Goodbye Stan Lee!
Godfather-nya Semesta Marvel. Acap nongol sekilas dalam hitungan detik namun paling dinanti jutaan penggemarnya.
SETELAH kalah dari Thanos (diperankan Josh Brolin), para Avengers berupaya bangkit dan balik mengalahkan. Mereka lalu mendapatkan solusi: mesin waktu. Alhasil, para Avengers yang tersisa pun comeback ke beberapa titik waktu masa lampau.
Steve Rogers alias Captain America (Chris Evans) dan Tony Stark si Iron Man (Robert Downey Jr.) kembali ke suatu waktu di tahun 1970 di sebuah kamp militer Amerika Serikat ber-tagline “Tempat Lahir Captain America”. Mereka datang dengan misi mencuri dua unsur penting untuk mengalahkan Thanos cum mengembalikan kehidupan bumi yang 50 persennya dilenyapkan Thanos: Partikel Pym dan Tesseract dari lab militer di kamp itu.
Tapi sesaat sebelum keduanya beraksi, lebih dulu duo sutradara bersaudara, Anthony dan Joe Russo, menggambarkan suasana lawas di kamp tahun itu. Termasuk ketika muncul sekilas seorang gaek pengemudi mobil klasik yang meneriakkan slogan anti-perang ke arah para penjaga kamp: “Make Love, not War, Hahahaha…”
Si gaek eksentrik itu tak lain adalah Stan Lee, cameo dalam Avengers: Endgame yang rilis 22 April 2019. Sedihnya, itu jadi cameo terakhirnya di film-film bertema semesta Marvel. Cuplikan-cuplikan cameo-nya, termasuk di film Captain Marvel dan Avengers: Endgame ini memang dilakoni sebelum dia tutup usia pada 12 November 2018 karena penyakit pneumonia.
Sudah puluhan film dia tampil di depan kamera, baik di franchise Marvel Cinematic Universe (MCU) maupun film-film superhero Marvel lain di luar MCU. Sebut saja di seri-seri X-Men, Spiderman, Deadpool, Fantastic Four yang digarap Sony’s Marvel Universe hingga Marvel Entertainment. Intinya, hampir di semua film yang mengangkat para jagoan bikinannya sendiri.
Sebagai cameo, ia kerap muncul dengan celetukan-celetukan serta karakter-karakter nyeleneh, utamanya dalam 22 penampilan di semesta MCU. Laiknya Alfred Hitchcock yang juga kerap nyelonong masuk kamera sebagai cameo, Stan sudah sangat lama melakoninya. Mengutip James Robert Parish dalam Stan Lee: Comic-Book Writer and Publisher, pertamakali dia muncul sebagai cameo di tayangan-tayangan Marvel sudah sejak 1989 dalam serial televisi The Trial of the Incredible Hulk yang ditayangkan NBC pada 7 Mei 1989. Stan tampil sebagai salah satu juri penentu dalam persidangan Dr. Bruce Banner, alter ego Hulk.
Menurut Dedi Fadim, founder Komunitas Marvel Indonesia, kemunculan Stan sebagai cameo jadi semacam penanda bahwa tanpa kerja kerasnya dan teman-temannya (Jack Kirby, Steve Ditko dkk), mungkin film-film Marvel takkan booming seperti sekarang.
“Perannya selalu berubah-ubah tapi tetap as human being (manusia) yang bisa kasih statement yang kadang bisa buat kita sebagai penonton mikir dan pemerannya tertegun. Paling berkesan buat saya sih, di Iron Man di mana tokoh Stan Lee disamain sama tokoh bos Playboy Hugh Hefner sama Tony Stark,” ujar Dedi dihubungi Historia.
Tidak hanya film-film bertema Marvel, beberapakali dia turut dalam produksi-film-film lain dengan genre berbeda. Seperti The Ambulance (1990), Mallrats (1995), The Princess Diaries 2: Royal Engagement (2004), Kick-Ass (2010), dan Pizza Man (2011). Tak terhitung cameo-nya di berbagai seri televisi dan animasi di luar Marvel.
“Bukan sebuah kewajiban (cameo film-film Marvel). Hanya saja saat lokasi syuting mereka dekat Los Angeles dan saya saat merasa sedang bisa melakukannya. Saya takkan bisa terbang jika lokasinya jauh. Jika lokasinya dekat, saya akan berusaha tampil sebisa saya karena Anda tahu, sekarang saya adalah aktor terbesar dunia, hahaha,” ujar Stan saat diwawancara Neal Conan dalam siaran National Public Radio, 27 Oktober 2010.
Goresan Hidup Anak Imigran
Lahir di New York, 28 Desember 1922 dengan nama Stanley Martin Lieber, dia tumbuh di lingkungan serba pas-pasan. Orangtuanya, Jack Lieber dan Celia Solomon, merupakan imigran Yahudi asal Rumania. Mereka hidup di sebuah apartemen sederhana dengan hanya ditopang nafkah dari ayahnya yang bekerja sebagai penjahit.
Untuk membantu kehidupan keluarganya, kadang Stan nyambi kerja part-time sebagai penulis obituari dan rilis pers untuk National Tuberculosis Center, jadi office boy (OB) di pabrik garmen, hingga jadi sukarelawan di WPA Federal Theatre Project –sebuah proyek amal untuk sejumlah teater yang terkena dampak Masa Depresi.
Baca juga: Asal-Usul Si Kocak Deadpool
Dalam memoarnya, Excelsior!: The Amazing Life of Stan Lee, disingkap bahwa sudah sejak masa belia Stan getol menulis dan bercita-cita ingin jadi novelis. Ilhamnya datang dari kegemarannya membaca buku dan menonton film, utamanya yang dibintangi aktor Errol Flynn. Kelak dia turut jadi pendorong Stan beralih menulis komik, termasuk saat ia juga mendaftar ke US Army (Angkatan Darat Amerika Serikat).
“Saya pernah bertanya pada diri sendiri, ‘Apa yang saya lakukan di sini, menulis komik?’ Saya tak bisa menjawab. Saya hanya merasa harus masuk tentara, menjadi pahlawan seperti Errol Flynn atau John Wayne,” kenang Stan dalam Excelsior!.
Ya, pada awal 1942 saat Perang Dunia II tengah berkecamuk, Stan masuk AD Amerika setelah sempat memulai kiprah dalam per-komik-an sebagai asisten penulis dan ilustrator di Timely Comics tiga tahun sebelumnya. Stan bisa hinggap di penerbit komik itu berkat bantuan pamannya, Robbie Solomon.
“Tugas saya memastikan botol tinta yang digunakan para ilustrator selalu terisi. Kadang diam-diam saya mengoreksi karya mereka saat mereka sibuk makan siang dan saya rampungkan buat mereka,” sambungnya.
Timely Comics merupakan nama penerbit lawas Marvel Comics sebelum di-rebranding pada 1961. Namun sebelumnya, seperti yang diuraikannya, ia turut ingin mengabdi dan masuk AD Amerika di Korps Sinyal dan Komunikasi meski kemudian dimutasi ke Divisi Training Film.
Baca juga: Sebelas Pesepakbola Dunia di Layar Perak (Bagian I)
Pasca-dinas militer, Stan kembali ke Timely Comics (yang lantas berubah Marvel) hingga menerbitkan karya pertamanya, Fantastic Four, yang dibuat bersama ilustrator Jack Kirby, di mana komiknya terbit medio November 1961. Seiring waktu, karakter-karakter karyanya bersama Kirby (Hulk, Thor, Iron Man, X-Men) bermunculan dan meledak di pasaran pada 1960-an.
Tidak ketinggalan karakter Daredevil yang diciptakan bersama Bill Everett, serta Doctor Strange dan Spider-Man bersama Steve Ditko, turut booming dan jadi penanda era baru yang berpengaruh dalam dunia komik superhero. Era itu, cerita dan karakter jagoan Marvel ciptaannya bersama rekan-rekannya lebih realis dan intim dengan kehidupan para pembacanya.
“Pengaruhnya paling terasa, dia bisa menularkan cerita dan karakter di komiknya dengan baik. Misal karakter Spider-Man, identik sama karakter anak muda yang kutu buku dan enggak bisa sosialisasi, terus jadi superhero yang bisa diterima masyarakat. Pengembangan karakter dan lingkungan di komiknya juga terus berlanjut mengikuti zaman. Seakan-akan apa yang terjadi di komiknya juga terjadi di dunia nyata,” sambung Dedi Fadim.
Oleh karena dibuat mendekati dan sangat intim dengan isu-isu yang terjadi di khalayak umum, tidak sedikit cerita yang disuguhkan komikus nyentrik itu tersisip sejumlah isu sosial seperti soal narkoba, diskriminasi, atau intoleransi. Maka, sosoknya juga turut dicintai dan dirindukan lintas golongan, tidak hanya para penggemarnya.
“Bagi fans Marvel ia bagaikan seorang ayah, mentor dan panutan. Dia benar-benar mewakili mimpi para fans yang dari dulu hanya dianggap remeh karena cuma demen baca komik. Dia juga mengajarkan hidup dari kesukaan akan sesuatu bisa diterapkan dan dijalankan di mana uang dan harta bukan segalanya yang dicari,” kata Dedi menutup obrolan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar