Masuk Daftar
My Getplus

Lebih Kece dengan Mompe

Mompe mengubah kebiasan berbusana perempuan Jawa dan Melayu. Dianggap lebih praktis dan ekonomis dari kain dan sarung.

Oleh: Yudi Anugrah Nugroho | 24 Sep 2014

DUA kali seminggu sekira 200 perempuan desa Belik, Pekalongan Syuu, melakukan latihan keprajuritan. Kegiatan itu diawali senam taiso, dilanjutkan praktik serbuan cepat menggunakan piranti senapan kayu, hingga berjalan menyusuri bukit. Mereka gesit dan tak lagi repot menyingsingkan kain yang membatasi langkah mereka. Kain panjang itu telah berganti menjadi mompe, sepasang pakaian dari kain katun, yang diperkenalkan pemerintah pendudukan Jepang pada 1944.

Menurut A.A. Hamidhan, pemimpin redaksi Borneo Simboen yang melawat ke Negeri Sakura, mompe merupakan pakaian di masa perang, “yaitu memakai blouse atau kimono pendek dengan celana panjang hingga merupakan kombinasi kimono dan celana, yang dalam bahasa Nippon disebut mompe,” tulis Hamidhan dalam Borneo Simboen, 4 Maret 1944. Sedangkan pakaian masa perang untuk lelaki disebut kokumin-fuku (seragam rakyat).

Di tengah krisis sandang melanda Jawa, mompe hadir sebagai busana alternatif yang dianggap praktis ketimbang kain yang telah lama digunakan perempuan Jawa dan sarung pada perempuan Melayu. Jepang menyerukan agar para perempuan beralih ke mompe dengan alasan ekonomis.

Advertising
Advertising

“Dengan sehelai kain panjang dapat dibuat dua potong mompe. Kain panjang yang tak dapat dipakai lagi karena telah sobek pun dapat dihidupkan (digunakan, red) kembali menjadi sepotong mompe. Marilah kita menyebarkan mompe secara Jawa ini di seluruh tanah kita,” tulis Djawa Baroe, 1 Juni 1944.

Kampanye alih busana pemerintah Jepang dilancarkan melalui suratkabar. Sinar Baroe, 11 Maret 1944, menampilkan mompe sebagai busana modern. Perempuan Melayu, terutama yang muda, dikabarkan lebih menyukai mompe, karena “sarung tidak bersesuaian lagi dengan masa (kini) untuk dipakai bekerja.”

Djawa Baroe edisi Juni-Juli 1944 menyajikan tips bagaimana membuat mompe dari kain bekas, dan pengenalan pola dasar pembuatan mompe dengan berbagai variasi model, ukuran, bahkan peruntukan usia. Salah satu pengasuh pembuatan pola di suratkabar itu, adalah J. Fuhrmann, perancang busana dari toko “Paris.”

Aiko Kurasawa, sejarawan Universitas Keio, menjelaskan bahwa mompe kerap digunakan perempuan yang tergabung dalam Fujinkai, organisasi perempuan bentukan Jepang. Setiap kota (Syuu) memiliki bentuk dan motif  mompe berbeda.

Di Jakarta Syuu, mompe menjadi semacam seragam. Model, bahan, maupun warnanya serupa. Di Pekalongan Syuu, model mompe begitu sederhana. Bahan celana dibuat dari bahan kain batik bekas, sehingga motifnya menjadi beragam, dan mereka tidak dibebani untuk memakai atasan tertentu. Mompe yang paling lengkap terdapat di Surabaya Syuu, yang dibuat Sekolah Rumah Tangga Sakura, karena dilengkapi topi model bonnet, blus bukaan dengan kancing di tengah muka, rok, dan lengan tambahan.

Mompe tak hanya menggantikan fungsi kain bagi perempuan Jawa, dan sarung bagi perempuan Melayu. Lambat laun, mompe menjadi identitas bagi kaum perempuan yang tergabung dalam organisasi, terutama yang berkegiatan keprajuritan.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia