DEMI mendapatkan tulisan nama masing-masing di telapak tangan, anak-anak perempuan di Simpang Tonang Tolu rela berkumpul di rumah Sitti Rohana (Kudus). Mereka rela mengantri. Mereka amat gembira begitu Rohana selesai menuliskan nama mereka. Telapak tangan terus mereka pandangi begitu sudah tertera nama diri sendiri. Mereka hafalkan tiap goresan. “M-A-L-A, Mala,” kata Rohana mengajari teman sebayanya.
Kesenangan itu ternyata memantik dengki sebagian orang. Ada saja yang mencibir aktivitas Rohana dan kawan-kawannya dengan bilang “banyak lagak” atau menyamakan Rohana dengan anak lelaki.
Rohana diam saja. Ia tak ambil pusing. Ketika kembali ke Koto Gadang di usia 17 tahun, Rohana langsung terpikir untuk mengajari teman-teman sebayanya membaca, menulis, menjahit, dan keterampilan lain. Rumah neneknya pun ia jadikan tempat untuk mengajar kecil-kecilan. Usaha dari nol itu berbuah manis. Muridnya terus bertambah dan makin beragam latar belakang.
Baca juga:
Mengenal Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama yang Jadi Pahlawan Nasional
Namun, tetap saja usaha Rohana mengajar tak mulus. Pemikiran kolot beberapa anggota masyarakat yang kadung memfosil sulit dikikis. Ada saja tetua di kampungnya yang berpikir pendidikan yang diberikan hanya membuat anak-anak peremuan menjadi berani melawan adat karena merasa pintar. Ada pula yang khawatir kalau anak perempuan Koto Gadang menjadi pandai membaca, mereka akan berkirim surat dengan lelaki Belanda dan menikah dengan orang luar Koto Gadang.
Rohana tak marah atau tersinggung dengan sikap mereka. Ia paham, maksud baik tak selamanya disukai orang. “Saya sama sekali tak berniat buruk apalagi sampai merusak budi pekerti anak gadis di Koto Gadang. Semua yang saya lakukan ini seamta-mata demi kemajuan kaum perempuan agar mendapat pendidikan yang layak,” kata Rohana seperti dikutip Fitriyanti dalam Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Kudus.
Sayangnya, lambat-laun penolakan makin kencang. Terlebih setelah tahun 1908 Rohana menikah dengan Abdul Kudus yang aktivis pergerakan. Sebagian orang tua murid takut anak-anak mereka ditangkap Belanda karena ikut dalam gerakan politik ketika belajar tulis-menulis di rumah Rohana. Puncak dari ketakutan itu, mereka minta sekolah Rohana ditutup dengan alasan tak ada gunanya dan meresahkan.
Baca juga:
Rohana Kudus, Pahlawan Perempuan dari Tanah Minang
Banyaknya gunjingan dan tekanan membuat Rohana dan Abdul memilih pindah ke Kampung Maninjau. Mereka menetap di sana selama dua tahun, kemudian pindah ke Padang Panjang selama setahun.
Selama di tanah rantau, Rohana tetap berkirim surat pada mantan murid-muridnya di Koto Gadang. Dia ingin sekali kembali mengajar di Koto Gadang. Keresahaannya itu ia sampaikan pada Abdul. “Barangkali selama ini saya berjalan sendiri memajukan pendidikan kaum perempuan di kampung. Mereka merasa dilangkahi dan mengaggap saya telah melanggar adat-istiadat,” kata Rohana, sedih.
“Apakah itu yang menurut Adik membuat mereka tersinggung?” kata Abdul menenangkan istrinya. “Memang tidak selamanya tujuan baik kita diterima dengan hati terbuka.”
Selama berada di tanah rantau, Rohana merasa kesepian karena tak punya kegiatan selain mendampingi Abdul. “Apalagi kita belum dikaruniai anak,” Rohana mengeluh.
Baca juga:
Kisah Cinta Rohana dan Abdul Kudus: Dua Sejoli dari Tanah Minang
Setelah diskusi itu, keduanya sepakat untuk kembali ke Koto Gadang. Rohana sudah menyusun rencana agar usahanya membuka sekolah tak mendapat penolakan lagi.
Begitu tiba di Koto Gadang, Rohana meminta bantuan Ratna Puti, istri seorang jaksa yang posisinya cukup dihormati. Lewat bantuan Ratna Puti, sekira 60 perempuan yang terdiri dari istri para pemuka adat, agama, dan pejabat daerah (para Bundo Kanduang) berhasil diundang dalam pertemuan perempuan. Dalam pertemuan itu, Rohana mengutarakan pentingnya membuka sekolah bagi anak perempuan di Koto Gadang untuk menyiapkan mereka menjadi orang yang mandiri.
“Mari bersama-sama kita berniat mengatasi masalah pendidikan untuk kaum perempuan di Koto Gadang. Kita memerlukan sebuah sekolah resmi bagi kaum perempuan, yang tentu saja atas izin pemerintah daerah,” kata Rohana.
Pesan Rohana menyentuh hati para Bundo Kanduang. Mereka pun mendukung pembentukan perkumpulan perempuan yang dinamai Kerajinan Amai Setia (KAS) pada 11 Februari 1911. Lewat perkumpulan ini, didirikanlah sekolah kepandaian putri yang mengajarkan baca-tulis, menjahit, dan menyulam. Rohana duduk sebagai presiden KAS dan sebagai direktris perguruan itu.
Baca juga:
Perjuangan Rohana dalam Pendidikan Kaumnya
Pada awal berdirinya, seluruh kegiatan sekolah KAS dilakukan di rumah nenek Rohana, seperti sekolah yang dulu ditentang. Makin hari muridnya makin banyak. Rumah nenek Rohana pun tak cukup menampung. Lebih lagi, lembaga rintisan Rohana sudah resmi berdiri, maka timbullah keinginan untuk membangun gedung sekolah dan sekretariat perkumpulan KAS.
Namun, seperti diceritakan Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, kala itu Rohana tak punya uang. Rekannya yang orang Belanda, Tuan Groenevel, kemudian mengusulkan agar Rohana mengadakan lotere untuk menggalang dana. Rohana pun bergegas mengurus izin penyelenggaraan lotere ke pemerintah setempat.
Setelah izin penyelenggaraan lotere berhasil didapatkannya, gunjingan tetangga kembali menerpa. Sebagian tokoh adat, agama, dan Bundo Kanduang tak setuju dengan penyelenggaraan lotere karena dinilai haram. Sementara menurut Rohana, penyelenggaraan lotere ini didasari niat baik untuk pembangunan fasilitas pendidikan.
Baca juga:
Operasi Bersama Gempur Sumatera
Berhasil menampik satu rintangan, datang lainnya. Rohana dituduh mengkorupsi uang lotere yang berhasil digalang. Tuduhan itu diperparah dengan mengaitkan pekerjaan Abdul yang lebih banyak dikerjakan di rumah. Mereka menuding Abdul tak punya penghasilan hingga membuat Rohana harus memenuhi kebutuhan hidup dan mengutip uang pembangunan sekolah.
Tudingan kejam itu membuat Rohana menangis. Ia menolak segala tudingan itu, membela kehormatan Abdul, dan membuktikan kalau ia tidak bersalah di pengadilan Bukittinggi. Pada 21 September 1914, Rohana menyerahkan catatan keuangan KAS pada pejabat negara W Frijling BB di Batavia untuk diperiksa. Pada 6 November 1914, Rohana juga menyerahkan buku catatan keuangan KAS ke pejabat lain, Van Ronkel. Kedua pejabat Hindia-Belanda itu tak menemukan ada kejanggalan. Pemeriksaan keuangan itu selesai pada 1916. Rohana tidak terbukti bersalah.
Selama proses persidangan, posisi Rohana digantikan pengurus lain. Namun, ketika kasusnya selesai, alih-alih dikembalikan ke posisinya, Rohana malah disisihkan. Salah seorang murid Rohana yang ia bebaskan dari buta huruf hingga bisa berbahasa Belanda, menjegalnya. Rohana tak diperbolehkan menjabat direktris dan kepala perkumpulan lagi. Rohana juga difitnah berselingkuh dengan lelaki Belanda.
Baca juga:
Fitnah warga Koto Gadang itu berangkat dari fakta di masa itu hanya Rohana yang berani keluar-masuk kantor pemerintahan dan berkawan dengan lelaki Belanda. Fitnah itu diperparah dengan komentar miring, Rohana belum kunjung hamil padahal sudah menikah sembilan tahun.
Namun saat fitnah belum punya anak sedang kuat menerpanya, Rohana hamil. Rohana girang bukan kepalang. Ketika kehamilannya sampai ke telinga banyak orang, tetap saja ada yang memfitnahnya dengan mengatakan kehamilan Rohana merupakan hasil hubungan gelap dengan petinggi Belanda.
Sontak saja Rohana marah. “Kita buktikan saja nanti. Biarlah anak ini lahir berkulit hitam dan berhidung pesek!” kata Rohana.
Hujaman fitnah itu membuat Abdul khawatir pada istrinya yang tengah hamil. Abdul percaya betul pada istrinya. Tak mungkin Rohana mengutip uang atau main serong dengan lelaki lain.
Baca juga:
Perempuan Bali Model Lukisan Rini Karya Sukarno
Rohana dan Abdul akhirnya pindah ke Bukittinggi lantaran kondisi Koto Gadang sudah tidak nyaman. Di sanalah anak pertama mereka, Djasma Juni, lahir pada 1917. Rohana pun tak pusing memikirkan Amai Setia yang sudah diambil alih muridnya. Ia lebih memilih membangun sekolah baru di Bukittinggi, Rohana School.