jenis bacaan semacam ini yang banyak ditampilkan dalam pameran.

Nota Rinkes

Selain Soepratman, dalam pameran tampil pula nama Tirto Adhi Soerjo, Marco Kartodikromo, dan Semaoen. Beberapa penganggit bacaan liar merangkap kerja sebagai wartawan. Mereka lazim menulis dengan gaya tulisan singkat, padat, jelas, dan komunikatif. Berbekal kemampuan itu, dalam bacaan, mereka menghantam kolonialisme Belanda dan feodalisme bangsawan anak negeri.

Pemerintah kolonial mengkhawatirkan peredaran bacaan liar di kalangan rakyat koloni. Mereka menganggap bacaan itu merusak ketertiban, mengacau keamanan, dan meracuni pikiran rakyat koloni. Ujungnya kemungkinan besar muncul pemberontakan rakyat. Maka pemerintah kolonial mengeluarkan standar bacaan untuk rakyat Hindia.

Baca juga: Pogau dan Mas Marco Kartodikromo

Standar bacaan dari pemerintah kolonial tersua dalam Nota Dr. D.A. Rinkes, Sekretaris Komisi Bacaan Rakyat, pada 1911. Rumusannya sebagai berikut. Pertama, bacaan tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial. Kedua, bacaan tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu. Ketiga, bacaan tidak menyinggung suatu perasaan agama tertentu.

Nota Rinkes juga memaklumatkan syarat penggunaan bahasa Melayu tinggi dengan beralas pada aturan pemerintah tentang bahasa. Bila bacaan beredar tidak mengindahkan standar pemerintah, bacaan itu akan tergolong bacaan liar. Pemerintah kolonial berwenang melarang dan menyitanya. Penerbit dan penganggitnya pun akan terkena hukuman.

Berangkat dari peristiwa ini, Sulaiman meriset sejumlah bacaan liar. “Awalnya saya patok tahun 1917 atau 1918. Bertepatan dengan Revolusi Bolshevik di Rusia. Revolusi ini bergaung juga di Hindia untuk mengobarkan perlawanan. Tetapi setelah saya baca nota Rinkes, saya tarik waktunya sejak 1911 sampai sekitar akhir 1920-an,” kata Sulaiman.

Sulaiman Harahap, periset pameran "Colonial Bastard : The Forbidden Fictions" sedang bekerja menyeleksi bacaan liar di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Sulaiman mengaku hanya punya waktu satu setengah bulan untuk meriset bacaan liar. Sebagian besar bacaan diambil dari koleksi Perpustakaan Nasional. Sisanya dari kolektor lawas seperti Harianto Sanusi, William Bradley Horton alias Dewo Broto Hartono, dan Bandung Mawardi. Hasilnya terkumpul 42 bacaan liar.

Baca juga: Tirto Adhi Soerjo di Sudut Ingatan

“Tidak semuanya saya tampilkan di pameran. Karena beberapa bacaan ada yang ganda. Sebelum diterbitkan dalam bentuk buku, bacaan itu berupa cerita bersambung di surat kabar. Dan tidak semua bacaan liar berbentuk sastra, tapi juga artikel yang menyentil pemerintah kolonial,” kata Sulaiman.

Tingkat kesulitan pencarian bacaan liar berbeda-beda. Sulaiman menempatkan Sair Rempah-Rempah anggitan Marco Kartodikromo sebagai bacaan paling susah ditemukan. Dia mendapat salinan edisi awal karya itu dari Dewo Broto Hartono. “Itu pun kopian dari Perpustakaan Leiden, Belanda,” kata Sulaiman.

Marco Kartodikromo adalah murid Tirto Adhi Soerjo dalam kepengarangan. Dia pernah bekerja di Medan Prijaji di bawah kepemimpinan TAS (1907—1912). Masa ini Tirto telah menulis dua bacaan liar tentang nyai dan gundik di Hindia Belanda. Judulnya Bli Bini Orang dan Tjerita Njai Ratna. Terbit di Medan Prijaji pada 1909.

Baca juga: Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda

Di situ Tirto menyatakan keberpihakannya kepada para nyai dan perempuan. Di situ pula Marco mempelajari gaya dan cara Tirto menyulih pikiran dalam bentuk tulisan.

