MENDENGAR ada pesawat asing mendarat darurat di Lapangan Udara Cikalong, Tasikmalaya, pada 6 Juni 1947, KSAU Suryadi Suryadarma langsung mengutus Opsir Udara III Petit Muharto menuju lokasi. Yang diutus langsung berangkat dan meyakini pesawat asing itu merupakan pesawat rekannya asal Amerika Serikat yang ditungggu-tunggu.
“Memang benar dugaan Muharto. Pilotnya adalah Bob Freeberg yang pernah diberi petunjuk, mengikuti rel kereta api untuk sampai ke Maguwo. Waktu itu ia terpaksa terbang rendah di bawah gumpalan awan, dan justru karena itu, ia sebagai orang baru kehilangan orientasi,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.
Baca juga: Bob Freeberg, pilot berhati lembut
Bob Freeberg, veteran AL AS, merupakan pilot Commercial Air Lines Incorporated (CALI) yang bersama Muharto menjalani misi menembus blokade Belanda di masa awal kemerdekaan. “Pesawat C-47 Dakota milik Bob Freeberg secara resmi disewa oleh Pemerintah RI dan diberi nomor registrasi RI-002,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma.
Misi Membiayai Revolusi
Dari Tasik, Bob dan Muharto diterbangkan ke ibukota Yogyakarta menggunakan pesawat Nishikoreng yang dipiloti Sunaryo “Betet” untuk menemui KSAU Suryadarma. Keduanya langsung mendapat tugas baru dari Suryadarma. “Tugas yang harus dijalankan adalah mengangkut barang untuk dijual di luar negeri, berupa serbuk kina dan panili,” tulis Irna.
Tugas menembus blokade Belanda itu dibuat Suryadarma untuk mencari tambahan dana guna membiayai perjuangan. “Dalam kondisi dikepung daerah Federal yang telah dikuasai Belanda, pada hakikatnya Djokjakarta sudah diblokade dengan rapat, sehingga tidak mungkin lagi bisa mendatangkan obat-obatan, begitu juga upaya mencukupi kebutuhan sandang serta beragam keperluan hidup lainnya. Blokade tersebut hanya bisa ditembus lewat udara, dengan memanfaatkan sejumlah penerbang pemberani, yang berani nekad menerobos blokade,” tulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja.
Bersama “Betet”, Bob dan Muharto pun kembali ke Tasikmalaya. Sementara pesawat RI-002 diisi bahan bakar dan dimuati 29 peti serbuk kina dan 11 peti panili, dipasok oleh Divisi Siliwangi, Muharto selaku pemimpin misi memberi briefing kepada para awak. Selain Muharto dan Bob sebagai pilot, misi tersebut diawaki dua juru mesin berkebangsaan Filipina; Pang Suparto, perwira Siliwangi yang ditugaskan sebagai juru muat; dan Opsir II Boediardjo selaku juru radio.
“Saya yang masih berada di Malang dipanggil untuk ikut mengawal pesawat Dakotanya Bob yang diberi nomer register RI-002. Setelah dimuati kina dan panili kami lepas landas,” ujar Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi.
Baca juga: Bob Freeberg membantu utusan Mesir yang terdampar di Singapura
Pada 9 Juni, RI-002 terbang menuju Yogyakarta. Setelah para awak beristirahat, pukul 23.45 pesawat yang dipiloti Bob itu bertolak menuju Labuan untuk mencapai Manila.
Setelah melalui perjalanan malam berbahaya itu para anggota misi langsung disambut masalah setibanya di Manila. “Siapa lagi kalau bukan Perwakilan Belanda yang menuduh RI-002 mengangkut kina hasil curian dari Pabrik Kina di Bandung, yang berada dalam yuridiksi kekuasaan Belanda,” lanjut Boediardjo. Lewat kuasa hukum Ponce Enrile, De Witt, dan Perkins, Konsul jenderal Belanda di Manila menuntut penyitaan terhadap semua peti berisi kina yang dibawa RI-002.
Beruntung, misi AURI mendapat dukungan penuh dari Senator Filipina Salipada Pendatun. Veteran Guerilla Army of Muslims and Christians itu gigih melawan upaya yang dilakukan para advokat Konjen Belanda. Meski memakan waktu sebulan lebih, Indonesia akhirnya menang. Pemerintah Filipina menyatakan 29 peti kina dan 11 peti panili yang dibawa RI-002 menjadi hak penuh awak RI-002.
Baca juga: Mempertanyakan pengakuan Nyak Sandang soal pesawat RI-001
Namun, selesai urusan dengan Konjen Belanda tak berarti masalah selesai. Ke mana kina dan panili itu harus dijual? Manila tak punya pasar untuk dua komoditas yang belum dikenal tersebut. Masalah kian bertambah ketika Boediardjo jatuh sakit akibat malaria. Dengan uang saku pas-pasan yang kian menipis sementara dagangan belum jelas kapan akan terjual, para awak misi mesti hidup hemat.
“Setiap hari mereka berjalan kaki bersama sejauh setengah mil untuk makan di suatu kedai nasi murah. Yang disantap juga selalu menu yang itu-itu juga,” tulis Irna.
Hari-hari berat itu dijalani para anggota misi dengan terus menawarkan dagangan kepada berbagai pihak, terutama peminat asal Amerika. Perjuangan mereka akhirnya berhasil, komoditas yang mereka bawa laku. Hasil penjualan kina dan panili, ditambah bantuan dana dari rekan-rekan Suparto di Singapura, langsung mereka gunakan untuk membayar utang-utang selama di Manila dan membayar jasa Bob. Sisanya, dibawa Suparto ke tanah air untuk biaya perejuangan.