Masuk Daftar
My Getplus

Model Rambut Anti Kemapanan

Gaya rambut Bob yang sederhana pernah menjadi simbol perlawanan.

Oleh: Devi Fitria | 15 Mar 2010

APAKAH kesamaan yang dimiliki Michelle Obama, Editor Vogue Anna Wintour, Victoria Beckham, Katie Holmes, dan Condoleeza Rice? Meski memiliki latar belakang yang berbeda, keempat perempuan itu memilih untuk memotong rambutnya dengan gaya yang hampir sama. Potongan rambut Bob. Potongan Bob praktis, tidak terlalu panjang, mudah ditata, tapi masih menampilkan kesan feminin. Ia dianggap cocok oleh para perempuan berbagai latar belakang tadi.

Potongan rambut ini ternyata punya sejarah panjang. Pada 1909, seorang penata rambut Prancis, Antoine de Paris, diminta seorang aktris Eve Lavalliere untuk memotong rambutnya.

Ketika itu Lavalliere mendapat tawaran untuk tampil di panggung teater di Paris. Lavalliere harus bersaing dengan para aktris Paris yang masih belia. Maka ia pun meminta Antoine untuk memotong rambutnya hingga ia bisa terlihat lebih muda. Gaya rambut Bob pun tercipta. Tanpa disangka gaya rambut ini menjadi populer di seantero Paris.

Advertising
Advertising

Tahun 1913 seorang penari terkemuka Amerika, Irene Castle, merasa rambutnya yang panjang sering menyulitkannya dalam pertunjukan. Tari modern, yang baru saja berkembang, mengharuskan Castle bergerak cepat. Tak jarang gerakan cepat ini membuat jepit rambutnya jatuh ke arah penonton. Ia kemudian memotong rambutnya hingga di bawah telinga.

Gaya rambut ini makin populer saat Perang Dunia I. Para perempuan mulai memotong pendek rambut mereka dengan alasan kepraktisan. Bob menjadi gaya rambut yang cukup jamak ditemui.

Tahun 1920 kepopuleran Bob makin menanjak. Terlebih ketika majalah mode Vogue, yang dianggap kiblat berbusana para perempuan, menampilkan sampul seorang perempuan berambut pendek, bergaya Bob.

Di era yang sama, Coco Chanel, seorang desainer kenamaan Prancis, merevolusi cara berpakaian perempuan. Chanel yang inovatif menciptakan pakaian perempuan bergaya maskulin. Chanel memperkenalkan celana panjang, rok di atas lutut, serta jas untuk dikenakan perempuan.

Tren terbaru ala Chanel ini sempat menimbulkan kontroversi. Hingga saat itu, pakaian bergaya laki-laki tak lazim dikenakan perempuan. Mengenakan rok di atas lutut dianggap sesuatu yang agak memalukan bagi kebanyakan perempuan. Chanel tak ambil pusing. Baginya, tujuan penciptaan model pakaian yang revolusioner itu semata demi alasan kepraktisan dan kenyamanan.

Namun untuk perempuan muda saat itu, busana ala Chanel mengandung arti berbeda. Sebuah lambang pemberontakan. Kebebasan. Tanpa disadarinya, Chanel mendorong kemunculan flapper –para perempuan muda yang memberontak terhadap nilai-nilai konvensional masyarakat.

Mereka mengenakan pakaian ala Chanel dan pergi ke kelab-kelab malam, sesuatu yang memalukan untuk “perempuan baik-baik” masa itu. Mereka juga mendengarkan musik jazz, merokok, minum, dan bergaya hidup bebas dengan tak menabukan seks di luar nikah. Tujuan utamanya menampilkan generasi perempuan yang kuat, mandiri, dan tak terkungkung nilai-nilai sosial.

Potongan rambut Bob menjadi bagian penting penampilan para flapper. Potongannya yang sederhana dan praktis cocok dengan citra kuat dan mandiri yang ingin ditampilkan kelompok itu. Kepopuleran flapper dan gaya rambut Bob begitu meluas sampai-sampai penulis kenamaan F. Scott Fitzgerald menulis sebuah cerita pendek berjudul Bernice Bobs Her Hair pada Mei 1920.

Namun di sisi lain banyak orang memandang Bob sebagai simbol emansipasi yang kebablasan. Ratu Mary dari Inggris meminta para stafnya yang bergaya rambut Bob untuk menutup kepala mereka di acara-acara resmi. Pada 1925, seorang guru dari New Jersey diperintahkan oleh Badan Pendidikan di sekolahnya untuk memanjangkan rambutnya. Banyak khutbah di gereja-gereja mengingatkan jemaatnya bahwa “perempuan yang memotong rambutnya dengan gaya ini adalah perempuan yang memalukan”.

Pada 1930-an kepopuleran flapper menyusut. Ini berkaitan erat dengan kejatuhan bursa Wall Street pada 1929, yang meruntuhkan ekonomi Amerika dan mengawali krisis ekonomi paling parah di dunia. Gaya hidup flapper yang hedonis dianggap tak sesuai dengan kondisi serba prihatin yang harus dihadapi banyak orang.

Untuk sementara gaya rambut Bob ikut tenggelam. Potongan rambut ini kembali mengemuka pada 1960-an, masa Generasi Bunga. Adalah penata rambut asal Inggris, Vidal Sassoon, yang kembali mempopulerkannya. Ibu negara Amerika saat itu, Jackie O, memotong pendek rambutnya dengan gaya Bob. Ia menciptakan sebuah standar baru bagi potongan rambut ibu negara Amerika. Pendek, rapi, dan praktis tapi tanpa kehilangan sentuhan feminin.

Selain Jackie O, ikon pop mulai supermodel Twiggy dan Mary Quant hingga pemain bola kenamaan Inggris, George Best, “berjasa” membuat Bob kembali mengemuka.

Di waktu-waktu selanjutnya, Bob berkembang dalam berbagai varian dan gaya. Salah satunya dikenal dengan nama Power Bob. Bob yang semula merupakan simbol perlawanan bergeser menjadi potongan rambut yang menyiratkan kekuatan seorang perempuan.

Anna Wintour, pemimpin redaksi majalah Vogue yang punya pengaruh besar di dunia fashion, memotong rambutnya bergaya Power Bob. Gaya rambut ini pernah menjadi pilihan Hillary Clinton, dan sampai sekarang masih dianggap paling cocok oleh Condoleeza Rice.

 

 

TAG

retro

ARTIKEL TERKAIT

Evolusi Dasi Razia Celana Jengki Pakai Botol Bir Gaya Busana Pemimpin Asia Tenggara Gaya Rambut Sapu Celana Superpendek yang Menggoda Membalut Sejarah Popok Sedia Payung Walau Tak Hujan Tato, Dari Petrus Hingga Angelina Jolie Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia