Warna-warni Kehidupan Sean Connery
Aktor kawakan segudang pengalaman. Melejit sebagai pemeran James Bond, Sean Connery pernah menolak pinangan Manchester United.
SANG “James Bond” pergi dengan tenang. Aktor legendaris Sir Thomas Sean Connery mengembuskan nafas terakhirnya di usia 90 tahun dalam tidurnya di kediamannya di Nassau, Kepulauan Bahama, pada Sabtu (31/10/2020). Disebutkan putra semata wayangnya, Jason Connery, sang ayah memang sudah sakit-sakitan, meski tanpa menyebut penyakit apa yang dideritanya.
“Ayah sudah tidak sehat beberapa waktu belakangan ini. Sebuah hari yang menyedihkan untuk semua orang yang mengenal dan mencintai ayah saya dan sebuah kehilangan yang pedih untuk semua orang di dunia yang menikmati bakat luar biasanya sebagai aktor,” ujar Jason sebagaimana disitat BBC, Sabtu (31/10/2020).
Baca juga: Obituari: Layar Lebar Chadwick Boseman
Siapa tak mengenal Sean yang memerankan sosok agen Inggris 007 James Bond di tujuh seri filmnya selama 1962-1983. Walau kemudian peran James Bond dimainkan aktor-aktor lain, Sean tetap tak tergantikan dan fondasi yang diwarisinya tetap abadi.
Sebagai pemeran pertama James Bond di seri perdana, Dr. No (1962), Connery meletakkan fondasi karakter James Bond sebagai karakter pahlawan cerdik, berani, dan elegan. American Film Institute menempatkan Bond sebagai tokoh terhebat ketiga dalam sejarah perfilman versi, di bawah karakter Atticus Finch yang diperankan Gregory Peck dalam film To Kill a Mockingbird (1962), dan karakter Indiana Jones yang dimainkan Harrison Ford dalam film Raiders of the Lost Ark (1981).
Menolak Manchester United
Thomas Sean Connery menyapa dunia kala depresi ekonomi melanda Eropa. Ia lahir di Fountainbridge, ujung barat kota Edinburgh, Skotlandia pada 25 Agustus 1930 sebagai anak pertama pasangan Joseph Connery, pengemudi lori sebuah pabrik karet, dan Euphemia McBain McLean, asisten rumah tangga. Kakek Sean dari Joseph Connery merupakan imigran Irlandia yang pindah ke Skotlandia pada pertengahan abad ke-19.
Walau hidup dalam keadaan melarat, Sean masih bisa mencicipi bangku sekolah. Namun ketika adiknya, Neil, lahir pada 1938, Sean memutuskan harus ikut membantu menopang ekonomi keluarga. Di usia sembilan tahun, ia menyambi jadi tukang pengantar susu untuk koperasi St. Cuthbert’s Co-operative Society.
“Latarbelakang masa lalu saya sangat keras. Keluarga kami miskin walau saya tak pernah tahu seberapa melaratnya hingga bertahun-tahun kemudian,” tutur Sean dalam biografi yang ditulis Michael Feeney Callan, Sean Connery.
Sean kecil bahkan kemudian punya satu pekerjaan sambilan lain, yakni jadi pembantu di sebuah toko daging. Dengan dua perkerjaan part-time itu Sean membawa pulang tiga poundsterling dalam sepekan untuk menambah uang sewa rumah orangtuanya.
“Di luar sekolah dan waktu kerja, kegemaran utama Tommy (panggilan kecil Sean Connery) adalah sepakbola. Di sebuah distrik yang populasinya padat, lapangan luas untuk bisa bermain bola lengkap dengan wasitnya adalah hal yang mahal. Connery sudah getol bermain bola sejak dia bisa berjalan. John Brady, teman kecil Connery, mengatakan, keunggulan Connery dalam bermain bola adalah dia bisa berlari cepat,” lanjut Callan.
Setahun setelah Perang Dunia II selesai, Sean masuk Angkatan Laut Inggris. Dia masuk Sekolah kru meriam antipesawat di Pangkalan AL Portsmouth. Setelah lulus sebagai kelasi, ia ditempatkan di kapal induk HMS Formidable. Tapi itu hanya dijalaninya sebentar lantaran pada 1948 ia dibebastugaskan akibat punya penyakit duodenal ulcer di usus 12 jari.
Namun baginya, tiada kata patah arang. Di usia 18 tahun dengan postur 188 cm, Sean yang aktif melakoni beraneka pekerjaan serabutan. Mulai dari pengemudi lori, penjaga kolam renang, buruh pabrik peti mati, pekerja bagian umum di belakang panggung King’s Theatre, hingga jadi model lukisan di Edinburgh College of Art dijalaninya. Sean bahkan mulai ikut berbagai kontes binaraga setelah berkenalan dengan instruktur fitness Angkatan Darat (AD) Inggris Ray Ellington.
