Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Hak Cipta dan Royalti Musik di Indonesia

Diperkenalkan oleh Amir Pasaribu, hak cipta dan royalti musik belum mendapat tanggapan. Diteruskan oleh Bing Slamet.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 09 Apr 2021
Kaset musik yang sering dibajak dan dilanggar hak ciptanya. (Fernando Randy/Historia.id).

Awal April 2021, insan musik Indonesia bergembira. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. PP ini berisi mewajibkan pengguna lagu atau musik di karaoke, bioskop, restoran, hotel, bank, kafe, pub, kelab malam, diskotek, kereta api, pesawat terbang, kapal laut, dan bus membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu atau musik.

PP ini tak lepas dari UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. UU ini turut mengatur hak cipta di bidang musik. Dan keluarnya UU Hak Cipta berkait erat dengan keinginan insan musik agar masyarakat lebih menghargai karya mereka. Tidak saja dari segi kualitasnya, melainkan juga segi ekonominya.

Tak seperti sekarang, pembicaraan hak cipta musik bukanlah sesuatu yang lazim pada masa lampau. Ada dua nama yang mempopulerkan gagasan tentang hak cipta musik: Amir Pasaribu dan Bing Slamet. Amir Pasaribu adalah komponis musik yang mashyur di Indonesia. Dia kelahiran 1915 dan hidup sezaman bersama komponis andal lainnya seperti Ismail Marzuki, Kusbini, Binsar Sitompul, Liberty Manik, dan Cornel Simanjuntak.

Advertising
Advertising

Baca juga: Cornel Simanjuntak, Komponis yang Bertempur

Amir juga mahir menulis musik. Ulasannya terbit di majalah kebudayaan Indonesia selama 1950-an. Salah satu artikelnya tentang hak cipta musik. Dia menjelaskan bagaimana hak cipta musik bermula di Paris, Prancis, pada 1847. Kala itu Alexandre Durget dan Victor Parizot bermain di sebuah kafe atas permintaan pemilik kafe.

Para pengunjung bergembira menikmati sajian makanan dan musik itu. Usai menikmati makanan dan musik, pemilik kafe menyodorkan bon kepada pengunjung dan dua komponis itu. Pengunjung tak berkeberatan membayar makanan dan musiknya. Tapi dua komponis itu protes keras.

“Mereka tidak bersedia membayar konsumsi dan sebagainya itu; sebab bukanlah pemilik tempat itu telah memungut uang dari para tamunya, sedang mereka sepeser pun tidak diberi,” catat Amir dalam “Hak Cipta Musik” termuat dalam Amir Pasaribu Analisis Musik Indonesia, kumpulan tulisannya di berbagai media pada 1950-an.

Amir meneruskan, dua komponis itu melaporkan peristiwa di kafe ke pengadilan Tribunal de la Seine. “Hakim membenarkan bahwa musik mereka harus dibayar... Lalu di bulan Mei 1850 lahirlah pembayaran hak cipta yang pertama kali di Paris,” terang Amir.

Prinsip hak cipta musik kemudian dikukuhkan melalui Konvensi Internasional di Berne tahun 1886 dengan revisi Roma 2 Juni 1928 dan Brussel 26 Juni 1948. Amir membagi hak cipta musik menjadi dua: hak edisi atau reproduksi dan hak pertunjukan atau representasi.

Hak edisi atau reproduksi adalah hak komponis dan pencipta untuk memperbanyak atau memproduksi ciptaannya dalam suatu bentuk. “Misalnya mencetak, merekam piringan gramofon atau ban pelikul sinematografi,” tulis Amir. Sedangkan hak pertunjukan atau representasi berkenaan dengan hak komponis dan penciptanya untuk menyiarkan ciptaannya di depan umum.

Jika orang lain ingin menggunakan dua hak tersebut, dia harus membayar kepada komponis atau penciptanya. Izin itu dapat diperoleh dari badan perwakilan komponis. Ketidakpatuhan terhadap hal tersebut berarti pelanggaran terhadap konvensi hak cipta musik.

Baca juga: Aturan Hak Cipta Lukisan

“Pendek kata, semua pertunjukan musik untuk umum yang memainkan musik tidak seizin komponisnya atau wakilnya berarti melanggar undang-undang hak cipta, baik pertunjukan tersebut memakai tenaga para pemusik, maupun reproduksi mekanik atau pemancar radio,” sebut Amir.

Tapi saat itu, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Hak Cipta di Born. “Alasannya, disebabkan Indonesia masih memerlukan banyak karya dari luar... Bayangkan, apabila kita terikat dengan perjanjian internasional mengenai hak cipta, tentunya harus membayar mahal dan meminta izin yang mungkin juga terlalu rumit,” catat Vista, No. 544 tahun 1982, dalam “UU Hak Cipta Suatu Anugerah: Bagaimana Pelaksanaannya?”

Keadaan ini menyebabkan penghargaan terhadap karya musisi sangat rendah. Orang secara bebas dan serampangan dapat saja menggunakan karya tersebut demi kepentingan perutnya sendiri. Melupakan jerih payah para penciptanya.

Nama penggagas hak cipta musik berikutnya adalah Bing Slamet. Dia seniman serba bisa: mahir melawak, berakting, dan bermain gitar. Masa keemasannya merentang dari 1960–1970-an. Pada masa ini pula dia sempat berkunjung New York World’s Fair 1964. Di pameran dunia ini, Bing mengalami kejadian tak menyenangkan.

“Ia merasa kesal setiap menyanyikan lagu-lagu ciptaan orang Amerika, selalu diklaim harus membayar royalti yang cukup mahal,” catat Sinar Harapan, 21 Desember 1974.

Baca juga: Bing Slamet Adu Lucu Lawan Joey Adams

Saat itu, Bing bersama delegasi Indonesia menyanyikan lagu “Blue Moon”, “I am in the Mood of Love”, dan “I Have Lost My Heart in San Fransisco”. “Pihak kita dikenakan denda sebesar 2.000 dolar AS untuk membayar copy right karena kita dituduh melanggar hak cipta dan Union of Musicians dari Amerika Serikat,” ujar Bing dikutip oleh Sutrisno dalam Bing Slamet Hasil Karya dan Pengabdiannya.

Bing mengaku belum tahu aturan tersebut. Tapi Union tak mau tahu. Pokoknya Bing dan kawan-kawan harus bayar. Sebenarnya denda mereka 8.000 dolar. Tapi setelah tawar-menawar, dendanya jadi 2.000 dolar. Mereka bayarkan denda itu ke Union of Musicians, semacam lembaga para musisi yang mengurusi segi artistik dan ekonomis musik atau lagu.

Dari kejadian itu, Bing terinspirasi untuk mendirikan lembaga serupa. “Saya menghendaki sebuah tempat bagi para musisi, apakah ia penyanyi, pemain band maupun orkestra, dan para pencipta lagu. Union ini harus dapat menata kehidupan musik di negeri ini, memupuk artis-artis berbakat, mengukuhkan pemilikan hak cipta setiap artis,” kata Bing dalam Sinar Harapan.

Tapi gagasan Bing tak banyak mendapat tanggapan. “Masa itu semua orang sudah terlalu kalut diaduk kepentingan politik sehingga tidak berkesempatan lagi membeningkan pikiran untuk mendengarkan suara nurani yang utuh,” lanjut Bing.

Bing kemudian meninggal pada 17 Desember 1974. Gagasan tentang hak cipta musik itu pun pergi bersama dirinya.   

Memasuki 1980-an, kalangan seniman mulai tertarik kembali membicarakan hak cipta. Mereka mendorong DPR agar membuat sebuah RUU tentang hak cipta karya seni. Musik termasuk di dalamnya. “Cermin-cermin luar negeri mulai dipakai alasan. Negeri Inggris, Amerika, Australia, Belanda mulai dibawa-bawa dalam setiap pembicaraan hak cipta,” ungkap Vista.

Baca juga: Bing Slamet, Lucu Sejak Dalam Pikiran

Kasak-kusuk seniman ditanggapi oleh parlemen. Mereka membuat RUU tentang Hak Cipta lalu mengesahkannya menjadi UU No. 6 pada 26 Februari 1982. Para seniman musik bersorak kegirangan. “Rasanya hampir semua musikus menyambut gembira akan hal ini,” terang Vista.

Musisi menyatakan kehadiran UU Hak Cipta berikut perlindungan hak ekonomi ciptaannya telah lama dinantikan. Kehadiran UU Hak Cipta ini juga menjadi senjata bagi mereka untuk melawan pembajakan karya di dalam dan luar negeri, terutama di Singapura.

Bersama itu pula gagasan Bing tentang Union para musisi hidup kembali. “Union itu yang menentukan klasifikasi dan standarisasi honor artis,” kata Krisbiantoro, penyanyi sekaligus pembawa acara kondang.

Selepas pengesahan UU itu, Indonesia ikut meratifikasi konvensi internasional tentang hak cipta. UU Hak Cipta juga mengalami beberapa penyempurnaan setelahnya. Secara bertahap pula, aturan turunannya muncul hingga sekarang.

TAG

musik bing slamet

ARTIKEL TERKAIT

Eric Carmen dan "All By Myself" Komponis dari Betawi God Bless di Mata Roy Jeconiah Ray "The Doors" Prajurit Rock n’Roll Aretha Franklin dan Hegemoni Maskulinitas Musik Rock Pendiri Pink Floyd Peduli Palestina Alkisah Bing Slamet Koes Plus dan Mantan Perwira AURI Orba Benci Musik Cengeng Anak Presiden Main Band