Masuk Daftar
My Getplus

Atas Nama Kodrat Perempuan

Bagi negara, perempuan merupakan ancaman bagi kemapanan sistem sosial dan ekonomi sehingga harus dikendalikan. 

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 25 Jan 2011

APA yang membedakan laki-laki dan perempuan? Seringkali orang menjawab: “kodrat”. Batasannya adalah ranah publik dan domestik. Tapi, dalam sejarah, ranah itu dirumuskan oleh siapa yang berkuasa.

Perempuan Jawa dari keluarga petani dan pedagang cenderung bebas dari nilai-nilai itu. Laki-laki dan perempuan memiliki akses untuk melakukan aktivitas produktif. Sementara pada keluarga priyayi, yang memiliki akar budaya feodal yang patriarkal, perempuan harus patuh dan menjadi penopang setia suami yang melakukan aktivitas produktif dalam domain publik.

“Posisi patriarkal dalam keluarga-keluarga Jawa kemudian ditegaskan dengan konsep yang diperkenalkan oleh Belanda bahwa laki-laki adalah pencari nafkah bagi keluarga. Karena hanya laki-laki yang dipekerjakan dalam birokrasi Belanda,” tulis Robert W. Hefner dalam Politik Multikulturalisme.

Advertising
Advertising

Konsep itu menguat melalui perilaku perempuan-perempuan Belanda dari kelas menengah terdidik yang didatangkan dalam jumlah besar. Kehadiran mereka meneguhkan dan memperluas perbendaharaan aturan perilaku priyayi bagi perempuan Jawa. Mereka menjadi “penjaga moral” atau seksualitas suami mereka. Di sisi lain, negara mulai lebih ketat mengawasi kehidupan seksual dan perkawinan para bupati atau pejabat gubernur sejak Gubernur Jenderal Daendels menyatakan mereka sebagai pegawai Hindia Belanda.

Konsep patriarkal sendiri muncul ketika negara-negara mulai berkembang. Sejarawan feminis Gerda Lerner, sebagaimana dikutip I Gusti Agung Ayu Ratih atau biasa disapa Gung Ayu, mempelajari wilayah Mesopotamia (kini Irak), peradaban urban pertama di dunia yang berlangsung pada 3000 sebelum masehi, untuk menelusuri asal-usul patriarkal. Di wilayah itu, negara didefinisikan oleh satu aparat permanen untuk mengumpulkan pajak dan melancarkan perang. Agar negara bertahan masyarakat harus ditata secara hirarkis.

“Salah unsur kunci dalam hierarki ini adalah keluarga patriarkal. Setiap suami, yang kita sebut kepala keluarga, diharapkan memimpin keluarganya seperti sebuah negara dalam negara yang lebih besar. Hukum mengakui kewenangan suami atas keluarganya sendiri. Hukum juga membangun institusi untuk memastikan subordinasi seksual perempuan,” tulis Gung Ayu, koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia, dalam “Kita, Sejarah dan Kebhinekaan: Merumuskan Kembali Keindonesiaan”, pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta, 10 November 2008.

Penelitian sejarah feminis lainnya, tambah Gung Ayu, memperlihatkan bahwa berkembangnya agama Nasrani di Eropa melibatkan serangan terhadap praktik-praktik pagan di mana perempuan memainkan peranan penting. Demikian juga perkembangan kapitalisme di Eropa disertai oleh bentuk-bentuk baru pengendalian terhadap perempuan.

Di Indonesia, kehadiran perempuan-perempuan Belanda di sisi lain membawa-serta gagasan tentang keluarga batih yang antipoligami dan pendidikan bagi perempuan. Gagasan itu kemudian diadopsi dan dikembangkan sejumlah tokoh perempuan di masa pergerakan yang menuntut kesetaraan di segala bidang, termasuk politik. Tapi gerakan perempuan itu, yang mulai beriak di masa akhir kolonial, tersendat ketika Jepang menduduki Indonesia.

Di masa Jepang, peran perempuan disalurkan melalui satu-satunya organisasi perempuan, Jawa Hokokai Fujinkai. Organisasi itu bertujuan memobilisasi tenaga perempuan untuk mendukung tentara Jepang dalam perang yang lebih luas di Asia Timur. Para istri pegawai pemerintah diwajibkan menjadi anggotanya, posisinya disesuaikan dengan posisi sang suami dalam hierarki pemerintahan, “suatu pola yang ditiru kembali oleh rezim Orde Baru dengan Dharma Wanita,” tulis Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan.

Ironisnya, setelah Indonesia merdeka, ranah publik (terutama politik) masih menjadi milik laki-laki. Dan, menurut Hefner, penunjukkan Sukarno sebagai presiden hanya melanggengkan tradisi priyayi, yang menempatkan perempuan di ranah domestik. Dalam bukunya Sarinah yang terbit tahun 1947, Sukarno menyatakan, “Harmoni hanya dapat dicapai jikalau kedua pihak (perempuan dan laki-laki) mempunyai posisi setara. Tapi keduanya berdasarkan kodrat.”

Hal itu tampak dari cara pandang dua kekuatan besar kala itu. Menurut Saskia, Sukarno berupaya menciptakan identitas Indonesia dengan merangkai penuh kembangan tentang “keluarga” sebagai kesatuan kolektif, keluarga bersifat hierarki dengan dirinya sebagai bapak (yang poligami). Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha membangun “keluarga komunis” di tingkat sosial. Dengan berbagai organisasi yang dipimpinnya, PKI mengusung partai sebagai bapak.

Perempuan diberi hak setara sebagai imbalan kontribusi mereka dalam revolusi, tapi mereka harus tetap di wilayah “kodrat”. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang menyatakan politik sebagai wilayah sah bagi perempuan. Tapi Gerwani juga berupaya menjembatani celah antara “politik laki-laki” dengan “kebutuhan sosial perempuan”.

Domestifikasi perempuan mencapai puncaknya pada Orde Baru, yang ditandai dengan penghancuran Gerwani. Perempuan Gerwani direproduksi dalam naskah-naskah Orde Baru sebagai “perempuan biadab” yang menyiksa para jenderal, “perempuan yang melampaui kodratnya karena liar di luar rumah, dan perempuan yang melakukan penyelewengan seksual, dengan seks bebas dan lesbianisme”.

“Kampanye yang menggambarkan Gerwani sebagai sundal pelacur sebagaimana digaungkan rezim Orde Baru memiliki tendensi untuk mengembalikan nilai-nilai konservatif yang dirumuskan sebagai kodrat wanita dari masa kolonial,” tulis Saskia.

Orde Baru kemudian membentuk organisasi- organisasi istri pegawai yang strukturnya mengikuti birokrasi pemerintahan sipil dan militer dan kepemimpinannya sejalan dengan jabatan suami. Inilah yang oleh Julia Suryakusuma digambarkan sebagai ideologi state ibuism.

Kontrol negara terhadap perempuan dilakukan melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita.

PKK bermula dari program pendidikan untuk kesejahteraan keluarga yang dibentuk pada 1957. Ketika Suparjo Rustam menjadi menteri dalam negeri pada 1973, PKK menjadi program yang mesti dijalankan dari istri menteri dalam negeri hingga istri apartur tingkat desa. Dalam perjalanannya, program PKK dikoordinasikan melalui kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Ideologi yang digalakkan PKK adalah “Panca Dharma Wanita”, yang harus dijalankan dengan menyesuaikan diri pada “kodrat perempuan”.

Sementara Dharma Wanita terbentuk pada Agustus 1974, semula bernama Gabungan Persatuan Isteri Pegawai Republik Indonesia (GAPIPRI). Tujuan utamanya mendukung dan menyukseskan tugas suami sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat. Status mereka diperoleh melalui penganugerahan, berdasarkan posisi karier suami, bukan berdasarkan kualitas pribadi. Ini memungkinkan suami memobilisasi dukungan melalui istrinya.

Menurut Julia I. Suryakusuma, “Seksualitas dan Pengaturan Negara”, yang dimuat Prisma, Juli 1991, pembentukan Dharma Wanita memiliki unsur politik dan ideologis. Seperti Korpri, struktur dan ideologi Dharma Wanita melahirkan konformitas dan kepatuhan di mana perilaku dan citra mereka dikontrol ketat oleh negara.

“Melalui Dharma Wanita, secara tak langsung negara dapat mengontrol aktivitas perempuan, suami mereka, sekaligus anak-anak mereka. Dengan demikian, ada jaminan pengendalian masyarakat dan penyebaran nilai-nilai tertentu dalam keluarga untuk mendukung kekuasaan negara,” tulis Julia.

TAG

kartini perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kisah Pengorbanan Seorang Babu R.A. Kartini