Masuk Daftar
My Getplus

Cerita Pemotongan Penis Belum Habis

Kasus pemotongan penis pria di Sibolga oleh pasangannya "melestarikan" praktik yang sudah berusia ribuan tahun.

Oleh: M.F. Mukthi | 16 Mar 2023
Ilustrasi penis putus dipotong/dikebiri (Foto: MF. Mukthi/Historia)

“Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.” Peribahasa itu agaknya sedang dialami pria asal Kabupaten Mandailing Natal berinisial OG. Alih-alih mendapatkan cinta dari kekasihnya, ia malah hampir kehilangan salah satu organ tubuhnya.

Kisah OG bermula dari ketika dia menginap bersama pasangan selingkuhnya, AST, di sebuah hotel di Jalan Horas, Kota Sibolga, Sumatra Utara. OG marah karena ajakannya bercinta ditolak AST. Dia lalu mengancam akan menyebarkan video rekaman bercintanya dengan AST yang dilakukan sebelumnya.

Dincaman begitu, AST sakit hati. Dia lalu nekat memotong penis pasangan affair-nya itu.

Advertising
Advertising

“Sampai sekarang belum ada (minta maaf) tapi tak taulah nanti, karena dendam kali,” kata Kasat Reskrim Polres Sibolga AKP Dodi Nainggolan menjelaskan tentang AST, diberitakan detik.com, 6 Maret 2023.

Kasus pemotongan penis OG itu bukan yang pertama di Indonesia. Kasus serupa juga terjadi pada Maret 2020 di Bengkulu, menimpa remaja pria bernisial RZ. Penis remaja 16 tahun itu dipotong kakak pacarnya lantaran sang pelaku kesal adik kandungnya dicabuli RZ.

Lima tahun sebelumnya, 15 Juni 2015, kejadian serupa juga menimpa seorang pria di Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Seorang kepala keluarga harus menerima kenyataan penisnya dipotong golok oleh istrinya sendiri, Endah. Sang istri melakukan itu lantaran sering dimarahi dan curiga suaminya punya affair dengan perempuan lain.

Kasus pemotongan penis bukanlah hal baru kendati motif dan caranya berbeda-beda di tiap tempat maupun zaman. Hampir tiap masyarakat di berbagai peradaban, Timur maupun Barat, di masa lalu punya riwayat potong penis secara sengaja, yang populer sebagai “kebiri”.

“Ada banyak sekali catatan sejarah baik dalam literatur Barat maupun non-Barat yang mengungkapkan kebiasan kebiri dalam berbagai konteks sejarah; penerimaan positif dan penggunaannya secara luas oleh kaum bangsawan, imamat, dan rakyat jelata,” tulis Nanette J. Davis, sosiolog Portland State University, dalam kata pengantarnya di buku A Brief History of Castration

Memang, tidak diketahui pasti kapan dan di mana kebiri bermula. Namun, para sarjana sepakat, pengebirian awalnya bertujuan untuk domestikasi hewan, berlangsung pada era Mesolitikum (sekira 8000 atau 9000 tahun silam).

“Tidak ada satu pun tempat asal atau motivasi tunggal untuk pengebirian yang ada. Ada kemungkinan bahwa itu muncul di banyak lokasi karena berbagai alasan dalam jangka waktu tertentu dan secara bertahap menyebar ke budaya sekitarnya. Tampaknya muasal pengebirian hewan dan manusia dapat dikaitkan, karena referensi pertama untuk pengebirian manusia (dalam kultus Ishtar di Uruk) muncul sekitar waktu yang sama (sekitar 4000 SM) ketika dimulainya pengebirian kawanan hewan, terutama domba dan kambing, untuk dipelihara dan dikembangbiakkan secara intensif,” tulis Kathryn Reusch dalam disertasinya di University of Oxford, “That Which Was Missing”: The Archaeology of Castration.

Para peternak dan gembala kuno mengebiri hewan-hewan mereka lantaran mendapat banyak keuntungan. Selain mereduksi agresivitas hewan sehingga lebih mudah dikendalikan dan ditunggangi, yang berarti mengurangi potensi bahaya pada para penggembala, kebiri juga membuat hewan lebih mudah gemuk, pertumbuhannya lebih cepat, dan rasa dagingnya lebih lezat.

Kebiri yang kemudian juga dipraktikan pada manusia memiliki beberapa motif di baliknya. Menurut Nanette J. Davis, kebiri berfungsi sebagai hukuman, wahana mobilitas sosial, kepemimpinan moral, kemurnian spiritual, sterilisasi, pencegahan penyakit, pengurangan kejahatan, peningkatan kesenangan, keuntungan materil, dan terakhir, yang kontemporer, sebagai perawatan medis.