Kemudian Tirto kehilangan daya akibat persekongkolan kaum feodal dan pejabat kolonial. Marco pun muncul. Dia mendermakan hidupnya untuk mengangkat derajat dan martabat rakyat terjajah. Caranya dengan menyebar gagasan dan kritik terhadap sistem kolonial dan struktur feodal. Sikapnya mengantarkan dirinya masuk penjara kolonial pada 2 April 1917.

Tetapi hukuman kolonial tak membuat Marco jera. Dia justru menggunakan pengalamannya di penjara untuk menganggit lebih banyak karya. Sair Rempah-Rempah salah satunya. Terdiri atas lima jilid, syair ini berisi cita-cita Marco tentang masyarakat egaliter dan terlepas dari jerat kolonialisme.

Semaoen Serang Poligami

Untuk bacaan liar lainnya, Sulaiman tak kesulitan mencari. Beberapa bahkan telah ada edisi ejaan baru semisal Hikajat Kadiroen anggitan Semaoen, Ketua Partai Komunis Indonesia. “Tapi saya tetap harus menemukan edisi awalnya,” kata Sulaiman.

Hikajat Kadiroen terbit pada 1919. Pengarangnya memaparkan kualitas mental anak jelata bernama Kadiroen. Dia merangkak dari bawah untuk mencapai posisi tinggi dalam hierarki pegawai negeri.

Kadiroen berarti terkenal baik. Tapi dia hidup di lingkungan korup, busuk, dan merasakan banyak ketidakberesan di sekitarnya.

Kadiroen mempunyai atasan bernama Raden Pandji Koentjoro Noto Prodjo Ningrat. Atasan ini digambarkan suka menindas ke bawah dan menjilat ke atas. Penggambaran karakter semacam ini ingin mengatakan bahwa tidak selamanya orang berkuasa selaras dengan kehormatan.

Baca juga: Semaun dan Sneevliet, Kisah Persahabatan Dua Orang Revolusioner

Akhirnya Kadiroen meninggalkan pekerjaan dan desanya untuk mengembara. Mirip dengan cerita Panji Jawa. Dalam pengembaraan, Kadiroen menemukan kenikmatan berkhidmat untuk perkumpulan politik. Dia meresapi pelajaran berharga tentang kehidupan sosial.

Bacaan ini juga menyerang praktik poligami elite anak negeri. Terkisah seorang lurah bernama Kromo Nenggolo ingin memiliki istri lagi. Pilihannya tersemat ke Ardinah, seorang perempuan desa miskin. Kepada Ardinah, Kromo mengaku belum punyai istri.

Ayah Ardinah telah berterima dengan kehendak Kromo. Dia sudah sakit-sakitan, tua, dan bau tanah. Sebelum mati, dia ingin melihat anaknya punya seorang penanggung hidup. Kromo dan Kardinah menikah. Tetapi harapan ayah Ardinah meleset. Kromo memperlakukan Ardinah selayak mainan.

Baca juga: Ketika Poligami Jadi Soal Negara

Ardinah pun mengetahui belang Kromo, seorang tukang kawin dan sering bertindak semena-mena pada istri-istrinya.  Dia protes. “Saya punya golongan perempuan sering dapat celaka batin… Selamanya orang laki semua belum bisa baik dan adil, maka lebih baik kalau igama kita melarang perkawinan lebih dari satu perempuan,” kata Ardinah.

Itulah beberapa contoh bacaan liar masa kolonial dalam pameran. Ia dianggap liar dari pandangan pemerintah kolonial. Tapi bagi kaum pergerakan dan rakyat semasa, bacaan itu jadi pendidik dan pembangkit perlawanan terhadap kolonialisme dan struktur feodal.

TAG

Sastra Poligami

ARTIKEL TERKAIT

Marga T Waktu Kuliah Kedokteran Menelusuri Jejak Chairil Anwar di Ibukota Ada Oknum Polisi dalam Pembunuhan Berencana Marhaenis Ki Padmasusastra, Sang Penyelamat Sastra Jawa Teror yang Menghantui Salman Rushdie Melihat Kolonialisme Bekerja lewat Teropong Sastra Kegagalan Cinta dalam Kisah Zaman Kuno Bogem Mentah untuk Chairil Anwar John le Carré di Antara Dunia Mata-mata dan Sastra Ketika Sartre Mengirim Mesin Tik untuk Pram