Masuk Daftar
My Getplus

Pilih Jurusan Studi Demi Kemerdekaan

Ingin sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat demi kemerdekaan Indonesia, Teuku Hasan memilih ilmu hukum sebagai fokus studinya.

Oleh: Martin Sitompul | 23 Jun 2019
Mr. Teuku Mohammad Hasan. Foto: Perpusnas RI.

PADA1929, Teuku Mohammad Hasan menamatkan pendidikan bangku sekolahnya. Prestasinya cukup baik, apalagi dalam bidang aljabar, Hasan lebih menonjol. Sebagai putra bangsawan (uleebalang) Aceh, Hasan tentu tidak kesulitan mencari universitas terbaik.

Sebelum memutuskan studi perguruan tinggi, Hasan memilih dan memilah berbagai jurusan. Mula-mula Hasan bermaksud ke Universitas Delft, di Belanda. Ragu melanda. Hasan kemudian berminat pula memasuki sekolah tinggi teknik (THS) – tempat Bung Karno juga berkuliah – yang ada di Bandung. Tapi Hasan masih bimbang.

“Saya menemui Teuku Hanafiah, mahasiswa RHS Batavia untuk bertukar pikiran,” kenang Hasan dalam memoarnya Mr. Teuku Moehammad Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa yang disunting Teuku Mohamad Isa.

Advertising
Advertising

Baca juga: Bangsawan Aceh dan Piagam Jakarta

Pergumulan soal jurusan mempertemukan Hasan dengan Teuku Hanafiah, sesama putra uleebalang Aceh. Hanafiah mahasiswa Aceh yang tengah belajar di sekolah tinggi hukum (RHS) Batavia. Kepada Hasan, Hanafiah membual sedemikian rupa mempromosikan jurusan hukum.

Dengan provokatif Hanafiah mengatakan jika memilih jurusan teknik dan menjadi insinyur yang hebat, Hasan cuma bisa bikin jembatan. Paling maksimal, Hasan hanya akan bisa menghasilkan 100 jembatan yang indah seperti di Spanyol.  Bila memilih sastra, Hasan akan dikenang karena syair-syair yang indah.

“Tetapi bila memilih ilmu hukum, maka buah tangan saya, menurut Teuku Hanafiah itu, adalah Indoesia Merdeka! Alangkah hebatnya kata T. Hanafiah dengan mata berbinar-binar,” tutur Hasan.

Selain itu, Hanafiah juga menambahkan fakta bahwa hampir semua gubernur jenderal Hindia Belanda bergelar sarjana hukum. Saran dari Hanafiah ini, terutama soal kemerdekaan Indonesia sungguh menggugah harapan Hasan. Terpukau omongan Hanafiah, Hasan lalu mantap menekuni jurusan hukum. Maka jadilah Hasan meniti studi hukumnya sebagai mahasiswa RHS Batavia. Sekolah ini terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, yang sekarang jadi gedung utama Kementerian Pertahanan.

Baca juga: Gertak Sambal ala Timur Pane

Pada 1930, Hasan lulus ujian kandidat I. Setahun kemudian, lulus kandidat II (setara strata-1). Hasan menikmati kuliah di jurusan ini dan timbul niat mendalaminya ke Eropa. Pada 1933, Hasan memutuskan merantau ke negeri Belanda demi melanjutkan pendidikannya.

Hasan mendaftarkan diri di jurusan Indisch Recht atau Hukum Hindia Belanda di Universitas Leiden. Selama di Belanda, Hasan berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan sebangsa semisal Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mariah Ulfah, Rustam Effendi, dan lainnya dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI). Pada 1933, dia pulang ke Aceh membawa pulang gelar Mester in de Rechten.

Pilihan Hasan, kendati dikompori oleh temannya, Hanafiah, terbukti tidak salah. Dengan kemampuannya sebagai ahli hukum, Hasan dapat memulai karier sebagai birokrat di Batavia kemudian Medan. Pada masa akhir kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, Hasan terjun ke kancah pergerakan nasional. Dia merupakan satu dari sedikit tokoh nasional yang diperhitungkan karena kecakapan -  selain sebagai bangsawan lokal -  dari Sumatera Utara.

Baca juga: Gerilyawan Aceh di Medan Area

Menjelang kemerdekaan, Hasan mewakili Sumatera Utara dalam BPUPKI. Dia kemudian jadi pemimpin garda depan Republik di masa revolusi. Hasan berjuang sebagai gubernur pertama Sumatera.

“Sedikit yang tahu bahwa Sumatera pada suatu masa pernah dipimpin secara terpusat dari Medan oleh seorang putra Aceh yang memperoleh pendidikan tinggi di Negeri Belanda hingga mendapat gelar Meester in Rechten yang tersemat di depan namanya,” tulis Raisa Kamila dalam Gubernur Pertama di Indonesia merujuk nama Mohammad Hasan.

 

 

TAG

gubernur-pertama sumatera

ARTIKEL TERKAIT

Sosok Itu Bernama Hamka Siapa Bachtaruddin Said Tokoh PKI Sumatera Barat? Sukarno dan Trauma PRRI Kolonel Jepang di Medan Area Ketika Sumatra Menjadi Pusat Peribadatan Tantrayana Islamisasi Minangkabau Perjuangan Ani Idrus untuk Perempuan Sumatera Tak Payah Dirundung Fitnah Kisah Cinta Rohana dan Abdul Kudus: Dua Sejoli dari Tanah Minang Ilmu Komandan di Palagan