Profesi itu dijalaninya sambil tetap bermain bola bersama Bonnyrigg Rose dan East Fife FC di level amatir. Kecintaannya pada sepakbola itulah yang membuatnya menarik perhatian pelatih Manchester United Matt Busby yang kagum pada talentanya di lapangan hijau.
Di suatu hari pada musim semi 1953 itu, Sean menjalani tur untuk pementasan teater musikal South Pacific di kota Manchester. Dia mendapat peran figuran di situ. Di sela-sela produksi, tim teater South Pacific menggelar pertandingan sepakbola persahabatan dengan sebuah tim amatir lokal. Entah bagaimana ceritanya, ada Matt Busby di pertandingan itu sedang memantau bakat-bakat baru.
Menurut Christopher Bray dalam Sean Connery: The Measure of a Man, Busby terkesan dengan postur dan stamina Sean. Sang aktor pun ditawarkan trial satu hari di Old Trafford. Busby yang puas dengan performanya pun menawarkan kontrak senilai 25 pounds (senilai 703 pounds dalam kurs 2019) sepekan.
“Sejujurnya sepakbola saat itu memang tak menghasilkan banyak uang, seperti juga dunia teater. Lagipula usia produktif dalam sepakbola tidaklah panjang. Connery sudah akan beranjak 24 tahun dalam beberapa bulan. Sebagus apapun seorang pesepakbola, seberapa besar Busby membantunya membangun talenta, Connery takkan banyak bermain hingga usia 30 tahun. Setelahnya harus kembali banting tulang tanpa masa depan yang jelas,” tulis Bray.
Sean akhirnya menolak tawaran Busby untuk berseragam Manchester United. “Saya sangat ingin menerimanya. Tapi saya sadar bahwa pesepakbola top sudah akan masuk puncak kariernya di usia 30 dan saya saat itu sudah 23 tahun. Saya memutuskan untuk jadi aktor saja dan ternyata itu pilihan yang paling cerdas,” kenang Connery di laman federasi sepakbola Skotlandia, scottishfa.co.uk, 2 Juni 2015.
James Bond yang Dibenci
Dari panggung teater Connery perlahan membangun kariernya di dunia seni peran. Sean kemudian mampu menyewa jasa agen, Richard Hatton, yang membawa kariernya ke layar perak pertamanya. Film Lilacs in the Spring (1954) jadi debut Sean di dunia film meski hanya sebagai ekstra.
Tiga tahun kemudian, Sean mendapat peran karakter pendukung bernama Spike di film No Road Back (1957). Dalam film ini untuk pertamakalinya nama Sean Connery muncul di credit film.
Setelah ikut membintangi film kolosal bertema Perang Dunia II, The Longest Day (1962), di tahun yang sama Sean mendapat peran sebagai agen Inggris “007” James Bond untuk seri pertama film James Bond, Dr. No. Sejatinya, dia bukan pilihan utama Eon Productions. Pun bukan favorit sang sutradara Terence Young maupun Ian Fleming, pencipta karakter James Bond. Ian merasa badan tegap dan berotot Sean bukan imej yang ingin ia perlihatkan ke publik.
“Dia (Connery) bukan sosok yang saya bayangkan tentang penampilan James Bond. Saya mencari figur Komandan Bond dan bukan sosok stuntman berbadan besar,” cetus Fleming, dikutip Paul G. Roberts dalam Style Icons, Volume 2.
Baca juga: Obituari: Advent Bangun Sang Aktor Laga
Namun, Sean punya kharisma dan postur yang memancarkan daya tarik seks pada para perempuan. Kelebihan inilah yang dilihat Dana Broccoli, istri produser Albert Broccoli, dan Blanche Blackwell, pacar Ian. Keduanya meyakinkan produser dan Ian bahwa Connerylah sosok yang tepat memerankan James Bond.
Setelah filmnya rilis, Broccoli dan Fleming tak menyesali bujukan dua perempuan terdekat mereka. Begitu masuk Amerika Serikat, Dr. No langsung menembus jajaran film-film box office. Saking bangganya, Ian sampai menciptakan latarbelakang keluarga James Bond yang punya silsilah asal Skotlandia di novel berikutnya, You Only Live Twice (1964).
Nama Sean meroket setelah itu. Dia memerankan James Bond hingga lima film berikutnya: From Russia with Love (1963), Goldfinger (1964), Thunderball (1965), You Only Live Twice (1967), dan Diamonds Are Forever (1971).
Namun seiring menguatnya popularitas James Bond, Sean makin tak betah lantaran imej James Bond acapkali melekat padanya meskipun dia sedang tidak dalam rangka mempromosikan filmnya.
Andrew Yule dalam Sean Connery: Neither Shaken Nor Stirred menceritakan, di manapun Sean berada, selalu ada saja yang menyapanya dengan sebutan James Bond. Peduli setan dia memainkan peran berbeda di film-film berbeda, publik sudah mengabadikan imej bahwa Sean Connery adalah James Bond dan James Bond adalah Sean Connery. Itu bikin muak Sean.
