Masuk Daftar
My Getplus

Dari Lapangan Berujung Penembakan

Kejadian kekerasan usai pertandingan sepak bola yang mencoreng institusi kepolisian. Peristiwa memalukan ini membuat Kapolri Jenderal Hoegeng turun tangan.

Oleh: Martin Sitompul | 06 Okt 2022
Jenderal Hoegeng sebagai kapolri ikut menghadiri persidangan kasus penembakan Rene Conrad. Di belakang Hoegeng tampak Ibunda Rene Conrad yang mencari keadilan. (Sumber: Repro buku "Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan" karya Suhartono )

Tendangan kungfu melayang di Stadion Kanjuruhan, Malang usai pertandingan Arema vs Persebaya. Pelakunya bukan pemain sepakbola, melainkan aparat tentara berbaret hijau. Akibatnya, seorang penonton yang memasuki lapangan terkapar di pinggir lapangan.

Aksi barbar aparat belum berhenti sampai di situ. Polisi berbondong-bondong ikut memukuli penonton pakai pentungan. Tembakan gas air mata jadi senjata pamungkas. Banyak penonton yang tergencet di pintu keluar karena berdesak-desakan. Padahal, penggunaan gas air mata telah dilarang oleh federasi sepakbola internasional (FIFA). Seratusan orang akhirnya meregang nyawa kehabisan oksigen.

Tragedi yang terjadi pada akhir pekan kemarin (1/10) itu jadi bencana terburuk dalam sejarah sepakbola Indonesia. Cara bengis aparat meredam penonton menuai kecaman. Alih-alih pengamanan, tindakan tersebut dinilai banyak kalangan lebih mendekati pembunuhan massal. 

Advertising
Advertising

Baca juga: Lima Petaka Mengerikan di Stadion Sepakbola

Dalam skala yang lebih kecil, kekerasan di lapangan sepakbola yang melibatkan kepolisian pernah terjadi setengah abad silam. Pelakunya bahkan masih taruna polisi. Peristiwa itu sampai membuat malu Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso.   

Pada 6 Oktober 1970, tepat hari ini 52 tahun yang lalu, pertandingan persahabatan antara mahasiswa ITB Bandung dengan Taruna Akabri-Polisi berujung insiden penembakan. Peluru menerjang tubuh mahasiswa ITB bernama Rene Louis Conrad hingga tewas. Saling ejek antar suporter memang telah terjadi dalam pertandingan yang dimenanangkan mahasiswa ITB dengan skor 2-0 itu. Baku hantam hampir pecah di lapangan. Usai pertandingan, perkelahian berlanjut ke luar lapangan.

Ketika taruna di dalam bus perjalanan pulang, Conrad melintas dengan menunggangi motor Harley Davidson di Jl. Ganeca. Taruna yang memendam jengkel sejak dari lapangan pun meludahi Conrad dari dalam bus. Merasa dilecehkan, Conrad membalas taruna dengan ajakan berduel. Para taruna turun mencegat Conrad. Perkelahian tak imbang menyebabkan Conrad jatuh dari sepeda motor, lantas dikeroyok ramai-ramai. Salah seorang taruna bahkan melepaskan tembakan hingga mengantarkan Conrad menemui ajalnya.

Baca juga: Jenderal Ibrahim Adjie Tembak Mati Perampok

“Delapan perwira polisi diajukan sebagai tertuduh dalam sidang Mahkamah Militer Priangan-Bogor, yang memeriksa perkara pembunuhan Rene Louis Coenraad, mahasiswa Elektronik Institut Teknologi Bandung (ITB),” lansir Kompas, 9 November 1973. 

Peristiwa tersebut membuat malu Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Kesalahan berat dalam kasus ini, menurut Hoegeng, adalah penggunaan senjata api oleh salah seorang taruna. Apalagi penggunaan senjata apinya mengakibatkan kematian orang lain. Yang lebih memprihatinkan Hoegeng, penggunaan senjata api dilakukan oleh seorang calon polisi terhadap orang sipil tak bersenjata.

 “Saya sendiri merasa malu sebab hal itu dapat merusak citra kepolisian Indonesia, khususnya merusak citra taruna dan AKABRI-Kepolisian,” kata Hoegeng dalam otobiografinya yang disusun Abrar Yusra dan Ramadhan K.H, Polisi: Idaman dan Kenyataan.

Baca juga: Hoegeng, Polisi Anti Suap

Hoegeng langsung turun tangan untuk pengusutan kasus Conrad. Ia pergi ke Bandung mengadakan pembicaraan dengan Rektor ITB Prof. Dr. Dody Tisnamidjaja. Kepada rektor dan mahasiswa ITB, Hoegeng memberi jaminan akan membawa kasus Rene Conrad ke pengadilan.

Jaminan Kapolri Hoegeng ini ternyata mampu menenangkan mahasiswa yang sebelumnya gencar melayangkan protes. Mahasiswa, seperti disebut Aris Santoso dkk dalam Hoegeng: Oase Menyejukan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, awalnya bertanya-tanya soal penanganan kasus ini. Maklum, yang diduga sebagai pelakunya adalah taruna Akabri-Polisi, yang walau bagaimanapun masih bagian dari kalangan penegak hukum, meskipun baru berstatus siswa. Yang diinginkan mahasiswa hanyalah ketegasan sikap dari kapolri.

Pengadilan digelar di Mahkamah Kepolisian Langlangbuana VII pada akhir 1973. Namun, saat itu Hoegeng tak lagi menjabat kapolri. Akhir dari kasus ini sendiri tak berhasil menyeret pelaku penembakan sebenarnya. Hanya Bripda Djani Maman Surjaman yang ditumbalkan jadi terdakwa.

Baca juga: Bripda Djani Dikorbankan

“Banyak yang tidak puas kenapa Djani Maman Surjaman yang diajukan ke pengadilan,” terang Hoegeng. Secara tersirat, Hoegeng mengindikasikan adanya campur tangan kekuasaan dalam kasus ini. “Tegaknya hukum dan keadilan dalam kenyataannya merupakan proses yang memiliki banyak dimensi dan melibatkan banyak lembaga,” ungkapnya.

Bripda Djani adalah bintara Brimob yang kebetulan sedang piket di tempat kejadian perkara. Ia divonis 5 tahun 8 bulan penjara, namun setelah banding menjadi 1 tahun 6 bulan. Taruna Akpol yang disebut-sebut sebagai pelaku lolos dari pengadilan. Di antara mereka bahkan ada yang melenggang jadi perwira tinggi Polri.   

TAG

hoegeng polisi hukum sepak bola

ARTIKEL TERKAIT

Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Kakak dan Adik Beda Timnas di Sepakbola Dunia Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson Secuplik Kisah Salah Tangkap Sengkon dan Karta Empat Pelatih Asing yang Diapresiasi Positif Negeri Besutannya Lika-liku Peninjauan Kembali Sengkon-Karta hingga Kasus Vina