Layar Lebar Chadwick Boseman
Separuh hidupnya untuk dunia peran. Dua kali memerankan biopik legenda kulit hitam.
TAK hanya “Wakanda”, para penggemar Marvel di segala penjuru bumi diguncang kedukaan dengan wafatnya Chadwick Aaron Boseman. Sang Raja T’Challa alias Black Panther itu mengembuskan nafas terakhir pada Jumat (28/8/2020) di usia 43 tahun karena kanker usus besar.
Boseman yang kondang dengan peran itu di film-film franchise MCU, Captain America: Civil War (2013), Black Panther (2018), Avengers: Infinity War (2018), dan Avengers: Endgame (2019) sudah masuk dunia “showbiz” sejak 2003 lewat serial televisi Third Watch.
Seni peran sudah jadi minat sosok kelahiran Anderson, 29 November 1976 itu sejak sekolah di SMA T.L. Hanna pada 1995. Dia mengawalinya sebagai sutradara teater sekolahnya. Selepas lulus pun Boseman mengejar pendidikan tinggi di bidang yang sesuai minatnya, sinematografi, di Universitas Howard, Washington DC dan kemudian turut dalam Program Mid-Semester Musim Panas Oxford di British American Drama Academy.
Baca juga: Obituari Kirk Douglas: Pelaut Penakluk Hollywood
Setelah menjalani debutnya lewat Third Watch, Boseman mengalami guncangan jiwa di opera sabun All My Children di tahun yang sama. Sebagaimana disitat The Wrap, 2 Januari 2019, Boseman menuturkan alasan kenapa dia dipecat dari peran Reggie Montgomery di opera sabun itu, hingga akhirnya digantikan Michael B. Jordan. Gara-garanya, dia mengkritisi naskah yang dianggapnya rasis terhadap kaum kulit hitam.
Boseman dan Jordan lantas “bereuni” untuk adu akting di film Black Panther. “Ketika saya mendapatkan perannya, saya berkata pada diri sendiri: ‘Ini bukan bagian dari manifesto saya. Ini bukan peran yang saya ingin bawakan,” kata Boseman.
Jackie Robinson hingga James Brown
Sejumlah kiprah Boseman di layar lebar pun tak jauh dari tokoh-tokoh yang didera rasisme. Di film The Express: The Ernie Davis Story (2008), biopik mengenai pemain American Football era 1960-an Ernie Davis, Boseman kebagian peran pendukung sebagai Floyd Little, rekan atlet berkulit hitam Davies di American Football.
Walau beberapa kisah asli di film itu didramatisir, Little mengaku cukup terkesan dan teringat kembali akan masa-masanya berkiprah di lapangan berkat jasa Ernie Davis.
“Di film The Express, sebelum Ernie Davis keluar lorong menuju lapangan untuk terakhir kali sebagai pemain Cleveland Browns, Ben Schwartzwalder menghampiri Davis: ‘Ernie, saya tak tahu apa yang Anda katakana kepada Floyd Little, namun dia akan datang ke Syracuse.’ Itu penutup yang emosional dari film yang hebat,” ungkap Little dalam otobiografi yang ditulisnya bersama Tom Mackie, Promises to Keep.
Peran sebagai aktor utama pertamakali dilakoni Boseman di biopik 42 (2013) dengan memerankan Jackie Robinson, legenda bisbol Afro-Amerika yang bergulat dengan rasisme di awal kariernya di Brooklyn Dodgers. Film garapan sineas Brian Helgeland itu disupervisi langsung Rachel Robinson, istri mendiang Jackie. Bagi sutradara, Boseman punya keberanian serupa dengan Jackie semasa hidupnya dalam melawan arus rasisme di lapangan bisbol.
“Chad sebenarnya opsi kedua. Namun saya memang tak ingin aktor yang sudah dikenal luas memainkan peran Jackie karena saya pikir, akan sangat aneh melihat seseorang yang imejnya sudah terkenal memerankan sosok terkenal juga,” ujar Helgeland dalam wawancaranya dengan Collider, 11 April 2013.
“Saat casting, Chad memilih tiga dari empat adegan tersulit. Salah satunya ketika adegan emosional Jackie berada di lorong stadion, mematahkan pemukul bisbol. Itu pilihan yang berani dari Chad. Dia bisa menghidupkan suasana di mana Jackie merasa ditolak oleh semua orang,” imbuhnya.
Baca juga: Selamat Jalan Kobe Bryant!
Jelang produksi, guna mendukung upayanya memerankan Jackie, Boseman menemui Rachel Robinson di Jackie Robinson Foundation. Dia ingin mengetahui lebih jauh sosok Jackie guna penghayatan.
