Masuk Daftar
My Getplus

Dari Malaria Hingga Corona

Diyakini bisa membantu pengobatan corona, kina awalnya merupakan obat anti-malaria. Menorehkan sejarah panjang dalam dunia pengobatan dan perniagaan.

Oleh: M.F. Mukthi | 27 Mar 2020
Para buruh perkebunan sedang mengokulasi Cinchona Ledgerina dengan Cinchona Succirubra (Foto: wellcomeimages.org/Bureau Tot Bevordering van Het Kinine-Gebruik, Amsterdam)

Saat istri ke apotek untuk mencari vitamin dan thermometer Sabtu (21/3/20) lalu, apotek yang didatanginya dipenuhi orang yang mencari obat dan alat yang dapat digunakan untuk mencegah virus corona atau Covid-19. “Orang pada nyari klorokuin (chloroquine). Bapak-bapak yang di samping, mana ngga pake masker, teriak, ‘klorokuin…klorokuin’,” katanya.

Penggunaan klorokuin dianggap sejumlah pihak efektif membantu pengobatan pasien yang terinfeksi virus corona sementara obat untuk pandemi Covid-19 belum ditemukan. Aktor Korea-Amerika Daniel Dae Kim, yang sebelumnya dinyatakan positif Covid-19 dan menjalani isolasi hingga 23 Maret 2020, merupakan salah satu yang merasakan efektifnya obat tersebut.

“Saya tidak ingin mengatakan (obat) ini penyembuh dan saya tidak mengatakan kalian harus pergi dan membelinya. Tetapi, apa yang ingin saya katakan adalah saya percaya itu berperan penting dalam penyembuhan saya,” ujarnya sebagaimana diberitakan kompas.com, 23 Maret 2020.

Advertising
Advertising

Otoritas China dan Prancis mengonfirmasi baik klorokuin maupun hidroksiklorokuin (hydroxychloroquine) bisa digunakan untuk perawatan pasien corona. Kenyataan itu menarik perhatian Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dia lalu memerintahkan Food and Drug Administration (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) menggalakkan penggunaan klorokuin untuk penanganan Covid-19.

“Komisaris FDA Stephen Hahn mengatakan penggunaan chloroquine memang diarahkan sang presiden,” ujarnya sebagaimana diberitakan cnbcindonesia.com (20/3/20).

Efektivitas obat yang awalnya sebagai anti-malaria itu pula yang membuat pemerintah Indonesia mendatangkannya bersama Avigan –obat anti-flu yang dikembangkan Fuji Film, Jepang– dalam jumlah besar pekan lalu. “Obat ini sudah dicoba oleh 1,2,3 negara dan memberikan kesembuhan yaitu Avigan, kita telah mendatangkan 5.000 dan dalam proses pemesanan 2 juta. Kedua, Chloroquine. Ini kita telah siap 3 juta,” kata Presiden Joko Widodo, dikutip cnbcindonesia.com.

Klorokuin merupakan turunan dari kina, obat anti-malaria yang didapat dari kulit pohon cinchona yang digiling halus. Kina memainkan peran penting dalam sejarah pengobatan malaria dunia dan perekonomian Belanda maupun koloninya, Hindia Belanda (kini Indonesia).

Baca juga: Dari Kina Ke Artemisia

Pohon cinchona memiliki habitat asli di Pegunungan Andes, terutama di Peru. Penduduk setempat menggunakannya untuk mengobati malaria atau demam lain. Meski farmakop (buku resmi catatan kesehatan) Inca awal tidak mencatat penggunaannya, penyebaran penggunaan kina untuk obat demam terus meluas. Setelah pendudukan Spanyol, Don Juan Lopez de Canizares, walikota di salah satu kota Peru, mempelajari pengobatan demam menggunakan bubuk yang oleh orang Spanyol dinamakan “Bubuk Peru” itu kepada seorang tabib setempat.

Canizares menerapkan pengobatan yang dipelajarinya itu saat mengobati Countess Chinchon, istri kedua raja muda Peru, yang mederita demam berselang-seling. Dia memberikan bubuk Peru. Sang countess sembuh dan menganjurkan penggunaan bubuk yang kemudian oleh orang Spanyol dinamakan Bubuk Cinchona sebagai penghormatan kepadanya itu. Saat kembali ke negerinya, countess membawa serta bubuk Peru.

Meski perdebatan menyelimuti kisah masuknya kina ke Eropa, kepercayaan orang Spanyol akan khasiat kina meluas, lalu menyebar ke negeri-negeri lain. “Penggunaan pertamanya dicatat di Spanyol tahun 1639; dan dalam edisi ketiga Amsterdam Farmakope tahun 1686 cinchona disebut. Diskusi ilmiah pertama yang memuaskan tentang kualitas cinchona sebagai obat adalah karya astronom Prancis De la Conamine, yang berasal dari tahun 1738,” tulis Samuel H. Cross dalam Quinine: Production and Marketing

Adalah Calancha, biarawan Agustinian di Spanyol, yang pertamakali menuliskan penggunaan kina. “Sebuah pohon tumbuh yang mereka sebut 'pohon demam' (arbol de calenturas) di negara Loxa yang kulitnya, berwarna kayu manis, dibuat menjadi bubuk dengan berat dua koin perak kecil dan diberikan sebagai minuman untuk menyembuhkan demam dan tertiana; itu telah menghasilkan hasil ajaib di Lima," demikian Calancha menulis, dikutip Brian M. Greenwood, professor di Department of Infectious and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical Medicine, dalam “Herbal Remedies for the Treatment of Malaria” yang dimuat di buku bertajuk Science-based Complementary Medicine.

Khasiat kina mendorong Kardinal Juan de Hugo dan para imam Jesuit lain gigih menganjurkan penggunaannya. Namun asosiasi dengan Jesuit itu mendatangkan penolakan dari negeri-negeri Protestan yang lalu menamainya “Bubuk Jesuit”. Popularitas “bubuk Peru” melesat setelah digunakan Robert Talbor ketika menyembuhkan demam Raja Inggris Charles II, meski itu menyebabkan metode pengobatan Talbor dicap sebagai perdukunan oleh para dokter mapan.

Popularitas kina dalam pengobatan Barat membuat pasokan berkurang. Hal itu mendorong para penjelajah Eropa berlomba-lomba beburu pohon cinchona di hutan Pegunungan Andes. “Eksploitasi pohon cinchona di abad ke-18 tanpa penanaman kembali, terutama di hutan Loxa di mana Cinchona officinalis, sumber terbaik kina, yang ditemukan menyebabkan berkurangnya kina secara mengkhawatirkan,” sambung Greenwood.

Eksploitasi makin tak terkendali seiring meningkatnya persaingan di antara negara-negara kolonialis Eropa. Penemuan ekstraksi kina oleh ahli farmasi Prancis Pierre Joseph Pelletier dan Joseph Caventou pada 1820, yang membuat potensi kina bisa dimanfaatkan lebih, ditambah dengan pecahnya epidemi malaria di Groningan pada 1829 dan banyaknya kasus malaria di koloni tropis negeri-negeri Eropa, membuat permintaan kina melonjak.

“Ketika permintaan kina dunia meningkat, pemerintah Peru dan Bolivia semakin mengendalikan pengumpulan dan penjualannya, menahan ekspansi Imperium Eropa yang amat menyandera,” tulis sejarawan Andrew Goss dalam The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightment in Indonesia.

Kondisi itu membuat para naturalis dan botanis Eropa, yang dipelopori botanis Jerman Alexander von Humboldt pada 1820, menyarankan para penguasa dan pengusaha perkebunan Eropa agar mulai memperhatikan aklimatisasi (pengadaptasian) kina dengan menanamkannya di berbagai perkebunan di koloni-koloni tropis mereka seperti Hindia Belanda dan India. Namun, saran itu baru direspon setelah semua orang Eropa menyadari pentingnya aklimatisasi.

“Setelah 1840-an, orang-orang Eropa mencari pasokan kulit cinchona yang stabil, andal, dan ekonomis, tumbuh di bawah kendali Eropa, yang akan membuang Amerika Selatan dari lingkaran (perniagaan). Tahun 1840-an adalah titik balik utama dalam sejarah pencegahan malaria. Alkaloid kina, dengan bantuan perkembangan kontemporer dalam dunia kimia farmasi, dapat dengan mudah diekstraksi dari kulit pohon cinchona. Dan itu adalah obat kina yang mengagumkan yang mencegah dan bahkan menyembuhkan malaria, penyakit tropis yang mematikan,” sambungnya.

Meski pada 1930 konsul Belanda di Peru dan Valpraiso, Chile telah meminta dikirimkan seorang botanis ke Arica, Chile untuk mengamankan cinchona guna diangkut ke Jawa, respon pemerintah Belanda amat lamban. Itu baru dimulai ketika Menteri Koloni Charles F. Pahud, atas rekomendasi naturalis Franz Wilhelm Junghuhn yang menjadi inspektur riset ilmiah Hindia Belanda, mengontrak botanis Jerman Karl Hasskarl pada 1851 untuk mengumpulkan spesimen hidup dan benih pohon cinchona dan membawanya ke Jawa.

Baca juga: Misi Kina Indonesia

Hasskarl berhasil mengumpulkan 75 batang pohon cinchona muda dan sejumlah benih yang lalu dibawanya ke Jawa menggunakan kapal AL Belanda Prins Frederik. Setibanya mantan asisten di Buitenzorg Botanical Garden (BBG, kini Kebun Raya Bogor) itu di Jawa pada 1854, mayoritas pohon kinanya itu mati karena iklim Pasifik. Atas saran dari Direktur BBG JE Teysmann, Hasskarl menanamkan sisa dua pohon cinchonanya dan sejumlah benih di Cibodas.

“Perjalanan Hasskarl adalah pintu masuk Belanda pertama yang sungguh-sungguh dalam perlombaan untuk aklimatisasi cinchona,” tulis Goss.

Hasskarl yang kemudian ditunjuk menjadi direktur produksi kina, mengundurkan diri pada 1856 karena sakit. Pada tahun itu pula Pahud memulai jabatannya sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda, yang berarti ia menjadi penanggung jawab tertinggi proyek aklimatisasi kina. Pahud yang merupakan gubernur jenderal transisi dari era kroni raja ke era liberal, sangat berambisi mereformasi birokrasi dengan fondasi sains –ia dikenal sebagai patron para ilmuwan. Proyek aklimatisasi kina yang telah dirintis Hasskarl dilanjutkannya dengan menunjuk naturalis kondang yang merupakan sahabatnya, FW Junghuhn, sebagai pengganti Hasskarl.

Junghuhn langsung bekerja keras terus-menerus dengan menanam stek, menguji kulit pohon cinchona, dan menulis panduan pembudidayaannya. Dia menemukan banyak kesalahan dilakukan pendahulunya yang kemudian dia tuliskan dalam laporan resmi pertamanya pada 1857.

Junghuhn lalu memindahkan lokasi perkebunan dari Cibodas ke Malabar di Pangalengan, Bandung Selatan dan Lembang. Menurut Junghuhn, Malabar memiliki lapisan atas tanah yang tebal dan punya kondisi alam lebih mirip dengan hutan Pegunungan Andes. “Junghuhn percaya bahwa pohon-pohon akan tumbuh lebih alami di hutan yang mirip dengan yang ada di Amerika Selatan. Dalam mempersiapkan situsnya, ia membersihkan semak-semak tetapi mempertahankan hutan tua yang masih utuh.”

Lebih jauh, Junghuhn menghentikan penanaman spesies Cinchona calisaya yang dirintis Hasskarl meski saat itu dianggap spesies cinchona terbaik, menggantikannya dengan spesies yang menurut Hasskarl Cinchona ovata namun menurut Junghuhn Cinchona lucumaefolia. Dengan bantuan ahli kimia kina Inggris JE Howard, Junghuhn menamakan spesies terakhir itu dengan Cinchona pahudiana sebagai penghormatannya terhadap Gubernur Jenderal Pahud. 

Penghormatan itu merupakan balas budi Junghuhn atas dukungan besar, termasuk dana, dan otonomi luas yang diberikan Pahud. Besarnya otonomi Junghuhn dibuktikan ketika dia menolak KW van Gorkom, kimiawan yang dikirim Den Haag atas rekomendasi profesor kimia Universiteit Utrecht GJ Mulder, untuk membantu proyek aklimatisasi. Junghuhn memilih ahli kimia asal Rotterdam JE de Vrij sebagai pengganti Gorkom.

Laporan-laporan resmi awal Junghuhn kepada gubernur jenderal selalu bernada optimis. Tiga tahun setelah pembukaan kebun Malabar, lebih dari 100 ribu pohon dari berbagai tahap perkembangan berhasil ditumbuhkannya.

Namun, beberapa orang mempertanyakan langkahnya karena tak kunjung menghasilkan pohon yang kaya akan kina. Kritik pertama datang dari Kepala BBG JE Teysman pada 1861. Kepada Gubernur Jenderal Pahud, Teysman mengatakan bahwa Junghuhn sengaja menghancurkan semua yang bukan miliknya dengan mengabaikan semua pohon yang ditanam sebelum dia ditugaskan, dan Junghuhn tak pernah mengindahkan semua pengetahuan tentang kina dari para ahli seperti Hasskarl atau H.A. Weddell. Kritik pedas terhadap apa yang dilakukan Belanda lewat Junghuhn akhirnya datang pada 1862 dari Sir Clements Markham, ahli aklimatisasi cinchona paling kondang di abad ke-19 asal Inggris.

Kritik mengalir deras kepada Junghuhn setelah Pahud pulang ke Belanda usai masa tugasnya habis pada September 1861. Meski ada desakan kuat Menteri Koloni GH Uhlenbeck agar Junghuhn diberhentikan dan dilarang menyebarluaskan penamaman Cinchona pahudiana, Gubernur Jenderal Jan Wilt Sloet van de Beele hanya menuruti yang kedua. Kepercayaannya akan keilmuan Junghuhn membuat Van de Beele mempertahankan Junghuhn pada tempatnya. Junghuhn baru diganti pada 1864 setelah mengalami masalah kesehatan. De Beele yang menjadi penanggung jawab tertinggi proyek aklimatisasi lalu menunjuk Gorkom, yang pernah ditolak Junghuhn, sebagai pemimpin proyek.

Di bawah Gorkom, aklimatisasi kina dilakukan untuk menjembatani kepentingan investor di satu pihak dan kemauan administrator Liberalis di Belanda di lain pihak. Liberalis sejak lama menginginkan reformasi di Hindia Belanda yang tetap harus menguntungkan terutama bagi para investor di bidang perkebunan. Aklimatisasi kina di Jawa pada 1860-an menjadi obsesi Belanda untuk menciptakan perkebunan cinchona yang akan menguntungkan secara ekonomi, karena cinchona dapat dijual sebagai tanaman ekspor.

Panduan itu membuat Gorkom mengarahkan aklimatisasinya sebagai salah satu bentuk pengembangan ekonomi ekspor komoditas berdasarkan sains untuk mendorong investasi swasta yang saat itu masih didominasi gula, kopi, dan teh. Dengan mewarisi 1.151.810 pohon cinchona, di mana 99 persennya spesies Cinchona pahudiana, Gorkom tak ingin mengulangi kesalahan Junghuhn yang yakin bahwa alam dapat diarahkan sesuai sains. Gorkom menanam berbagai spesies cinchona yang kaya kandungan kina, yang paling sukses secara komersil kemudian adalah Cinchona ledgeriana –diambil dari nama George Ledger, saudagar Inggris yang pertamakali menawarkan benih spesies ini kepada pemerintah Belanda, 1865. Selain itu, Gorkom aktif mengumpulkan benih dari Amerika Latin dan Inggris, meminta masukan dari para ahli sains, dan mengundang ahli untuk meninjau metode kultivasinya. Teysmann mengunjungi perkebunannya pada 1866. Gorkom juga rajin menulis buku panduan pembudidayaan kina.

“Sistem Van Gorkom dicapai dengan berdirinya komunitas ilmiah independen di mana para anggotanya mengumpulkan sumberdaya, ide, dan keahlian dan bekerja menuju tujuan bersama,” tulis Goss.

Upaya keras Gorkom akhirnya membuahkan hasil. “Panen pertama kulit pohon cinchona terjadi pada 1869, dari tahun itu hingga tahun 1874, di perkebunan Pemerintah saja, 79.170 kilogram kulit cinchona dipanen. Pada 1869 didistribusikan ke sekitar 600 pabrik di berbagai kabupaten untuk mendorong budidaya swasta,” tulis Samuel Cross.

Dengan warisan penanaman cinchona secara komersil di Jawa, Gorkom membuka gerbang kejayaan kina Hindia Belanda. Setelah 1885, Jawa berhasil menggantikan Ceylon (kini Sri Lanka) sebagai pemasok utama kina di dunia. Rata-rata 11 ribu ton kulit cinchona dihasilkan perkebunan kina di Hindia Belanda tiap tahunnya. Untuk mengakomodasi tingginya produksi cinchona, pada 1896 didirikanlah pabrik di Bandung bernama Bandoengsche Kinine Fabriek, yang mengolah kulit cinchona menjadi bubuk kina. Hampir separuh dari kulit cinchona yang dihasilkan perkebunan cinchona di Hindia Belanda diolah pabrik Bandung.

Meski sempat dihambat oleh sindikat produsen kina Eropa karena Pabrik Bandung mengubah ekspor kina Hindia dari berwujud kulit cinchona menjadi bubuk kina sehingga mengancam kemapanan mereka, Pabrik Bandung berhasil bangkit dan menegaskan dominasi Hindia dalam pasar kina dunia. Dominasi itu makin digdaya setelah Konvensi Kina 1 Januari 1913 bubar akibat negara-negara penandatangannya terlibat Perang Dunia I.

Salah satu perusahaan perkebunan yang menangguk laba dari kina adalah Straits Sunda Syndicate, perusahaan patungan Jerman-Belanda yang bergerak dalam beragam perkebunan komoditas ekspor dengan konsesi di Jawa, Sumatra, dan Bali. “Pada 1924, Straits-Sunda Syndicate mencapai puncak kemakmurannya. Mereka menguasai 21.000 hektar di Sumatra, Jawa, dan Bali. Dua puluh sembilan perkebunannya menghasilkan teh, karet, kina, minyak kelapa sawit, gula, kopra, beras, dan kopi. Dalam satu tahun mereka memanen hampir empat juta pon teh dan satu juta pon kina, sebagian besar berasal dari perkebunan Cikopo. Nilai total tahunan produk tersebut adalah 9,5 juta gulden, senilai sekitar 40 juta dolar AS hari ini, dari mana Syndicate menuai keuntungan 10%,” tulis Geoffrey Bennett dalam The Pepper Trader: True Tales of the German East Asia Squadron and the Man who Cast them in Stone.

Dominasi Hindia Belanda akhirnya berujung pada monopoli. “Belanda telah secara spektakuler meningkatkan kandungan kina dari kulit pohon cinchona asal Peru dari 3 persen menjadi 18 persen. Hasilnya adalah bahwa Hindia Belanda sekarang memasok sekitar 95 persen dari kina dunia dan secara sewenang-wenang mengendalikan distribusi dan harga,” tulis Majalah Life edisi 22 January 1940.

Dominasi Hindia Belanda itu akhirnya rusak oleh pendudukan Jepang, Maret 1942. “Perang secara tegas mengganggu produksi kina. Ketika Jerman menduduki Belanda pada tahun 1940, Jerman dengan cepat merebut fasilitas produksi kina Belanda. Setelah Jepang mencaplok Nusantara, bahan kimia yang dibutuhkan untuk memproduksi kina dari cichona tidak bisa lagi diimpor dan tingkat produksi anjlok. Semua toko kina diambil alih militer Jepang. Prevalensi malaria di Indonesia meningkat tajam, dengan banyak pasien yang terjangkit meninggal,” tulis Hans Pols dalam Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies.

Direbutnya sumber penghasil kina Sekutu mendorong Amerika mencari jalan keluar. “Pada 1944, kina sintetik (klorokuin, red.) dan berbagai obat anti-malaria diproduksi oleh berbagai perusahaan farmasi Amerika untuk mendukung upaya perang,” sambung Pols.

Usai perang, meski kina masih banyak digunakan, klorokuin populer sebagai obat anti-malaria. Kina sintetis ini pertamakali ditemukan pada 1934 oleh ahli farmasi Jerman Hans Andersag. Seiring majunya dunia farmasi dan berkurangnya malaria di samping adanya resistensi plasmodium terhadap klorokuin, penggunaan klorokuin dan kina sebagai obat anti-malaria berkurang. Bersama turunan lain bernama hidroksiklorokuin, kina dan klorokuin kemudian digunakan untuk mengobati peradangan sendi dan lupus. Pada saat wabah SARS merebak tahun 2003, klorokuin digunakan sebagai salah satu obat. Kini ketika pandemi Covid-19 menghantam dunia, klorokuin dan hidroksiklorokuin kembali digunakan.

TAG

kina corona

ARTIKEL TERKAIT

W.G.Jongkindt Conninck, Pengusaha Kina Ternama di Hindia Belanda Dihantam Pandemi Bali bak Kota Mati Cristiano Ronaldo, Lebah Kecil dari Madeira Kala Presiden Amerika Terpapar Virus Influenza Saat Jakarta Sunyi karena Pendemi Sepakbola, Puasa, dan Corona Menanti Vaksin si Pembasmi Penyakit Ulama Tetap Berkarya di Tengah Wabah Raja Nusantara Korban Wabah Penyakit Ode untuk Legenda Renang Lukman Niode