SI Unyil bukan satu-satunya program televisi yang dinanti anak-anak tahun 1980 hingga 1990-an. Acara televisi lain yang juga sukses menyedot perhatian penonton dari berbagai usia dan kalangan adalah Ria Jenaka. Disiarkan pertama kali di TVRI pada 1981, Ria Jenaka menampilkan empat tokoh panakawan, yakni Bagong, Petruk, Gareng dan Semar yang diperankan oleh Ateng, Iskak, Suroto, dan Sampan Hismanto.
Dalam majalah Tempo, 20 Juni 1981, Ateng mengatakan bahwa ide memunculkan cerita panakawan berasal dari pihak TVRI. Tokoh panakawan dipandang cukup populer, paling tidak di kalangan orang yang paham wayang, sehingga diharapkan dapat menarik perhatian para penonton televisi. Hal ini dapat dimaklumi, pasalnya Ria Jenaka mulanya disiarkan untuk mengisi waktu setelah Presiden Soeharto melarang penayangan iklan di TVRI sejak 1 April 1981.
Baca juga: Nostalgia Si Unyil, Hiburan Anak-anak di Zaman Orde Baru
Beberapa bulan sebelum Ria Jenaka ditayangkan pertama kali, Direktur TVRI Drs. Subrata menawarkan kepada Ateng dan Iskak untuk mengisi acara “penyampaian pesan lewat lawakan”. Pesan yang dimaksud adalah hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah Orde Baru.
“Pihak TVRI tidak mengajukan syarat-syarat rumit. Jalan cerita boleh dikarang sendiri, asal pesan-pesan bisa diselipkan. Tak perlu dengan kadar yang berlebihan, sebab bisa merusak citra lawakan,” tulis Tempo.
Baca juga: Mula Iklan di Televisi Indonesia
Syarat ini disetujui Ateng dan Iskak yang sama-sama tergabung dalam grup Kwartet Jaya. Kedua pelawak itu kemudian mengajak Suroto, pelawak jebolan grup Srimulat, dan Sampan Hismanto, tokoh tari yang pernah menjabat ketua Himpunan Seniman Muda, untuk ambil bagian dalam acara Ria Jenaka.
Dalam sekali proses syuting di studio TVRI, Ria Jenaka dapat merekam tiga hingga empat cerita. Biasanya, Ateng yang membuat kerangka cerita untuk masing-masing episode Ria Jenaka. Sisipan pesan didapatkannya dari koran dan ia juga berdiskusi dengan kawan-kawannya yang memberikan masukan. Pesan-pesan pemerintah yang disisipkan beragam, mulai dari menjaga kebersihan lingkungan, transmigrasi, kejujuran, hingga Keluarga Berencana (KB).
Baca juga: ACI, Film Seri Idaman Tahun 1980-an
Soal “titipan pesan” bukan hal yang baru bagi Ateng maupun Iskak. Sebab, ketika tampil bersama grup lawak, mereka bisa menerima titipan dari pihak pengundang. “Asal tidak mengikat, kalau bisa cuma sekadar disenggol saja, biasanya masih bisa dimaklumi…Tetapi kalau kami hanya sekadar dijadikan alat penerangan televisi, pasti saya tolak,” kata Ateng.
Tak butuh waktu lama bagi Ria Jenaka untuk mencapai puncak popularitas. Besarnya minat masyarakat membuat acara berdurasi 10–15 menit itu mampu bertahan hingga tahun 1990-an. Menurut Philip Kitley dalam Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca, kelakar spontan para pelawak sangat digemari anak-anak. Sementara orang-orang dewasa, khususnya yang akrab dengan wayang, menyukai teks-teks verbal yang mencampurkan ungkapan Indonesia dan Jawa dengan cara yang menarik.
“Ditayangkan setiap hari Jumat dan Senin saat muncul pertama kali pada 1981, sejak 1984 acara ini ditayangkan setiap Minggu pagi,” tulis Kitley.
Baca juga: Kawan Penasihat dan Pelawak
Terkait pesan-pesan pemerintah dalam acara televisi, Horace Newcomb dalam Encyclopedia of Television Volume I mengomentari, siaran televisi di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1962 sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah dan tetap demikian hingga tahun 1980-an. Selama sebagian besar periode tersebut, agenda televisi pemerintah secara terang-terangan adalah pembangunan bangsa dan mendukung rezim pemerintah yang berkuasa di negara tersebut.
Dalam kasus Ria Jenaka, penonton mengharapkan acara itu menjadi hiburan di akhir pekan. Namun, bagi sebagian orang, banyolan yang dilontarkan terasa menjemukan karena mereka juga dipaksa menelan berbagai pesan sisipan dari pemerintah yang disampaikan secara terbuka. Dalam TVRI dan Sikap Malu-malu Menerima Iklan terbitan Pusat Data dan Analisa Tempo disebutkan, pada akhirnya TVRI memikul beban berat dengan gencarnya propaganda pemerintah yang disiarkan di berbagai program acara mereka. Penonton gregetan, sementara TVRI terseok-seok bertahan di tengah kemunculan berbagai stasiun televisi swasta.*