DULU bukanlah pemandangan aneh jika ada ibu menggantikan popok si kecil di tempat-tempat umum. Waktu itu popok kain masih menjadi pilihan utama.
Endang Sri Widayati, pegawai Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kelautan Kota Pekalongan, menuturkan pengalamannya ketika memiliki bayi. Dia membuat sendiri popok bagi si buah hati dengan bahan kain katun dan mori. “Aku sulam, aku kasih bunga-bunga,” dan 10 menit kemudian jadilah satu popok. “Yang ngajari mami aku. Terpaksa, karena tak banyak yang jual popok,” ujarnya kepada MHO.
Di sejumlah desa di Bali, para ibu memilih popok kain dengan alasan tradisi. “Ada nilai khusus tentang popok; (kami) menggunakan kain bekas orangtua agar si bayi hormat dan bakti pada orangtua,” ujar Susy Widayati WSK, seorang ibu di Denpasar.
Saat ini, mulai jarang terlihat aktivitas mengganti popok di tempat-tempat umum. Ini dimungkinkan berkat popok sekali pakai (disposable diapers) yang bisa meresapkan air seni si bayi. Praktis dan efisien.
Penggunaan popok sudah dilakukan sejak zaman kuno. Ini bisa ditemukan dalam dokumen-dokumen Mesir, Aztec, Romawi, dan lainnya yang melukiskan kegiatan sehari-hari. “Popok merupakan salah satu benda pertama yang membedakan manusia dari hewan,” tulis www.disposablediaper.net.
“Popok kuno terbuat dari kulit binatang, lumut, linen, dedaunan, dan sejenisnya,” tulis www.diaperjungle.com.
Pada akhir abad ke-19, bayi-bayi di Eropa dan Amerika Utara mulai mengenakan popok, yang kita kenal sekarang. Bahannya dari kain linen persegi atau planel katun yang dilipat menjadi bentuk persegi. Sebagai kancingnya, digunakan peniti. Pada abad ini pula popok kain mulai diproduksi massal oleh Maria Allen, seorang ibu asal AS. “Popok kain memulai debutnya pada 1887,” tulis Catherine O′Reilly dalam Did Thomas Crapper Really Invent the Toilet?: The Inventions That Changed Our Homes and Our Lives.
Revolusi popok terjadi ketika muncul popok sekali pakai (disposable diapers). Pada 1942, sebuah perusahaan kertas di Swedia, Paulistrom, menciptakan popok sekali pakai pertama, terbuat dari lembaran tisu yang dimasukkan ke dalam celana karet. Empat tahun kemudian Marion Donovan, seorang ibu rumahtangga asal Connecticut, AS, membuat popok anti-air dari lembaran plastik yang biasa dipakai untuk tirai kamar mandi. Upayanya bermula dari kerepotannya karena kerap kali harus mengganti popok bayinya. Buah dari usahanya, Marion mendapat empat hak paten atas temuannya, termasuk penggunaan kancing plastik yang lebih aman sebagai pengganti peniti.
Pada 1950-an, banyak perusahaan ikut bermain dalam industri popok. Procter & Gamble (P&G) mulai serius mendalami popok. Penelitian dilakukan tahun 1956. Tiga tahun kemudian Victor Mills –ilmuwan perusahaan yang ikut dalam proyek bernama p-57– berhasil mengembangkan popok modern, yang kemudian diberi merek Pampers. Produk ini mulai dipasarkan dua tahun kemudian. Pampers kemudian menjadi nama yang sering dipakai untuk menyebut popok sekali pakai.
Tapi P&G bukanlah satu-satunya yang memproduksi popok sekali pakai. Ada Kimberly Clark, misalnya, yang mengeluarkan produk Huggies. Persaingan ketat pun tak terelakkan. Perseteruan antara Pampers (P&G) dan Huggies (Kimberly Clark) “membuat harga murah dan perubahan drastis pada desain popok,” tulis Leah Leverich dalam Cloth Diapers.
Perkembangan teknologi memungkinkan para produsen berinovasi. Di antaranya penggunaan polimer penyerap, plester pengunci, atau pengikat yang lebih elastis. Bentuk dan kemampuan serapnya pun terus diperbaiki. Saat ini popok umumnya lebih tipis dan nyaman dipakai. Kemampuan serapnya sangat baik. Motif dan warnanya pun beragam.
Di Indonesia, penggunaan popok sekali pakai dimulai pada 1980-an. Umumnya, dipakai bayi-bayi dari kalangan ekspatriat. Baru pada 1990-an, penggunaannya meluas. Ia jadi pilihan karena lebih praktis. Si buah hati bisa diajak jalan ke mana-mana. Si ibu atau pengasuh tak perlu repot-repot mengganti popok setiap kali si kecil ngompol –dan mencucinya. Tak perlu khawatir sofa atau kasur jadi kotor. Juga tak perlu repot membersihkan ceceran pipisnya di lantai.
Penggunaan popok sekali pakai menjadi tren. Tapi, sejumlah ibu punya pertimbangan lain untuk tak memilihnya. Harga popok sekali pakai jauh lebih mahal ketimbang popok kain. Popok sekali pakai juga membuat kulit bayi merah, lecet, alergi, atau bahkan bengkak. Kulit bayi juga lebih rentan terhadap jamur. “Keadaan kulitnya belum sebagus kita,” ujar dr. Wibisono, praktisi kesehatan asal Tangerang. Selain itu, pemakaian popok ini menyebabkan anak tak peka terhadap sinyal tubuh akan keperluan membuang hajat. Si kecil juga agak kesulitan untuk membiasakan diri buang air di toilet (potty training). Tak kalah penting, alasan kelestarian lingkungan karena popok sekali pakai umumnya mengandung unsur plastik dan bahan kimia.
Beberapa tahun belakangan, sekumpulan ibu-ibu di Manhattan, New York, AS, membentuk support group bagi orangtua yang tak memakaikan popok sekali pakai pada anak-anak mereka. Mereka beralasan, popok sekali pakai mahal dan menumbuhkan konsumerisme serta tak nyaman bagi bayi yang selalu “menduduki” pipis dan tinjanya sendiri. Gerakan ini menyebar ke sejumlah tempat. Di Indonesia, ada DiaperFreeBabies. Mereka berpaling kembali untuk menggunakan popok kain.
Popok kain juga mengalami evolusi, yang disesuaikan dengan kebutuhan orangtua modern. Sudah lebih praktis, tak seperti popok kain zaman dulu. Jenisnya pun beragam. Ada popok kain yang bisa menahan pipis si kecil agar tak tembus dan berceceran ke mana-mana seperti jenis prefold, diaper cover, pocket diaper, atau fitted diaper. Berdasarkan peruntukannya pun popok berbeda-beda, berjenjang menurut usia dan kebutuhan. Jenis pull ups pants, misalnya, cocok untuk bayi yang sudah bisa lari ke mana-mana. Warna dan motifnya pun lucu-lucu.
Sekarang, terserah Anda untuk menunjukkan kasih sayang pada si kecil dalam memilih popok. Terlihat modern boleh saja. Tapi kenyamanan dan kesehatan si kecil tetaplah jadi pertimbangan utama.