DI tengah hingar bingar pesta pernikahan putrinya pada musim gugur 1945, Vito Corleone (diperankan Marlon Brando Jr.) masih disibukkan urusan dunia “hitam”. Seperti ketika Bonasera (Salvatore Corsitto) menghadapnya untuk memohon kepada bos mafia dari Keluarga Corleone itu agar mau membantunya menegakkan “keadilan” yang dialami putri Bonasera.
Don Corleone memperingatkan bahwa jikalau ia mau membantu Bonasera, Bonasera kelak harus mau “berteman”. Artinya, Bonasera mesti loyal ketika nanti Don Corleone membutuhkan dirinya untuk urusan dunia gelap lain. Persyaratan itu dipenuhi Bonasera dengan mencium tangan sang godfather. Selebihnya, urusan itu diserahkan Don Corleone kepada tangan kanannya, Tom Hagen (Robert Duvall), yang akan mengatur tindakan di lapangan.
Adegan itu jadi gambaran jelas bagaimana lika-liku di lingkaran keluarga mafia Italia. Deskripsi mendetail tentang segala hal yang berkaitan dengan hutang budi sebagai salah satu aktivitas dunia gelap itu diperlihatkan lebih dulu oleh sineas Francis Ford Coppola untuk mengawali film fiksi kriminal The Godfather.
Baca juga: Jalan Pintas Menuju Harta dalam Billionaire Boys Club
Selama bertahun-tahun terakhir, Don Corleone merupakan salah satu tetua dari lima organisasi keluarga mafia Italia yang eksis di New York, Amerika Serikat. Tak hanya kondang karena memegang bisnis perjudian dan minuman keras, Don Corleone disegani karena punya banyak kawan dari kalangan hakim dan politisi.
Itu jadi faktor yang membuat Solozzo (Al Lettieri) datang kepada Don untuk menawarkan kerjasama guna melancarkan bisnis narkobanya. Meski sebelumnya sudah dibekingi Keluarga Tattaglia, Solozzo butuh “perlindungan” lebih dari Don agar bisnis ilegalnya itu bisa mulus tanpa terusik pihak politisi maupun aparat hukum.
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Akan tetapi Don melihat bisnis narkoba tak seperti bisnis kasino maupun alkohol. Baginya, narkoba lebih banyak “mudharatnya” ketimbang menguntungkannya. Solozzo pun pulang gigit jari.
Pada suatu hari, Don diserang orang tak dikenal. Enam butir timah panas menembus tubuhnya hingga akhirnya sekarat di rumahsakit. Santino “Sonny” Corleone (James Caan), putra sulung sang godfather yang menuntut balas, juga dibantai kelompok tak dikenal. Akibatnya, perdamaian di antara lima keluarga mafia yang bertahan selama 10 tahun terakhir itu terguncang.
Sejak saat itulah sang putra bungsu, Michael Corleone (Al Pacino), hadir. Meski Don punya anak lain, Fredo dan Constanzia, namun Michaellah yang lebih dibanggakan Don.
Michael pada musim gugur 1945 baru pulang dari tugas di Perang Dunia II sebagai perwira Marinir berpangkat kapten. Sebelumnya, ia enggan terseret lingkaran dunia hitam keluarganya. Namun ia terpaksa hadir setelah tahu ayahnya ditembaki dan kakaknya dibunuh dengan berdarah dingin.
Michael lantas menghebohkan empat keluarga mafia lain di New York. Pasalnya aktivitas empat keluarga mafia itu jadi terusik aparat setelah Michael membunuh Solozzo dan perwira polisi korup bernama Kapten McCluskey (Sterling Hayden).
Baca juga: Konflik Kehidupan Roberto Durán dalam Hands of Stone
Sembari menunggu keadaan di New York mereda, Michael kemudian mengasingkan diri ke kampung halaman keluarganya, Sisilia, atas saran Hagen. Dalam pengasingannya itu, Michael malah bertemu pujaan hati, Apollonia Vitelli (Simonetta Stefanelli), terlepas di Amerika ia sudah punya pacar, Kay Adams (Diane Keaton). Kendati berhasil menikahi Apollonia, pernikahan mereka hanya seumur jagung karena Apollonia dibunuh sebuah kelompok tak dikenal dengan bom mobil.
Sambil memendam kesumat, Michael pun kembali ke New York. Dari sang ayah yang sudah pulih dan menyerahkan kepemimpinan organisasinya kepada Michael, diketahuilah keluarga mafia mana yang jadi dalang pembunuhan Sonny dan Apollonia. Ternyata bukan keluarga Tattaglia seperti yang mereka perkirakan sebelumnya.
Bagaimana drama dan intrik yang dilakoni Michael untuk menuntaskan dendam kesumatnya sekaligus memulihkan citra dan reputasi keluarganya? Alangkah lebih seru jika Anda saksikan sendiri The Godfather. Film yang meledak di pasaran sejak dirilis pada 14 Maret 1972 itu, sampai sekarang masih bisa ditonton via aplikasi daring Mola TV.
Kultur Mafia Italia-Amerika
Sejak 1930-an, film-film kriminal bertema gangster sudah mewarnai Hollywood. Namun, baru The Godfather yang diakui banyak pihak sebagai film paling berpengaruh hingga sejumlah aspeknya menular ke banyak film mafia hingga kini.
Salah satu faktor yang membuat The Godfather begitu diapresiasi tinggi adalah Coppola mengambil latar filmnya tak hanya di Amerika namun juga di Italia. Lantas, tone film terasa lebih klasik berkat sentuhan duet editor William Reynolds dan Peter Zinner. Nuansa klasik, terutama kultur Sisilia, makin kuat berkat rangkaian music scoring garapan Nino Rota dan ayah sang sutradara, Carmine Coppola.
Maka ketika dilepas ke pasaran, The Godfather sukses besar. Hanya dengan budget sekitar tujuh juta dolar, mereka bisa meraup keuntungan global hingga 300 juta dolar. Para kritikus di beragam suratkabar pun nyaris memberi penilaian sempurna hingga The Godfather dianggap salah satu film terbaik sepanjang masa.
Baca juga: Petaka Pesepakbola dan Kartel Narkoba
Sedikit kekurangannya adalah, dalam beberapa adegan berbahasa Italia dengan dialek Sisilia, editor film seolah luput menerjemahkannya ke dalam subtitle bahasa Inggris. Lalu, terkait karakter Michael Corleone yang diperankan Al Pacino, kurang “berwarna” dan hanya berfokus pada pembalasan dendamnya. Padahal, menurut Andrew Sarris dalam kolomnya di The Village Voice edisi 16 Maret 1972, justru pada sosok Michaellah konflik dalam alur cerita film berklimaks.
“Faktanya pada peran Al Pacinolah fantasi akan konfliknya mendapat sumbangan terbesar. Tetapi karakternya dibuat Coppola jauh dari berwarna dan malah dibuat lelah dengan ambisinya menuntut balas tanpa belas kasihan dan tanpa melihat konsekuensinya lebih jauh,” tulis Sarris.
Terlepas minus itu, The Godfather membuka cakrawala baru bagi genre film kriminal yang mengangkat kehidupan mafia. Ia tak melulu mengisahkan adegan pembunuhan brutal, namun juga menyisipkan kultur khas Italia sebagaimana yang eksis di internal kelompok mafia sungguhan.
The Godfather sendiri berangkat dari novel kriminal dengan tajuk serupa karya Mario Puzo keluaran 1969. Novel yang di pasaran terjual dua juta kopi hanya dalam waktu dua tahun itu membuat rumah produksi Paramount Pictures rela merogoh kocek untuk membeli hak tayang filmnya.
Baca juga: Spike Lee Joints, dari Malcolm X hingga Viagra
Meski begitu, Coppola tak mengadaptasikan novel itu mentah-mentah ke layar perak. Pasalnya, banyak cerita dalam novel itu dianggap Coppola sangat murahan dan vulgar.
“Saya menyerah setelah membaca 50 bab pertamanya karena terlalu murahan dan mencari sensasi. Saya membaca tentang seorang penyanyi yang karakternya dimiripkan dengan Frank Sinatra dan perempuan yang disukai Sonny Corleone hanya karena vaginanya besar. Saya berkata, “Ya Tuhan, ini apa? (seperti film) The Carpetbaggers? Jadi saya berhenti membacanya,” tutur Coppola dikutip Harlan Lebo dalam The Godfather Legacy: The Untold Story of the Making of the Classic ‘Godfather’ Trilogy.
Bersama Ruddy sang produser, Coppola pun menggarap film-adaptasinya sedikit berbeda. Sejumlah cerita murahan dia buang. Untuk membedakan dengan film-film gangster sebelumnya, Coppola memasukkan aspek-aspek kultur di balik jaringan dunia hitam yang didapatnya dari membaca buku tentang mafia.
“Di Perpustakaan Umum Mill Valley saya menemukan dua-tiga buku mafia Italia-Amerika. Lewat buku-buku itulah saya mempelajari tentang pergulatan dan perang antarmafia dari sejumlah keluarga mafia besar. Bahkan saya merasa tokoh Vito Corleone terinspirasi dari beberapa kisah dalam buku mafia itu, seperti Joseph Valachi dan Vito Genovese,” tulis Coppola dalam The Godfather Notebook.
Baca juga: Warna-warni Kehidupan Sean Connery
Coppola meracik naskahnya dengan memadukan novel Puzo dan buku-buku mafia yang dibacanya. Coppola juga menyisipkan sejumlah aspek kultural yang tabu di dalam kebiasaan para imigran Italia.
“Dari buku-buku itulah mulai terbayang di kepala saya tentang sebuah cerita yang merupakan metafora dari kapitalisme Amerika yang eksis di dalam seorang bos besar dengan tiga putra. Yang tertua punya gairah dan sikap agresif, yang kedua karakternya anak manis dan sukar bersikap dewasa, dan yang ketiga punya kecerdasan, kelicikan, dan sikap yang dingin,” ujar Coppola menjelaskan The Godfather mengisahkan tentang bos mafia dengan tiga putra yang masing-masing karakternya berbeda.
Hasilnya tak hanya mengundang banjir penonton di bioskop, para patron mafia Italia-Amerika seperti Salvatore ‘Sammy the Bull’ Gravano –mantan bos keluarga mafia Gambino– pun terkesan. Mereka merasa kehidupan asli mereka digambarkan dengan otentik.
“Saya meninggalkan kursi bioskop dengan sangat terkesan. Saya hanyut dalam ceritanya. Boleh saja ceritanya fiksi namun bagi saya, itulah kehidupan kami. Filmnya luar biasa. Dialog-dialognya sangat mirip dengan cara kami berbicara kepada para anggota kami,” tandas Salvatore Gravano, dikutip George De Stefano dalam An Offer We Can’t Refuse: The Mafia in the Mind of America.
Data Film:
Judul: The Godfather | Sutradara: Francis Ford Coppola | Produser: Albert S. Ruddy | Pemain: Marlon Brando Jr., Talia Shire, Al Pacino, Robert Duvall, James Caan, Diane Keaton, Al Lettieri, Richard Conte | Produksi: Paramount Pictures, Alfran Productions | Distributor: Paramount Pictures | Genre: Fiksi Kriminal | Durasi: 177 menit | Rilis: 14 Maret 1972, Mola TV
Baca juga: Mengenang Bernardo Bertolucci