“Jika Anda masih merasa temannya, Anda takkan mengungkit subyek Bond. Memang dia aktor terbaik untuk memerankannya, namun dia menjadi sosok yang sama dengan Bond. Jika dia berada di jalanan, orang-orang akan berkata: ‘Lihat, itu James Bond!’ Itu yang membuatnya muak dan membencinya (karakter Bond),” ujar Michael Caine, aktor veteran dan sahabat Sean, dikutip Yule.
Baca juga: Obituari: Bruno Ganz Si Pemeran Hitler
Dalam wawancaranya dengan Majalah Life, 25 Agustus 2015, Sean menyatakan kejengkelannya pada James Bond. “Saya selalu benci James Bond sialan itu. Saya ingin membunuhnya. Saya sudah muak dengan semua imej Bond,” katanya.
Karakter James Bond di-franchise-kan oleh Eon Productions kemudian diberikan pada aktor-aktor lain, seperti George Lazenby dan Roger Moore. Sean comeback memerankan Bond di tahun 1983 lewat Never Say Never Again. Namun, saat itu sudah digarap Warner Bros, bukan lagi oleh Eon.
Bukan hal gampang membujuk Sean untuk mau memainkan James Bond setelah 11 tahun absen. Pasalnya setelah film Diamonds Are Forever (1971), Sean bersumpah takkan mau memerankan James Bond lagi. Tetapi bayaran USD3 juta (USD8 juta kurs 2019) yang ditawarkan produser Jack Schwartzman menggoyahkan sumpah Sean.
Sebelum dijuduli Never Say Never Again, film itu diberi tajuk James Bond of the Secret Service. Namun Warner Bros kemudian tergelitik untuk menerima usul istri kedua Connery, Micheline Roquebrune, untuk mengganti judul menjadi Never Say Never Again. Judul ini merujuk pada sumpah yang dilanggar Sean. Maka di credit title akhir, Warner Bros membubuhi kontribusi Micheline: “Never Say Never Again by: Micheline Connery.”
Tetapi itu bukan hanya film James Bond terakhir Sean. Film itu juga jadi babak akhir Sean terlibat dengan PH besar. Pasalnya banyak perkara sudah membelitnya sejak awal produksi. Selain gugatan Ian Fleming dan PH Eon, perkara lain ialah pertikaian antara produser dan sutradara, masalah finansial produksi, hingga pergelangan tangan Sean yang patah saat berlatih adegan perkelahian dengan koreografer Steven Seagal.
Sejak itu Sean jarang mau jadi pemeran utama kalaupun membintangi film ber-budget besar. Sean juga mulai terlibat dalam produksi, baik sebagai produser maupun produser eksekutif sejak di film Rising Sun (1993), dilanjutkan Just Cause (1995), hingga Sir Billi (2012) yang menjadi film terakhirnya sebelum memutuskan pensiun.
Namun, bukan karakter James Bond yang membawanya meraih anugerah tertingginya di dunia perfilman, melainkan karakter Jimmy Malone yang diperankannya di film The Untouchables (1987). Lewat Jimmy Malone, Sean menyabet Piala Oscar (Academy Awards).
Sean juga mendapat anugerah BAFTA Film Award dan Golden Globe Awards untuk kategori Aktor Pendukung Terbaik. Dua anugerah terakhir didapatkannya lagi pada 1989 lewat film Indiana Jones and the Last Crusade. Sean sempat main di 20 serial televisi sebelum pensiun. Sebelum memutuskan pensiun pada 2012, Sean menjadi narator untuk film dokumenter Ever to Excel.
Setelah pensiun, Sean memilih Nassau di Kepulauan Bahama –tempat syuting film Thunderball dan Never Say Never Again dilakukan– sebagai kediaman untuk menikmati hari-hari di usia senjanya.
Baca juga: Obituari: Amoroso Katamsi Jadi Soeharto
Hampir enam dekade (1954-2012) berkecimpung di dunia seni peran, Sean tercatat membintangi 76 film, termasuk dokumenter maupun film pendek. Dunia seni peran membuat Sean jadi salah satu figur paling dielu-elukan masyarakat Skotlandia selain Sir Alex Ferguson (legenda pelatih Manchester United). Polling suratkabar The Sunday Herald pada 2004 mengusung Sean sebagai “The Greatest Living Scot”.
“Dia merevolusi dunia dengan potret pemberani dan jenaka dari agen rahasia (James Bond) yang seksi dan karismatik. Tak diragukan lagi dialah orang di belakang kesuksesan film-film seri (Bond) dan kami akan selamanya berterimakasih kepadanya,” tulis Produser Eon Productions Michael G. Wilson dan Barbara Broccoli, sebagaimana dinukil The Hollywood Reporter, Sabtu (31/10/2020).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar