Masuk Daftar
My Getplus

Cinta Hoegeng-Mery Bermula dari Sandiwara Radio

Kisah Saijah-Adinda dalam roman Multatuli mempertemukan Hoegeng dengan Mery sampai ajal memisahkan mereka.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 14 Feb 2016
Hoegeng dan Mery pada masa muda mereka. Sumber: Repro Biografi Hoegeng.

SAIJAH, lelaki yang menjadi tunangan seorang gadis Banten, Adinda merantau ke Batavia karena kerbaunya dirampas penguasa. Beberapa lama kemudian dia rindu kembali pulang ke kampungnya di Desa Badur, Lebak. Dia berharap bisa menemui Adinda dan menikahinya segera.

Namun tragis, dia mendapati kampungnya telah porak poranda oleh serbuan Belanda. Saijah juga tidak bisa bertemu Adinda. Kabarnya Adinda pergi melarikan diri bersama keluarganya dan beberapa penduduk kampung ke Lampung terus melawan penyerangnya.

Besarnya cinta Saijah membuatnya ingin menyusul Adinda. Dia ke Lampung untuk ikut bertempur melawan Belanda. Sayangnya, di sana dia justru kembali menemukan kampung yang hancur terbakar karena serangan penjajah. Dalam huru-hara itu, dia mendapati Adinda mati dengan tragis bersama keluarganya.

Advertising
Advertising

Dengan sedih, Saijah berupaya melawan sisa-sisa serdadu yang masih ada. Namun, dia justru menjemput ajalnya di tempat itu. Saijah pun mati di tangan penjajah.

Baca juga: Multatuli, pembongkar kejahatan atau seorang yang nyinyir?

Setelah diterbitkan tahun 1860, kisah tragis percintaan Saijah dan Adinda yang ada di dalam Max Havelaar karya Multatuli itu mulai dikenal luas. Melalui radio Angkatan Laoet, Darat, dan Oedara (ALDO), fragmen kisah ini pernah pula disadur menjadi naskah sandiwara radio berbahasa Indonesia.

Lebih jauh lagi, ternyata kisah ini juga menjadi saksi pertama munculnya benih asmara antara Hoegeng Imam Santoso dan Mery Roeslani. Keduanya adalah sepasang Saijah dan Adinda dalam sandiwara radio itu.

Sandiwara itu memang terkendala karena peran Saijah masih kosong. Sebenarnya, Raden Soekarno yang kala itu merupakan pemain sandiwara terkenal sudah ditawari peran Saijah. Namun, tawaran itu ditolak. Hoegeng mengaku dipaksa agar bersedia menerima peran Saijah.

Saat itu, Hoegeng yang menetap di Yogyakarta masih berumur 25 tahun. Dia mengaku sedang serius memikirkan karir Angkatan Laut. “Saya yang saat itu sedang serius, atau belagak serius memikirkan PMCK Angkatan Laut dan kepingin bersenang-senang di luar, hanya menanggapi tawaran dengan tertawa cuek,” kisah Hoegeng, dalam otobiografinya Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan karya Abrar Yusra dan Ramadhan K.H.

Baca juga: Polisi zaman Kompeni

Karena terus menolak, kawannya, Iskak, sampai harus “menjebak” Hoegeng supaya bersedia memerankan peran Saijah. Saat itu, di Yogyakarta, Iskak merupakan seorang Kapten TNI, sekaligus pemimpin seksi hiburan di radio ALDO. Iskak berjanji akan memperkenalkan Hoegeng secara langsung dengan seorang gadis cantik jika mau datang ke radio ALDO.

Gadis yang disebut bernama Meriati ini tadinya tinggal di Pekalongan. Sementara, Hoegeng pun kelahiran Pekalongan. Itu sebenarnya sudah membuat keluarga mereka saling tahu satu sama lain.

Meski begitu, Hoegeng beralasan, ketika masih di Pekalongan, dia tidak mengenal Meriati karena kemungkinan ayahnya sengaja memingit anak gadisnya itu. Di masa pendudukan Jepang, sang ayah, dokter Soemakno, takut anak-anak gadisnya menjadi korban.

Kebetulan, ketika kemudian dokter Soemakno diangkat sebagai Inspektur Kesehatan Jawa Tengah, dia bersama keluarga pun pindah ke Yogyakarta. Adapun Meriati kala itu merupakan salah satu penyiar radio ALDO.

“Itulah sebabnya Iskak membawa saya ke sana,” ungkap Hoegeng. 

Baca juga: Jala polisi susila

Memang, akhirnya Hoegeng dikenalkan langsung dengan gadis yang dia panggil dengan nama kecil Mery itu. Namun, dengan itu juga dia akhirnya tidak bisa menolak paksaan memerankan peran Saijah di sandiwara radio.

“Maklumlah karena Mery yang akan mendampingi saya sebagai Adinda. Mery yang cantik dan menyenangkan, yang sebelumnya baru saya dengar dongengnya,” ucap Hoegeng.

Mery bukan gadis cantik biasa. Selain menyenangkan, Mery juga terbukti pemberani dan baik hati. Dia pernah menjadi relawan Palang Merah. Mungkin ini pula yang membuat kekaguman Hoegeng memuluskan proses dari sekadar berkenalan menjadi hubungan yang semakin dekat.

Selain berlatih bersama, Hoegeng menjadi lebih sering menemui Mery di rumahnya. Dia rajin mengantar jemput Mery dengan sepedanya ke tempat kerja Mery di radio ALDO. Hoegeng juga yang membantu keluarga Mery mendapat rumah kontrakan di Jalan Jetis, Yogya.

“Sesudah itu maka saya adalah seorang mayor tiap pagi tanpa dikomando lebih dulu apel di rumah Mery,” kata Hoegeng.

Mulusnya hubungan pasangan itu seiring dengan kesuksesan Iskak menyutradarai sadiwara Saijah dan Adinda. Sambutan baik mereka terima ketika sandiwara itu mengudara lewat radio. Bahkan saat itu, Presiden Sukarno dibuat terkesan hingga meminta sandiwara itu dimainkan lagi melalui RRI Yogya. Sukarno menilai sandiwara radio ini akan memperdalam semangat juang siapapun yang mendengarnya.

Baca juga: Gelombang sejarah radio

Mengenai perannya itu, Hogeng berkata, baik dirinya maupun Mery begitu menghayatinya, hingga sebulan usai sandiwara berlangsung, keduanya masih menjalin hubungan. Itu sampai akhirnya Hoegeng mengaku tak tahan. Mereka tidak tahan untuk akhirnya memilih menyelesaikan hubungan itu dengan cara yang indah. Keduanya pun memutuskan menutup kisah cinta itu dengan pernikahan.

“Jadi menyimpang dari kisah yang dibuat Multatuli dan sandiwara yang disutradarai Iskak, tapi kami rasa lebih wajar dan lebih ideal,” lanjutnya.

Berdasarkan ingatannya, kedua orangtua dan adiknya, Titi Soedjati datang dari Pekalongan ke Yogyakarta. Hoegeng turut menemani ketika kedua orang tuanya meminang Mery. Gayung bersambut, pinangan itu diterima. Keduanya pun melangsungkan pernikahan dengan sederhana pada 31 Oktober 1946 di rumah mempelai perempuan.

Pada akhirnya, Saijah dan Adinda mungkin tak menemui kata bahagia. Tapi tidak dengan Mary dan Hoegeng. Bagi mereka, sandiwara radio Saijah dan Adinda membawa pada perkawinan yang didambakan setiap orang.

“Kisah Saijah dan Adinda asli karangan Multatuli menjadikan Adinda mati dan Saijah mati dalam tragedi. Kami pikir hanya baik untuk suatu karya yang bermutu atau suatu sandiwara. Tapi tak baik untuk kami berdua,” ujar tokoh yang hingga kini dikenang akan kejujuran dan kesederhanaannya itu.

TAG

Cerita-Cinta hoegeng

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Dulu Hoegeng Jadi Menteri Iuran Negara Insiden Hoegeng dan Robby Tjahjadi di Cendana 8 Bea Cukai Loloskan Mobil Selundupan Robby Tjahjadi Hoegeng Membuka Buku Hitam Hoegeng Menangkal Bahaya Narkotika Hoegeng dan Beking Judi Dari Lapangan Berujung Penembakan Kapolri Mengundurkan Diri