“Ketika kasusnya melibatkan penyakit yang mengancam jiwa, pengebirian mendapat sedikit atau tidak ada perhatian sama sekali. Ketika diusulkan sebagai obat potensial untuk orang dewasa pemangsa yang melecehkan anak-anak secara seksual, ia memasuki kembali tanah harapan,” tulisnya.

Perbudakan kemungkinan besar menjadi wahana awal praktik kebiri pada manusia. Beberapa catatan paling awal dari Mesir Kuno (2600 SM) menunjukkan penjualan anak atau penjualan diri untuk membayar utang begitu marak. Mereka lalu dijadikan budak. Sama seperti memelihara hewan, ada motif mendapatkan keuntungan dalam penjualan/pemilikan budak. Di situlah pengebirian masuk ke dalam lingkaran perbudakan. Dengan mengebiri budak, para pemilik berharap mendapatkan keuntungan lebih banyak.

“Budak manusia dianggap hanya satu atau dua tingkat di atas status hewan peliharaan, jadi wajar saja jika pertimbangan akan diberikan untuk mengebiri mereka guna tujuan yang sama, sehingga membuat mereka menjadi pelayan, buruh, atau prajurit yang lebih patuh dan dapat diandalkan. Ketika perbudakan menjadi lebih dari sebuah institusi dan perdagangan budak berkembang, ditemukan bahwa para budak yang dikebiri lebih dapat dipercaya dan menghasilkan lebih banyak uang daripada yang tidak. Meskipun tingkat kematian tinggi dikaitkan dengan prosedur tersebut, keuntungan tambahan dari budak yang dikebiri cukup untuk menjadikan pengebirian budak sebagai fitur reguler perdagangan budak sampai penghapusan akhir perbudakan pada dekade pertama abad kedua puluh,” tulis kriminolog Victor T Cheney dalam A Brief History of Castration.

Kebiri juga berlangsung di Timur Jauh sejak lama. Sebuah inskripsi di potongan tulang sapi dan plastron (bagian bawah tempurung) kura-kura menunjukkan praktik pengebirian tawanan perang telah ada sejak 1300 SM di Tiongkok. Para orang-kebirian mulai dimasukkan ke dalam pemerintahan pada masa Dinasti Chou (1045-256 SM). Setelah penyatuan Tiongkok oleh Dinasti Chin, para kasim (pria yang dikebiri) memegang berbagai peran penting di istana, termasuk militer di mana salah satu darinya berhasil mencapai pangkat laksamana.

Praktik kebiri terus meningkat seiring waktu di Tiongkok. Pada masa Dinasti Ming, ada sekira 100 ribu kasim. Tiongkok juga menjadi “penyebar” praktik kebiri ke luar wilayahnya, dimulai dari Jepang dan Korea, lalu masuk ke Asia Tenggara. Para penguasa berbagai kerajaan lokal ataupun kerajaan-kerajaan Asia Tenggara yang langsung berada di bawah kendali Tiongkok mengadopsi praktik tersebut. Pada gilirannya, kasim menjadi salah satu bentuk upeti ataupun hadiah yang diminta Tiongkok dari kerajaan-kerajaan asing yang hendak membentuk pemerintahan vasal.

Adanya keuntungan dari pengebirian membuat praktik itu terus menyebar. Belahan bumi Barat ikut mempraktikkannya kemudian. Yunani Kuno menjadi pelopornya, dengan perdagangan sebagai pintu masuknya. Praktik kebiri di Yunani Kuno kemungkinan besar masuk pada masa Alexander Agung yang “terinspirasi” oleh Persia.

“Budak yang dikebiri bisa dan sering mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi di pasar, karena operasinya berbahaya, sering mengakibatkan kematian budak yang dikebiri, dan permintaan untuk budak yang dikebiri bisa sangat tinggi,” tulis Kathryn Reusch.

Di Romawi Kuno, praktik kebiri tidak meluas lewat perdagangan lantaran adanya larangan kebiri. Adalah kultus Dewi Cyble beserta para pendetanya yang sering dikebiri yang membuat kebiri masuk ke kalangan elite Romawi Kuno pada 204 SM dan menyebar. Ketika Romawi pindah ke Konstantinopel, kebiri telah mengurat-akar sehingga adanya gerakan besar penolakan terhadap kebiri –dan juga pengkultusan terhadap banyak figur– di masa Imperium Byzantium tetap tak mampu menghentikan praktik tersebut. Berbagai profesi, termasuk militer, biarawan, hingga penyanyi gereja, tak luput dari praktik kebiri. Dari peduan suara orang-kebirian Bizantiumlah gereja Katolik Roma modern awal mengadopsi praktik memasukkan para orang-kebirian ke dalam paduan suaranya.

Ketika Byzantium runtuh digantikan kekuasaan Islam, praktik kebiri tetap marak kendati ada larangan dalam hukum agama. Praktik kebiri bahkan meluas hingga mencapai India di timur dan Semenanjung Iberia di barat. Para elite berbagai kerajaan amat membutuhkan orang-orang kebirian, yang dianggap penting untuk menjalankan rumah tangga maupun rumah tangga istana. Di ranah domestik, para budak Afrika yang telah menjalani kebiri total dianggap pilihan paling tepat untuk menjaga para perempuan di rumah-rumah. Di istana, ketidakmampuan para orang-kebirian mengembangkan kekerabatan –lantaran ketidakmungkinan membentuk keluarga dan menghasilkan keturunan– membuat mereka menjadi pilihan utama untuk menjadi pelayan istana karena dianggap lebih setia. Pengebirian, menurut Nanette J. Davis, juga sering menjadi teknik bertahan hidup masyarakat Barat di dunia kuno dan hingga akhir Abad Pertengahan.

“Sebagai contoh, para penyelamat anak-anak terlantar mungkin lebih memilih agar dakwaan mereka dikebiri untuk menghindari pembagian warisan mereka kepada orang-orang yang bukan keluarga, atau untuk menghindari kemungkinan bahwa anak laki-laki tersebut dapat dijual sebagai budak atau pelacuran jika diketahui eksposisi (terekspos). Selain itu, budak yang dikebiri dipandang lebih berharga, dan diperlakukan sebagaimana mestinya,” tulisnya.

Praktik kebiri masuk ke benua Amerika lewat perdagangan budak ketika masa pelayaran bangsa-bangsa Eropa. Pengebirian terus bertahan bahkan hingga kini.

“Di Amerika Serikat, pengebirian karena alasan eugenic berlanjut dari 1899 hingga 1930-an, dan di beberapa negara bagian Selatan merupakan hukuman pilihan bagi laki-laki kulit hitam yang dihukum atau bahkan sekadar dicurigai memperkosa perempuan kulit putih,” tulis sejarawan Kanada Elizabeth Abbott dalam A History of Celibacy.

Pengebirian terus berlangsung ketika masa pertarungan ideologi sedang gencar di dunia Barat awal abad ke-20 hingga Perang Dunia II. Sejumlah negara bagian di Amerika Serikat (AS) memberlakukan undang-undang sterilisasi pada 1929 guna mencegah cacat genetik di masa depan. Di Eropa, kebiri juga dipilih Jerman di bawah Hitler –yang hingga Perang Dunia II usai telah mengebiri ratusan ribu orang– untuk mewujudkan “proyek” sterilisasi bernama “pemurnian ras Arya”-nya. Selain mengesahkan Undang-Undang Sterilisasi Eugenik pada 1933, yang mewajibkan semua penderita cacat keturunan untuk melakukan sterilisasi, pemerintah menunjuk Kaiser Wilhelm Institute sebagai pelaksana. Institut tersebut mewajibkan para dokter belajar “Ilmu ras”, di samping memberi asistensi kepada para dokter berupa pelatihan beragam teknis terkait.

Sistem peradilan Jerman-Nazi juga kerap menjadikan kebiri sebagai pilihan hukuman. Sasaran pertama dari praktik kebiri adalah golongan Rhineland Bastard atau anak-anak ras campur –dari ibu Jerman dan ayah pasukan pendudukan Afro-Amerika selama Perang Dunia I. Sasaran berikutnya: pelaku penyimpangan seksual, lalu orang-orang difabel, pengidap skizofrenia, atau mereka yang sekadar berpikiran lemah.

“Kementerian Kehakiman Reich memutuskan bahwa setiap tindakan homoseksual orang dewasa hampir pasti merupakan konsekuensi dari naluri yang berasal dari faktor keturunan yang buruk. Seorang dokter penjara melakukan banyak pengebirian sehingga dia merampingkan teknik dan kecepatannya hingga dia dapat membunuh setiap pasien dalam waktu delapan menit, hanya menggunakan anestesi lokal,” sambung Elizabeth Abbott.

Alasan sterilisasi menjadikan praktik kebiri bertahan hingga jauh setelah Perang Dunia II usai. Di provinsi Alberta, Kanada saja, hingga tahun 1971 lebih dari 2.800 warga telah dikebiri atas perintah Dewan Egenetika Provinsi Alberta.

Bagaimanapun, Perang Dunia II yang dimenangkan Sekutu dengan paham demokrasinya mengubah tatatan politik global, juga tatanan sosial. Jumlah praktik kebiri berkurang dibanding masa sebelumnya, dan yang lebih penting, pandangan masyarakat terhadap kebiri terus bergeser dari yang sebelumnya cenderung positif. Kebiri setelah perang umumnya dilakukan untuk alasan medis dan hukum di samping untuk pengaturan kependudukan oleh sebuah negara, seperti yang dilakukan RRC dengan Eugenics and Health Protection Law-nya.

Sementara, praktik kebiri dengan alasan hukum tetap berlanjut hingga kini. Setidaknya sembilan negara Eropa dan sembilan negara bagian di AS serta satu negara Asia (Korea Selatan) kini masih menerapkan hukuman kebiri. Namun, lantaran perkembangan teknologi dunia medis, pengebirian fisik dengan cara memotong penis tak lagi dijadikan pilihan. Kebiri kimia, dengan menyuntikkan hormon atau obat-obatan untuk mereduksi hasrat seksual, kini yang dipilih.

Praktik kebiri fisik sebagai hukuman tapi bukan hanya dilakukan institusi negara. Kendati tidak diketahui pasti jumlahnya, kebiri sebagai hukuman non-formal banyak terjadi di ranah keluarga. Kasus paling populer adalah kasus John-Lorena Bobbitt yang terjadi di AS pada 1993. Namun, Thailand merupakan tempat paling banyak melahirkan kasus kebiri sebagai hukuman non-formal.

“Cedera amputasi penis tidak umum di kebanyakan negara. Pengecualian adalah Thailand, di mana ada sekitar 100 amputasi penis antara 1973 dan 1980 di Bangkok,” kata buku Experimental and Clinical Reconstructive Microsurgery yang dieditori Masamichi Usui, Susumu Tamai, dan Takae Yoshizu.

Umumnya, kebiri di Thailand dilakukan sebagai hukuman oleh ibu rumah tangga terhadap suami mereka yang kedapatan selingkuh. Saking banyaknya praktik pemotongan penis, pihak berwenang sampai membuat Patroli Penis.

“Patroli ini dipanggil setiap kali korban lain terbangun dan menemukan daerah genitalnya berdarah dan minus bagian terpentingnya. Seperti regu pencari, mereka mencari penis yang disembelih di ladang terdekat, berpacu dengan waktu untuk membawanya ke rumah sakit untuk dipasang kembali,” tulis Elizabeth Abbott.

Salah satu korban pemotongan penis adalah Prayoon Ekklang. Supir taksi asal kota Nakhon Ratchasima itu dipotong penisnya oleh Laong, istrinya, ketika sedang tidur karena ketahuan selingkuh. Dia hanya bisa pasrah ketika mengetahui Laong kemudian menempelkan potongan penisnya ke sekumpulan balon lalu melepaskannya ke langit.

Lantaran dilandasi kebencian mendalam, para perempuan Thailand umumnya membuang potongan penis pasangan mereka secara sembarang. Akibatnya, penis yang mestinya dapat disambung kembali dan berfungsi utuh asal kurang dari 12 jam, tak bisa disambung kembali lantaran keburu rusak atau bahkan tak berhasil ditemukan. Banyak potongan penis dibuang, direbus, dikubur, dibuang ke toilet, atau dijadikan makanan untuk hewan.

“Pemicu serangan yang sering adalah semacam penghinaan publik terhadap istri melalui suami yang mengambil perempuan simpanan –dengan kata lain, (istri, red.) kehilangan muka. Ditambah kepentingan simbolis penis dalam budaya Thailand sebagai simbol potensi –sering disebut sebagai 'jao lok', 'penguasa dunia'– dan Anda memiliki resep untuk tindakan balas dendam yang paling kejam ini,” tulis John Tudor Griffiths dalam Pattaya Parables.

Alhasil pria yang penisnya dipotong mengalami kesakitan sekaligus kehilangan harapan akibat hilangnya organ kejantanannya. Namun, penderitaan akibat penis dipotong  bukan dialami pria Thailand semata.

“Seorang perempuan Tionghoa mencurigai suaminya selingkuh dan ingin memastikan suaminya berhenti, jadi dia memotong penisnya. Pria itu memohon untuk mendapatkan penis kembali tetapi istrinya tidak mau melepaskannya. Pria itu kemudian menyetir sendiri ke rumah sakit. Ketika staf medis keluar untuk mencari anggota tubuhnya yang hilang, mereka menemukan bahwa anjing tetangga telah menjadikannya makan malamnya,” tulis Eva Nagorski, sineas dan kolomnis, dalam The Down and Dirty Dish on Revenge: Serving It Up Nice and Cold to That Lying, Cheating Bastard.

TAG

penis sejarah sains

ARTIKEL TERKAIT

Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben God Bless di Mata Roy Jeconiah Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri