Masuk Daftar
My Getplus

Menghirup Sirup dan Air Belanda

Sirup disebut minuman alternatif orang Melayu dan Jawa yang tidak meminum minuman keras. Sementara orang Belanda minumnya “ayer Belanda”.

Oleh: Amanda Rachmadita | 04 Apr 2023
Penjual limun atau tukang sirup di Jakarta. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

MINUMAN sirup kerap jadi pilihan menu berbuka puasa di bulan Ramadan. Tak hanya disajikan dengan es yang menyegarkan, minuman manis beraneka rasa dan warna ini juga dikombinasikan dengan bahan makanan lain, seperti buah-buahan hingga jeli agar semakin menarik dan menggugah selera.

Sirup tak hanya disukai orang-orang di masa kini, minuman manis ini juga kesukaan banyak orang di masa lampau. Justus van Maurik, wisatawan Belanda yang dikenal sebagai pengusaha cerutu, saat berwisata ke Jawa pada 1800-an telah mendapati minuman sirup.

Sejarawan Universitas Indonesia Achmad Sunjayadi mencatat, Maurik melihat di warung yang berada di kawasan permukiman orang-orang Tionghoa dijajakan berbagai makanan dan minuman, namun yang menarik perhatiannya adalah bermacam-macam minuman sirup rasa buah-buahan dalam botol.

Advertising
Advertising

“Maurik berpendapat orang Tionghoa adalah peniru terbaik minuman-minuman Eropa,” tulis Achmad Sunjayadi dalam “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, termuat dalam Titik Balik Historiografi di Indonesia.

Baca juga: Sejarah Air Minum Kemasan

Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 14501680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin menyebut kebiasaan mencampur air dengan limun, kayu manis, buah pala, serta bahan-bahan penyedap lainnya memang telah populer di kalangan masyarakat Asia Tenggara, tak terkecuali Nusantara, pada masa itu.

Terkait kebiasaan minum sirup di kalangan masyarakat Nusantara, dalam Indisch Lexicon yang diterbitkan Brill, Maurik berpandangan bahwa sirup seakan menjadi minuman alternatif bagi orang-orang Melayu dan Jawa yang tidak meminum minuman keras. Biasanya mereka minum limun atau sirup buah sembari menikmati kue kering, lupis, atau buah-buahan.

Sementara di kalangan orang-orang Eropa, khususnya Belanda, limun dan seltzelwater merupakan beberapa di antara minuman favorit mereka. Mengutip buku De Haan, Threes Susilawati dalam Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe menulis, sebagian orang Belanda biasa meminum seltzelwater, yakni air impor yang pada masa itu banyak didatangkan dari luar negeri dan dikenal dengan nama “ayer Belanda”.

“Harganya mahal sekali: satu ringgit (rijksdaalder atau dua ratus lima puluh sen) per guci (kruik) kecil,” tulis Threes. “Sudah barang tentu hanya orang-orang kaya raya saja yang kuat membayarnya.”

Baca juga: Segarnya Sejarah Es

“Ayer Belanda” atau “air Belanda” masih dikenal oleh penduduk di Batavia hingga Perang Dunia II, namun lambat laun minuman ini lebih dikenal denga nama “air soda” dan mulai diproduksi di dalam negeri. Salah satu pabrik yang memproduksinya adalah Lourdes yang juga memproduksi limun dan sirup di Batavia.

Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia menyebut Tjhin Loeng Dji sebagai salah satu pendiri pabrik minuman Lourdes. Sebelum mendirikan pabrik minuman, pria kelahiran Mei Hsien, Kwangtung tahun 1877 itu berangkat ke Jepang pada 1907 untuk masuk Sekolah Kedokteran Chiba University dan lulus sebagai dokter tahun 1913.

Pada tahun yang sama, Tjhin Loeng Dji bersama istrinya, seorang perawat Jepang, pergi ke Batavia dan menjalankan praktik dokter. Pamornya sebagai dokter cukup tersohor, resepnya pun dikenal sebagai obat masuk angin cap pedang dan antidiare. Bersama dengan kawan-kawannya, ia kemudian mendirikan pabrik limun merek Lourdes.

Baca juga: Kisah Coca-Cola di Bawah Panji Nazi

Mengutip surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 18 November 1930, pabrik minuman Lourdes memulai bisnisnya pada 22 November 1920 di Drossaerweg (kini kawasan Asem Reges) yang berada di area Sawah Besar. Besarnya minat masyarakat membuat pabrik-pabrik pembuatan limun dan air soda bermunculan di berbagai wilayah. Bahkan mendorong munculnya “air Belanda” palsu di pasaran.

Guna mencegah hal tersebut, sejumlah pihak mengusulkan agar dilakukan pemeriksaan berkala dan pengawasan yang ketat di pabrik-pabrik yang memproduksi “air Belanda”. Selain itu, beberapa pihak juga mengusulkan agar penelitian terkait limun dan “air Belanda” rutin dilakukan dan dipublikasikan secara berkala di surat kabar, seperti halnya susu. Hal itu untuk meminimalkan risiko kesehatan akibat mengonsumsi minuman tersebut.

Baca juga: Cola Islami Melawan Hegemoni

Sementara itu, kemunculan pabrik es di Hindia Belanda memungkinkan minuman dingin tak hanya dinikmati kalangan atas dan orang-orang berduit. Minat terhadap minuman ringan pun semakin bertambah hingga pada abad ke-20 muncul minuman berkarbonasi impor seperti Coca-Cola.

Mengutip Merek Dagang Bertahan Lama: Bagaimana Mereka Bisa Bertahan? terbitan Pusat Data Analisis Tempo, Coca-Cola masuk ke Hindia Belanda pada 1927. Minuman itu dibawa oleh orang Belanda yang bermukim di Batavia. Pada 1932, perusahaan pembotolan Coca-Cola berdiri pertama kali di kawasan Pasar Baru, Batavia. Diketahui perusahaan itu milik orang Belanda.

Tak jauh berbeda dengan orang-orang di masa lalu, sirup maupun minuman ringan masih banyak digemari oleh orang-orang di masa kini. Tak hanya dijual dengan berbagai macam rasa, minuman ringan tersebut juga dijual dengan beragam ukuran yang dapat dipilih sesuai kebutuhan.*

TAG

minuman

ARTIKEL TERKAIT

Miras dari Air Kali Ciliwung Alkohol dan Kejeniusan Masyarakat Nusantara Bung Hatta dan Minuman Keras Tirto Utomo, dari Juru Warta Jadi Pendiri Aqua Sejarah Air Minum Kemasan Kisah Coca-Cola di Bawah Panji Nazi Dari Kopi hingga Anggur Mabuk Saat Berpesta dan Berdoa Minuman Beralkohol Khas Nusantara Investasi Bir Pemprov DKI Jakarta