Hari ini, 75 tahun lalu, sebuah rumah di Karawang, Jawa Barat, menjadi saksi bisu sejarah bangsa Indonesia. Rumah Rengasdengklok, begitu orang menyebutnya, menjadi tempat para pemuda menyembunyikan Sukarno dan Hatta dari pengaruh Jepang.
Para pemuda yang tergabung dalam Kelompok Menteng 31 membawa mereka beserta Fatmawati dan Guntur, istri dan anak Sukarno, dari Jakarta ke Rengasdengklok pada pagi 16 Agustus 1945.
Mereka mendesak Sukarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa perlu menunggu perkembangan dari Jepang. Tapi permintaan itu ditolak oleh keduanya.
Sore hari, Jusuf Kunto dan Achmad Soebardjo datang menjemput Soekarno dan Hatta. Soebardjo menjamin proklamasi kemerdekaan akan lebih cepat terjadi jika Sukarno dan Hatta berada di Jakarta. Kalau proklamasi tak terjadi, Soebardjo siap bertanggung jawab. “Mayor boleh tembak mati saya,” kata Soebardjo kepada para pemuda. Sukarno dan Hatta dibolehkan kembali ke Jakarta. Esok harinya, Proklamasi pun terlaksana di Jakarta.
Tapi Rumah Rengasdengklok tetap jadi bagian penting dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Antara lain karena ia melambangkan keterlibatan keturunan Tionghoa dalam mendukung kemerdekaan. Saat peristiwa Rengasdengklok, rumah tersebut milik keturunan Tionghoa bernama Djiauw Kie Siong. “Engkong orang biasa-biasa saja. Pekerjaannya petani sejak 1930-an di sini,’ ujar Yanto Djuhari (70), cucu Djiauw Kie Siong, kepada Historia.id. Selain bercocok tanam, Djiauw Kie Song menggeluti Feng shui. “Ya banyak juga yang bertanya sama bapak. Soal perjodohan misalnya,” lanjut Yanto.
Posisi bangunan rumah Rengasdengklok sekarang sudah bergeser. Awalnya rumah ini berada tepat di sisi tanggul Sungai Citarum. Tapi suatu hari banjir besar melanda. “Dulu kita sering dilanda musibah banjir. Saat itu waduk Jatiluhur belum selesai dibangun. Sehingga ketika hujan, tanggulnya pecah. Akhirnya kita disuruh pindah. Tapi diminta jangan jauh-jauh. Sekira 20 meter dari sini,” tambah Yanto. Walaupun posisi rumah telah bergeser, sejarah Rumah Rengasdengklok tak pernah berubah. Mengunjunginya dapat membuat orang lebih menghargai sejarah perjuangan kemerdekaan.
Rumah berwarna hijau itu sekarang dihiasi berbagai gambar tokoh yang terlibat Peristiwa Rengasdengklok seperti Sukarno, Hatta, Wikana, Chaerul Saleh, dan Achmad Soebarjo. Ada kalimat-kalimat perjuangan di sekitar gambar itu. Di dalam rumah terpajang sejumlah foto dan perabotan yang pernah digunakan Sukarno dan Hatta seperti tempat tidur, meja, dan kursi.
Tak banyak pengunjung saat Historia.id menyambanginya Juli lalu. Biasanya rumah ini ramai saat menjelang perayaan 17 Agustusan. Selama perayaan itu, orang diajak untuk mengingat makna rumah ini dalam sejarah Indonesia. “Adanya rumah ini menjadi bukti bahwa keturunan Tionghoa juga ikut berpatisipasi dalam kemerdekaan,” kata Yanto. Dia memaknai rumah itu sebagai lambang keberagaman. “Jadi jangan sekali-kali kita membedakan ras, suku ataupun agama. Kita sudah satu Indonesia. Jangan saling musuh-musuhan,” ujar Yanto.