JAUH sebelum daerah Kwitang di Jakarta sesak dengan bangunan rumah, toko, dan gedung perkantoran, di sana pada 1900-an tinggallah sebuah keluarga Betawi berada. Pemiliknya, Marzuki, memiliki bisnis bengkel mobil. Dia tinggal bersama seorang anak lelakinya, Ismail, yang lahir pada 11 Mei 1914 –kelak nama sang ayah melekat pada namanya, menjadi Ismail Marzuki. Istrinya meninggal dunia saat Ismail berusia tiga tahun.
Kepiawaian Marzuki dalam urusan kunci inggris dan oli rupanya tak menurun pada anaknya. Sedari kecil, Ismail yang kerap disapa Maing justru menaruh hati pada musik. Dia gemar mendengar alunan merdu dari gramafon milik keluarganya. Saat itu, dia pun mencoba bermain rebana, ukulele, dan gitar seperti kegemaran ayahnya bermain rebana dan kecapi serta handal melantunkan lagu bersyair Islam.
Ismail menjalani sekolah formal di HIS Idenburg Menteng, sementara untuk urusan agama di Madrasah Unwanul Wustha. Ismail kemudian melanjutkan pendidikan ke MULO di Jalan Menjangan, Jakarta. Setelah lulus, dia bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan.
Merasa tak cocok, dia pindah pekerjaan sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor, berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Juanda), Jakarta. Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Namun bukan nominal yang Ismail cari tapi kesempatan menambah koneksi di bidang seni. Dia bisa berkenalan dengan artis dan musisi seperti Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah.
Selain itu, musik adalah hobi yang benar-benar dia seriusi. Talentanya luar biasa. Pada usia 17 tahun, dia sudah menciptakan lagu berbahasa Belanda bertajuk “O Sarinah” pada 1931, yang menggambarkan suatu kondisi kehidupan bangsa yang tertindas. Padahal Ismail tak pernah secara khusus belajar musik di lembaga pendidkan seni. Dia bermusik secara otodidak. Orang sekarang bilang “bakat alam”.
Windy dkk dalam 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia mencatat karier musik Ismail diawali sebagai anggota grup musik Lief Java pimpinan Hugo Dumas, sebuah orkes terkenal di zaman Belanda. Bersama Lief Java, Ismail punya pengalaman bermain musik sampai ke Malaya. Lief Java kerap mengisi acara musik di stasiun radio NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maaeshappi) yang didirikan Belanda pada 1934.
Pada periode awal, karya Ismail dipengaruhi irama musik yang terkenal saat itu: jazz, hawaii, seriosa atau klasik ringan, dan keroncong. Karyanya yang terkenal adalah “Keroncong Serenata”, “Kasim Baba”, “Bandaneira”, dan “Lenggang Bandung”. Lagu ciptaannya “Bunga Mawar dari Mayangan” dan “Duduk Termenung” dijadikan tema lagu untuk film Terang Boelan (1937), yang dibintangi Raden Mochtar dan Roekiyah. Bersama Lief Java, Ismail memang terlibat langsung dalam mengisi lagu-lagu untuk film itu.
Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 19500-1950 Bikin Film di Jawa menceritakan, dalam film ini Raden Mochtar harus bernyanyi padahal ia bukan penyanyi. Ketika harus tarik suara dengan diiringi Lief Java, dia tak bisa mencapai nada tinggi sehingga dibantu Ismail. Selain menggubah lagu, Ismail juga punya suara bagus.
Pada 1941, Maing menikah dengan penyanyi keroncong grup Hea An asal Bandung, Eulis Zuraidah. Eulis adalah sumber inspirasi lahirnya lagu “Panon Hideung”, yang mengadaptasi lagu Rusia ”Ochi Chernye”.
Pada masa pendudukan Jepang, Ismail aktif di Hoso Kanri Kyoku, pengganti radio NIROM. Saat ini Lief Java juga berubah nama jadi Kirei Na Jawa. Di masa ini Ismail produktif berkarya, dari kroncong hingga lagu perjuangan. Semasa aktif di dunia musik, Ismail setidaknya menciptakan sekitar 200 lagu. Pada 25 Mei 1958, Ismail Marzuki meninggal dunia di rumahnya di Tanah Abang karena sakit paru-paru, dan dimakamkan di permakaman Karet Bivak.
Lima bulan sebelum meninggal, Ismail sempat menyelesaikan lagu terakhirnya, “Inikah Bahagia”: Bila nanti lara dan duka rawan kembali / Dari pada kosong hampa menantikan kasih / Kau ‘kan dengar lagu – sajang / Lagu kenangan sepi diambang sore.
Memang, cara terbaik untuk mengenang Ismail Marzuki adalah dengan mendengarkan lagu-lagunya. Beberapa di antaranya masih familiar di telinga penikmat musik Indonesia. Lagu “Juwita Malam“, misalnya, diaransemen ulang oleh Slank dan sempat menjadi hits di tangga lagu Indonesia. Begitu pula “Sabda Alam” yang dibawakan White Shoes & the Couples Company dalam film Berbagi Suami (2006).
Sebagai bentuk penghargaan, sejak 1968, namanya diabadikan sebagai nama pusat kesenian di Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2004, pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.
Baca juga:
Selayang Pandang Lily Suhairy
Komitmen Kebangsaan Seorang Komponis
Komponis Belanda Aransemen Indonesia Raya