Masuk Daftar
My Getplus

Benyamin Sueb, Perkutut Berhenti di Lampu Merah

Lagu-lagu Benyamin Sueb pernah dicap kampungan tapi kemudian digandrungi anak muda. Mahir menyelipkan kritik lewat lagu yang kocak. Tak jarang pula erotik.

Oleh: Jay Akbar | 14 Jul 2010
Benyamin Sueb dalam sampul buku Kompor Mleduk karya Tim Creative Library.

Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter pernah berkata, “Jika anda ingin tahu Amerika, dengarlah Bob Dyland”. Mungkin juga dalam hal tertentu demikian pula lagu-lagu benyamin: mengantarkan pendengarnya menyelami kota Jakarta pada zamannya.

Lagu-lagu Ben, demikian ia akrab disapa, memang banyak melukiskan rona kehidupan orang Jakarta. Lewat lagunya ia bicara mulai got mampet, dua tetangga yang berselisih, pertengkaran tukang kredit sampai soal memandikan burung perkutut. Semua ia ceritakan dengan kata-kata sederhana, mudah dicerna, dan seringkali penuh jenaka.

“Kehadiran Benyamin melalui karya-karya yang mengangkat persoalan sehari-hari warga masyarakat, betawi khususnya, menjadi semacam maujud dari seluruh kebudayaan betawi itu sendiri. Lewat karyanya itu ia menjelma menjadi ikon regional dan bahkan nasional yang melampaui batas-batas geografis budaya betawi. Benyamin adalah manifestasi terbesar yang dimiliki oleh betawi,” kata sejarawan dari Komunitas Bambu JJ. Rizal kepada historia.id.

Advertising
Advertising

Benyamin Sueb lahir di Kampung Bugis, Kemayoran, Jakarta Pusat, 5 Maret 1939. Sejak kecil putra bungsu dari delapan bersaudara pasangan Sukirman alias Sueb dan Siti Aisyah itu sudah menekuni dunia seni. Cita-citanya jadi pilot urung ia gapai karena, “Takut pesawatnya jatuh” kata ibunya.

Berbekal kecerekan dan goyang asoy a la cacing kepanasan Ben kecil senang menghibur orang-orang di kampungnya. Tetangganya pun tak pernah segan menyelipkan uang receh mampir ke sakunya. “Dia waktu kecil kerjanye keliling kampung, ngamen sama abangnye,” kata Suratna kakak ipar Ben yang akrab dipanggil Encing Su oleh warga sekitar jalan Jiung, Kemayoran.

Baca juga: Benyamin S Penyambung Lidah Orang Betawi

Bakat seni Ben mengalir dari kakek dan neneknya: Haji Ung dan Saiti. Haji Ung pernah menjadi pemain teater rakyat di zaman kolonial, sedangkan Nyak Saiti peniup klarinet. Berkat jasanya membuat jembatan kelapa yang melintasi Kali Sentiong nama Haji Ung kini diabadikan sebagai nama jalan di bilangan Kemayoran. Menurut penuturan Syarif (73) yang masih terbilang kerabat Benyamin, Haji Ung ternyata bukan jawara seperti yang banyak diceritakan orang. Kalau pun ia menguasai ilmu beladiri itu hanya bagian dari kehidupan orang betawi tempo dulu yang memang harus bisa mengaji dan punya keterampilan beladiri, selebihnya, “Ia hanya seorang haji biasa seperti umumnya haji-haji lain yang ada di kampung,” kata Syarif.

Pada usia tujuh tahun Bang Ben kecil bersama tujuh kakaknya membentuk kelompok musik “Orkes Kaleng.” Dinamakan orkes kaleng karena -instrumen musik yang digunakan dibuat dari barang-barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi, keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan “alat musik” itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu.

Keluwesan dan kekocakkan Benyamin dalam bergaul membawanya berkenalan dengan seniman-seniman musik ternama saat itu seperti Rahmat Kartolo dan Jack Lesmana. Pada 1957 Benyamin bergabung dengan grup musik Melodi Ria. Bersama grup musik itu Ben kerap tampil di berbagai klub-klub malam ibu kota membawakan lagu-lagu barat seperti Blue Moon, Unchained, Melody dan My Way.

Benyamin memang seniman sejati. Ia mampu membawakan berbagai aliran musik dengan karakter vokal yang nyaris sempurna. Tapi anehnya justru kesenian “cap kampung” macam gambang keromong yang kemudian menjadi kredo musiknya.

Kisah cinta Bang Ben dengan gambang kromong bermula ketika Soekarno mengharamkan kehadiran musik-musik berbau Barat di Indonesia pada dekade 1960-an. Oleh para kaum manipolis Benyamin sempat dikecam. Tapi rupanya si biang kerok kaya akal. Ogah menyusul Koes Bersaudara ke balik jeruji besi larangan itu justru merangsang daya kreatif bermusiknya. Ia mulai menengok musik tradisi betawi: gambang kromong. “Kalau tidak ada larangan Bung Karno, saya barangkali tidak akan pernah menjadi penyanyi lagu-lagu Betawi,” kata Benyamin kepada Theodore K.S. sebagaimana dikutip dari Kompas, 27 Februari 2004.

Baca juga: Benyamin Sueb, Ikon dari Kemayoran

Pilihan Benyamin terhadap musik khas betawi ini sempat mendatangkan cibiran kepadanya tapi Benyamin tidak patah arang. Titik lonjak terpenting karier musik Benyamin terjadi pada tahun 1968 saat ia diminta Bing Slamet menyerahkan lagu ciptaanya yang berjudul “Nonton Bioskop” ke studio Dimita Records.

“Bersamaan dengan masa konfrontasi Malaysia, lagu ngak-ngik-ngok diganyang. Lagu-lagu Minang kemudian mengorbit. Dalam hati saya timbul pertanyaan, lagu Betawi ′kan banyak? Saya kan orang Betawi, kenapa nggak bisa? Kemudian lagu-lagu itu saya gali. Tadinya sih cuma ngarang lagu, misalnya saja "Ade-Ade Saja" dan "Hujan Gerimis" Kemudian Bing memberi kesempatan,” kata Benyamin kepada majalah Tempo, 1 januari 1977.

“Ledakan” pertama terjadi lewat Si Jampang (1969), disusul Kompor Meleduk (1970), dan Ondel-ondel (1971). Kekuatan musik gambang kromong Benyamin terletak pada daya kreativitasnya yang mampu memadukan unsur musik modern ke dalamnya. Maka, lagu gambang versi modern Benyamin tidak saja disukai warga Betawi, tapi juga masyarakat luas. “Benyamin berani melakukan terobosan dengan memasukan unsur modern pada lagu-lagunya,” kata Denny Sakrie.

Kehadiran Ida Royani yang jadi pasangan duet Ben semakin memperkukuh posisinya di dalam jagat musik gambang kromong modern. Meski sebelumnya Ben telah pernah berduet dengan penyanyi lain, namun hanya dengan Ida Royanilah musikalitas Ben mendapatkan ruh. “Mereka match. Ida Royani orangnya nyablak, Benyamin juga nyablak. Kebetulan mereka memiliki karakter yang hampir sama. Dengan Ida Royanilah duet Benyamin menjadi terasa lebih pas dan lebih hidup,” kata Deny Sakrie.

Baca juga: Benyamin Sueb Ngider-Ngelenong-Ngerap

Lagu-lagu Benyamin tidak melulu tentang kekonyolan hidup sehari-hari yang terkesan sepele. Jauh sebelum Iwan Fals melancarkan protes lewatBento” dan “Bongkar” pada dekade akhir 1980-an Benyamin sudah melakukan hal yang sama. Tapi jangan membandingkan kritik Benyamin dengan Iwan. Kalau Iwan mengkritik pemerintah dengan bahasa yang lugas, tajam dan menukik Benyamin justru menggunakan bahasa betawi yang sarat humor. Tak ayal lagu berjudul “Digusur” ciptaannya yang berkisah tentang fenomena penggusuran di Ibu Kota malah membuat Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin tersenyum-senyum. Sementara lagu kritiknya yang berjudul “Pungli” memperoleh penghargaan dari Kopkamtib. Lagu itu dianggap menunjang program Operasi Tertib yang sedang digalakkan pemerintah tahun 1977.

Melalui tema-tema lagunya, Ben berhasil menampilkan diri sebagai seniman yang mampu melihat sisi manusiawi dari kehidupan orang-orang Jakarta. Ia punya cara tersendiri dalam mengangkat persoalan itu: spontan dan jenaka. Ia bisa bernyanyi merdu bahkan tak jarang seenak perutnya sendiri. Namun justru itu kekuatan Bang Ben yang turut membentuk kharismanya. “Ia adalah seniman yang komikal, dan jenaka,” ujar Deny Sakrie.

Simak misalnya lagu Ben yang berjudul “Ondel-ondel”, “Blues Kejepit Pintu”, “Rebana”, dan “Janda” kepiawaiannya dalam mengatur tempo, napas, dan cengkok yang sempurna dibalut Unsur humor dalam mempermainkan bahasa, sungguh kocak tiada terkira.

Baca juga: Benyamin Sueb, Raja Lenong Main Film

Kekuatan lirik Benyamin juga terletak pada pilihan-pilihan kalimatnya yang bersifat asosiatif. Coba tuntaskan pendengaran anda pada lagu Benyamin dan Ida Royani berjudul “Perkutut” dan “Lampu Merah” akan mudah ditemukan kecerdikan Benyamin saat menyeret lagu itu perlahan keluar konteks, lantas mendaratkankannya persis di tengah-tengah tafsir yang erotis. Sangat asosiatif, ia mengalunkan lirik yang intinya kira-kira mengingatkan: ada “burung” lain di luar perkutut itu. Dan ada “Lampu Merah” lain yang tidak boleh diterobos begitu saja.

Sama seperti dalam film-filmya, unsur humor dalam lagu-lagu Benyamin adalah humor khas betawi yang slapstick. Prinsipnya tak ada yang lebih lucu dari kesialan orang. Baik orang lain maupun diri sendiri. Simak misalnya adegan seorang penonton ondel-ondel yang iseng menaruh puntung rokok di atas kepala si ondel-ondel. Api yang mengepul di kepala ondel-ondel menjadikan suasana hiruk-pikuk. Para pengiring pengantin yang panik terpaksa menyiram seember air comberan untuk memadamkan rambut ondel-ondel yang kebakaran itu. Adegan sial si ondel-ondel itu justru dianggap sebagai bagian dari adegan tontonan; mereka bersorak-sorai, “horeeee....!”.

Itulah Ben. Kepolosan, kekocakkan, dan spontanitasnya justru jadi kekuatan yang menempatkan dirinya sebagai legenda di blantika musik tanah air.

TAG

benyamin sueb film musik

ARTIKEL TERKAIT

Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Jalan Perjuangan Tak Berujung dalam Perang Kota Apotek yang Melahirkan Band Rock Legendaris Indonesia Empat Film Korea Selatan yang Menggambarkan Darurat Militer Senna Si Raja Lintasan Basah The Children’s Train dan Nasib Anak-anak Korban Perang di Italia Berkah Ditolak Jadi Tentara Mengenal Tang Soo Do dari Cobra Kai Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis)