Pada Oktober 1961, Cindy Adams bersua dengan Presiden Sukarno. Jurnalis berparas cantik kebangsaan Amerika itu memang tengah bertugas mewawancarai Bung Besar. Sukarno meminta Cindy menjadi penulis otobiografinya. Dalam pertemuan pertama mereka, Cindy melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik namun terbilang berani.
“Tuan, mengapa anda selalu mengenakan seragam?” tanya Cindy dalam My Friend the Dictator.
“Aku memakai seragam oleh karena aku Panglima Tertinggi. Rakyatku sudah begitu lama dijajah Belanda. Mereka telah dijadikan koloni selama ratusan tahun, mereka sudah lama diperbudak,” jawab Sukarno. “Setelah kemerdekaan Indonesia aku proklamirkan, aku harus bisa memberikan kepada mereka sebuah citra, suatu kebanggaan. Maka aku selalu memakai seragam.”
Namun, dengan setengah menggoda, Cindy menukas Sukarno dengan tatapan mata yang lekat, “Saya tidak percaya terhadap semua penjelasanmu. Saya yakin, kau selalu memakai pakaian seragam karena kau sendiri sadar, dirimu terlihat tampan jika memakainya.”
Sukarno terdiam sesaat, kemudian menjawab, “Kamu benar, tapi tolong jangan ceritakan keluar.”
Tak hanya Sukarno. Beberapa pemimpin Asia Tenggara yang lain juga punya gaya yang ikonik dalam berbusana. Politik berpakaian memang kerap ditampilkan oleh pemimpin negara di Asia Tenggara, terutama setelah negerinya merdeka dari kungkungan kolonialisme.
Jose Rizal pemimpin gerakan nasionalis Filipina dalam berbagai potret acap kali mengenakan jas mantel membaluti tubuhnya. Padahal, suhu musim panas dan musim dingin di negeri itu sesungguhnya tak jauh berbeda. Jas mantel Rizal itu ternyata dibuat di Hong Kong.
Menurut Karim Raslan, jas mantel Jose Rizal mencerminkan simbol perlawanan. Filipina dijajah Spanyol selama empat ratus tahun. Dalam cengkraman Spanyol, orang-orang Indio –penduduk Filipina asli seperti Rizal– begitu terdesak dan terasing. Sementara itu, Jose Rizal adalah segelintir nasionalis Filipina yang terdidik di masanya. Dia adalah seorang dokter-cum-sastrawan yang menulis dua buah novel dalam bahasa Spanyol. Dia juga seorang poliglot yang menguasai delapan bahasa, termasuk Belanda, Yunani, dan Latin.
“Baginya (Rizal), menulis dalam bahasa Spanyol dan memperagakan segala perlengkapan lelaki budiman penghujung era Victoria mengampuhkan rasa kebanggaan nasional,” tulis Karim, jurnalis kawakan Malaysia dan pengamat Asia Tenggara dalam Menjajat Asia Tenggara.
Ada lagi Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura periode 1959-1990. Yew terlihat khas dengan kemeja putihnya. Hal ini bisa jadi melambangkan egalitarianisme Lee yang memimpin Singapura dengan berbagai etnis dan kelas sosial di dalamnya (baca: Chemistry Lee Kuan Yew pada Soeharto)
“Kesederhanaan jelas kemeja putih itu akan membantu merapatkan sedikit jurang perbedaan etnik,” tulis Karim.
Di negeri Malaysia, pemimpin seperti Tunku Abdul Rahman malah menampilkan gaya berpakaian yang jauh dari kesan sederhana. Tak heran, dia memang putra seorang sultan. Dengan balutan kain sutera dilengkapi selempang dan aneka hiasan, pakaian resminya menyolok mata. Potretnya kini masih terpampang dalam mata uang ringgit.
“Pakaian resmi gilang gemilang dan mahal zaman itu mencerminkan ciri feodal yang terus didaulatkan oleh masyarakat Melayu,” tulis Karim.
Sementara itu, Sukarno, menurut Karim, dengan penampilannya juga melambangkan citra diri penuh kebanggaan. Sukarno kerap terlihat mengenakan seragam militer rancangannya sebagai panglima tertinggi lengkap dengan lencana-lencana –kendati dirinya bukan berlatar belakang militer. Tak lupa kaca mata hitam dan tongkat komando dalam kepitan. Dirinya pun tampak semakin sedap dipandang mata dengan peci, ibarat mahkota yang menudungi rambutnya yang mulai menipis.
Dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno mengakui citra dirinya bertujuan untuk meninggikan martabat bangsanya selepas penjajahan. “Indonesia harus menguasai kesadaran diri dan rasa rendah diri. Ia membutuhkan rasa percaya diri. Itulah yang harus kuberikan kepada rakyatku sebelum aku meninggalkan mereka. Saat ini Sukarnolah yang menjadi faktor pemersatu Indonesia.”