Masuk Daftar
My Getplus

W.G.Jongkindt Conninck, Pengusaha Kina Ternama di Hindia Belanda

Datang ke tanah Hindia dalam usia muda, Jongkindt Conninck menapaki kariernya sebagai pengusaha kina terkemuka. Meninggal dalam tahanan tentara Jepang.

Oleh: Hendi Johari | 12 Jun 2021
Makam W.G.J. Conninck di Pangalengan (Hendi Jo)

Foto itu terlihat sudah usang. Tergantung di salah satu sudut rumah tua di kawasan Perkebunan Kertamanah, Pangalengan. Dalam posisi setengah badan, nampak seorang lelaki bule berkepala botak dengan kumis putih melintang tersenyum tipis, penuh wibawa. Sorot matanya tajam. Perawakannya gagah.

“Namanya Tuan Yongkin. Beliaulah yang mendirikan pabrik di Kertamanah,” ungkap Wawan G.S, berusia 56 tahun.

Baca juga: 

Advertising
Advertising

Riwayat Teh Sariwangi, Pelopor Teh Celup di Indonesia

 

Menurut eks mandor besar di Perkebunan Teh Kertamanah itu, bagi orang-orang tua di Kertamanah, Tuan Yongkin sudah seperti pahlawan. Bagi orang luar, sekilas anggapan tersebut seperti berlebihan. Namun memang demikianlah adanya. Upaya lelaki Belanda itu memberdayakan orang-orang kampung sekitar Kertamanah dan memajukan kawasan yang terletak di wilayah selatan Bandung memang selalu dikenang sepanjang masa.

“Dia orang baik, jauh dari gambaran kelakuan seorang penjajah,” ungkap Uyu, yang waktu saya wawancarai pada 2009 sudah berusia 96 tahun. Lantas siapakah sebenarnya Tuan Yongkin?

Menurut peneliti sejarah dari Historika Indonesia V.R. Nayoan, Tuan Yongkin memiliki nama asli Willem Gerard Jongkindt Conninck. Dia merupakan salah satu putra dari C.J.M. Jongkindt Conninck, direktur pertama Sekolah Pertanian Wageningen (perguruan tinggi pertanian tertua di Belanda).

Selain Willem Gerard Jongkindt Conninck, C. J. M. Jongkindt Conninck memiliki seorang putra lain dan seorang putri. Mereka adalah Gerrit Jan Jongkindt Conninck dan Johanna Cecilia Annette Jongkindt Conninck. Ketiganya ternyata mewarisi bakat ilmu pertanian yang dimiliki sang ayah.

“Kelak saat beranjak dewasa mereka kemudian pergi ke Hindia Belanda dan sempat mengelola puluhan hektar tanah milik Johanna di wilayah Lampegan dan Ciastana (Cianjur, Jawa Barat)…” ungkap Nayoan.

Keterangan Nayoan, diamini oleh Vecco Suryahadi dari Komunitas Aleut Bandung. Menurutnya, kedatangan kali pertama Willem ke Hindia Belanda pada 22 Juni 1884 sesungguhnya disertai oleh kakaknya, Gerrit.

“Saat itu usia Willem 18 tahun sedangkan Gerrit berusia 24 tahun,” ujar Vecco.

Willem Jongkindt kemudian menapaki karirnya pada sebuah perkebunan tembakau di Sumatera. Awalnya dia bekerja di perkebunan Belawan. Karena memiliki prestasi bagus dia kemudian didapuk menjadi administratur perkebunan tembakau di Deli pada 1889, tepat ketika usianya memasuki 23 tahun.

Namun jabatan sebagai pimpinan perkebunan tembakau dia pegang tidak sampai sepuluh tahun. Pada awal 1898, pemerintah Hindia Belanda (sesuai permintaan Willem Jongkindt) memberikan kepadanya hak menggarap tanah seluas 2.259 bahu (1 bahu=7.096,5 meter persegi) di wilayah Jawa Barat.

“Tepatnya di distrik Jampang Wetan, Cianjur…” tulis koran De Preangerbode, 28 Maret 1898.

Keterangan di atas, terkonfirmasi dalam sebuah arsip yang dikeluarkan oleh perusahaan percetakan nasional (Landsdrukkerij) pada 1915 berjudul Cultuur adres-boek Lijst Van. Batavia. Di situ ada terbuhul informasi jika pada 1898 telah terjadi kesepakatan kontrak perkebunan selama 75 tahun antara pemerintah Hindia Belanda dengan Jongkindt Conninck bersaudara melalui perusahaan Tjiboeni Tjipongpok Caoutchouc Maatschappij. Disebutkan dengan terjadinya kesepakatan kontrak itu, Jongkindt Conninck bersudara (Gerit, Willem dan Johanna) pantas mendapatkan hak Erfpacht plot Tjiastana, Tjiboeni dan Tjipongpok dengan total luas keseluruhan ± 1.440,52 hektar.

Pada 1899, Willem Jongkindt hijrah ke selatan Cianjur (Jampang Wetan). Bersama adik perempuannya, Johanna, dia tinggal di wilayah Ciastana. Hanya beberapa tahun di sana, Willem kemudian memutuskan untuk mendalami tumbuhan kina, menyusul pendirian pabrik kina terbesar di dunia yang berada di Bandung pada 1896. Dia kemudian pindah ke Perkebunan Kertamanah.  Di sana, pada 1 April 1904, secara resmi dia didapuk sebagai administratur pertama.

“Saat itu Hindia Belanda dikenal dunia sebagai produsen kina terbesar,” ungkap Nayoan.

Baca juga: 

Dari Kina Ke Artemisia

Willem sangat serius mempelajari budidaya kina. Selama berkiprah di sana, pengetahuannya akan cara pengolahan tanah, pemilihan benih, dan penanggulangan penyakit kina semakin bertambah sehingga dia dikenal sebagai salah satu ahli kina terkemuka di Hindia Belanda. Surat kabar De Preangerbode edisi Juli 1913 pernah memuat ulasannya mengenai penyakit yang sering melanda tanaman kina.  

Tidak aneh jika kemudian Willem menjadi terkenal karena keahliannya itu. Berbagai undangan untuk menjadi pembicara banyak berdatangan. Salah satunya dari Tentoonstelling te Semarang yang menempatkan Willem di seksi agrikultur dan holtikultura.

Tahun 1934 bisa dikatakan sebagai puncak kejayaan Willem Gerard Jongkindt Conninck. Berkat jasanya di bidang budidaya kina, pemerintah Hindia Belanda menganugerahinya penghargaan Ridder in de Orde van Oranje-Nassau. Begitu bahagianya Willem dengan penghargaan itu hingga dia mengadakan  perayaan besar di Perkebunan Kertamanah.

“Semua dibuat bahagia: ada pementasan wayang golek, nanggap ronggeng dan warga dibebaskan untuk memakan hidangan-hidangan enak sepuasnya,” kenang Uyu.

Kesuksesan Willem sebagai pengusaha kina menjadikannya terus memimpin Perkebunan Kertamanah hingga usianya mencapai 76 tahun. Pada sekira Maret 1942, Jepang datang dan menangkapi semua orang-orang Belanda yang ada di seluruh Hindia Belanda, termasuk Willem Jongnkindt. Dia kemudian dikirim ke Ambarawa (Jawa Tengah) dan meninggal dalam penderitaan di Kamp Interniran 7 pada 23 Januari 1945.

Jasad Willem yang sudah berupa kerangka baru bisa dipindahkan dari Ambarawa pada 25 April 1949. Besoknya kerangka lantas dibawa ke suatu pulau yang berada di tengah danau kecil, di sekitar wilayah Pabrik Kertamanah. Di sanalah kerangka Willem bersemayam hingga kini.

 “Ya itu memang sesuai keinginan Opa…” ungkap Eucharia Sastramidjaja (71), salah satu cucu dari Willem Jongkindt.

Baca juga: 

Pesan dari Kamp Interniran

TAG

kina willem connick kertamanah pangalengan

ARTIKEL TERKAIT

Hikayat Jongkindt Conninck dari Kertamanah Dari Malaria Hingga Corona Dari Kina Ke Artemisia Tepung Seharga Nyawa Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Cikal Bakal Bursa Saham Orang Pertama yang Menjual Saham VOC Kisah Mantan Pilot John F. Kennedy Perebutan yang Menghancurkan Timah dan Tuan Besar