“Peran (Jackie) ini peran yang menakutkan sebenarnya. Saya sempat tak tahu harus mulai dari mana sampai saya bicara pada dia (Rachel). Dari dirinyalah semangat Jackie masih hidup. Saya bisa melihat orang seperti apa yang bersanding bersama Rachel. Itu bagian yang ingin saya gunakan saat memerankannya,” jelas Boseman.
“Kami duduk bersama, berbicara dari hati ke hati. Dia juga ingin mengenal saya lebih dalam. Saya juga mempelajari sosok Jackie lebih dekat dari pembicaraan kami dan dari buku-buku yang direferensikan Rachel. Terakhir, saya menanyakan tentang hubungan mereka karena itu bagian besar dari diri Jackie yang membuatnya bisa mencapai segalanya. Jackie selalu mendapat dukungan darinya,” lanjutnya.
Terlepas dari kesuksesan filmnya, ada banyak hal yang dipelajari Boseman dari sosok Jackie. Atlet kulit hitam itu membuka jalan bagi para atlet Afro-Amerika lain ke pentas Major League Baseball (MLB). Jackie ikon olahraga yang tak kalah besar dari pendahulunya di arena atletik, Jesse Owens.
“Jika Anda berikir tentang dia menjadi seorang ikon dan pahlawan, sesungguhnya itu menjadi lubang terbesar di mana Anda bisa jatuh karena dia tak tahu akan menjadi seorang ikon dan pahlawan,” kata Boseman, dikutip Danny Peary dalam Jackie Robinson in Quotes: The Remarkable Life of Baseball’s Most Significant Player.
“Faktanya, di film itu Jackie harus menghadapi itu semua ketika ia sadar bahwa berada di MLB menjadi isu yang lebih besar bagi semua orang. Anda tak bisa lari dari tanggungjawab yang diemban, namun Anda bisa fokus dengan cara yang sama seperti yang dia lakukan. Selangkah demi selangkah. Pada akhirnya semua bisa dilalui,” tambahnya.
Baca juga: Persahabatan Jesse Owens dan Atlet Nazi
Setahun berselang, Boseman kembali muncul sebagai aktor utama di biopik Get on Up (2014). Dari peran Jackie di lapangan bisbol, dia bergeser di ke dunia musik memerankan James Brown, legenda musik soul, di film garapan sineas Tate Taylor ini.
Boseman sejak awal jadi pilihan utama Taylor memerankan pelantun tembang legendaris “I Feel Good” itu. Namun Taylor harus membujuknya ekstra keras lantaran Boseman mulanya tak berminat. Utamanya karena ia pesimis bisa menari selincah mendiang James Brown.
“Saya merasa tak ada gunanya mencoba-coba. Dia ikon yang terlalu besar dan saya belum lama memerankan ikon besar lainnya dalam 42. Dalam pikiran saya, tak tahu harus melakukan pendekatan apa untuk bisa melakukan gerakan tarian Brown,” tutur Boseman, dikutip The Guardian, 20 November 2014.
Ketika akhirnya Boseman mengiyakan peran Brown, ia diberi waktu enam pekan untuk mempelajari semua gerakan khas Brown di atas panggung. Walau kemudian untuk gerakan split James Brown mesti diedit sedemikian rupa lantaran gerakan itu tak kunjung bisa dikuasai Boseman hingga masuk jadwal produksi.
“Ujian sesungguhnya dari film itu adalah gerakan split James yang dikenal semua orang. Solusinya adalah kombinasi gambar tubuh James dan saya menggunakan pemindai 3D,” lanjut Boseman.
Hal menarik yang dipelajari Boseman dari sosok James Brown adalah sikap sensitif dan bijak sang legenda. Antara lain ditunjukkan dengan James Brown memutuskan konsernya disiarkan secara live pada 5 April 1968 sebagai respon terhadap pembunuhan Dr. Martin Luther King yang juga dihormatinya.
“Malam itu di siaran langsung televisi, bisa saja James Brown mengatakan: ‘Mari merusuh.’ Jika dia membiarkan dirinya emosional malam itu menggunakan musiknya, dia pasti sangat bisa memengaruhi penjuru negeri. Tapi pada akhirnya anak-anak muda tetap jadi penonton yang baik untuk mendengarkan James Brown. Dia sangat bijak untuk menghidupi filosofi-filosofi Dr. King,” papar Boseman, dinukil Atlanta Magazine, 1 Agustus 2014.
Baca juga: Wajah Joker dalam Lima Aktor
Tambahkan komentar
Belum ada komentar