Masuk Daftar
My Getplus

Kampung Sindangbarang Menghadirkan Sejarah dan Budaya Sunda

Demi baktinya kepada nenek moyang, dia mengabadikan sejarah dan budaya Sunda.

Oleh: Hendi Jo | 13 Nov 2015
Kampung Sindangbarang Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Foto: Hendi Jo/Historia.

ANDA ingin berkunjung ke masa lalu? Datanglah ke Kampung Sindangbarang Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Selain menghadirkan suasana rumah adat Sunda, di kampung yang terletak dalam wilayah kaki Gunung Salak tersebut, anda akan mendapatkan makanan khas Sunda zaman baheula dan kesenian Sunda yang sekarang nyaris punah.

Adalah Maki, panggilan akrab Achmad Mikami Sumawijaya, yang membangun kampung sejarah dan budaya itu di lahan seluas 8600 meter persegi. Hampir delapan tahun dia merintis upaya itu. Langkah pertamanya membangun beberapa jenis rumah adat khas Sunda Bogor: imah gede, girang serat, saung taluh, saung lisung, leuit, pasanggrahan, imah kokolot, bale pangriungan, tampian dan saung sajen. Di juga menghidupkan tradisi lokal setempat, seperti seren taun, parebut seeng, malem opatwelasan, rebo kasan dan angklung gubrag.

“Upaya revitalisasi budaya ini takan terjadi tanpa bantuan dari para sesepuh Bogor dan para inohong (pejabat) Jawa Barat,” ujar lelaki kelahiran Jakarta, 11 Mei 1970 itu.

Advertising
Advertising

Asal muasal ide tersebut muncul kali pertama saat Maki melakukan kunjungan kerja ke Manado, Sulawesi Utara pada 2004. Dia tak sengaja menyaksikan sekelompok bule dari New York bermain gamelan Sunda di televisi. Dia merasa malu. “Ketika bangsa lain mencintai budaya Sunda, lalu di mana orang-orang Sunda?” ujar pengusaha di bidang teknologi informasi tersebut.

Pulang dari Manado, Maki langsung beraksi. Dengan memanfaatkan lahan miliknya di Kampung Sindangbarang, dia mendirikan Giri Sundapura. Di padepokan itu, dia mengadakan latihan gratis bagi anak-anak muda Sindangbarang yang ingin belajar tari Sunda Bogor. Dalam waktu yang tidak lama, Giri Sundapura dikenal sebagai sanggar tari yang disegani di Bogor dan sekitarnya.

Bersama Giri Sundapura, Maki dibantu Anis Djatisunda, sesepuh Sunda Bogor, berhasil menyelenggarakan lagi upacara seren taun pada 2006. Setelah 36 tahun upacara penghormatan untuk Dewi Sri Pohaci (dewi padi) ini raib dari bumi Bogor. Terakhir dilakukan di Sindangbarang pada 1970 oleh kepala desa Etong Sumawidjaya, kakek Maki.

“Pada saat itu kami melakukannya belum di Kampung Sindangbarang tapi di lapangan depan SDN Pasireurih,” kata Maki.

Pada 2004, Maki berhasil menampilkan kembali sebagian kegiatan tradisi lama Sunda Bogor. Namun, satu hal yang masih mengganggu pikirannya, yakni belum adanya kampung budaya. “Padahal menurut ketentuannya, kehadiran kampung budaya adalah salah satu prasyarat utama untuk  mengadakan berbagai kegiatan tersebut,” kata suami dari Aulia Dewi Hardjakusuma tersebut.

Lantas, Maki menghubungi para sesepuh Bogor. Di antaranya Anis Djatisunda dan Eman Sulaeman. Lewat mereka, Maki bisa terhubung dengan para inohong Kabupaten Bogor dan Provinsi Jawa Barat. Usai berembuk mereka sepakat membangun kampung budaya di Sindangbarang. Total jenderal dana yang diperlukan Rp1,3 milyar.

“Kami setuju untuk patungan, pemerintah provinsi Jawa Barat 750 juta rupiah, Pemkab Bogor 25 juta rupiah dan sisanya dari saya,” kata Maki.

Di Kampung Sindangbarang, kini berdiri sekitar 10 bangunan adat Sunda Bogor yang mengelilingi sebidang tanah  seluas lapangan sepakbola yang disebut alun-alun. Pembuatan bangunan tidak sembarangan, harus mengikuti petunjuk karuhun (nenek moyang) dan melalui upacara khusus.

“Posisi, bahan, bentuk dan arah disesuaikan dengan petunjuk yang kami dapat dari Pantun Bogor,” ujar Maki. Pantun Bogor adalah naskah tua yang berfungsi sebagai rujukan sejarah bagi orang-orang Sunda Bogor.

Proses pembangunan kampung budaya dan penyelenggaraan kegiatan tradisi lama berjalan mulus. Di Sindangbarang ada sebagian pihak masyarakat menolak upaya revitalisasi tersebut. Alasannya macam-macam. Salah satunya yang paling gencar adalah alasan agama. Maki dan kawan-kawan cukup sabar menghadapinya. Setelah melalui pendekatan persuasif dan diskusi, pihak yang menolak akhirnya bisa menerima.

Siapun bisa datang ke kampung budaya Sindangbarang, termasuk para peneliti. “Sudah banyak yang datang meneliti ke sini, untuk mereka kami menyediakan fasilitas tempat tinggal dan makan secara gratis. Ya, tentunya dengan kondisi seadanya,” ujarnya.

Apa sebenarnya harapkan Maki menghadirkan kembali budaya Sunda Bogor? Sambil tersenyum dia menyatakan sekadar memenuhi bakti kepada para karuhun. Sebagai bentuk rasa hormat anak kepada orangtuanya. “Banyak orang bilang saya buang-buang duit, tapi ini bukan soal duit atau kekayaan materi. Ini sesuatu yang tak bisa dihargai dengan uang,” katanya.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

I Nyoman Ngendon, Perupa Pita Maha yang Terjun ke Medan Perang Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Jalan Radius Prawiro Sebagai Pengikut Jesus Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Peran Radius Prawiro dalam Lobi-lobi Internasional Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Radius Prawiro Hapuskan SIAP yang Menghambat Pembangunan Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I)