Wabah penyakit tidak mengenal kasta. Siapa pun bisa terkena tanpa pandang bulu: laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Termasuk mereka dari kelompok rakyat jelata hingga keluarga Istana.
Keadaan demikian juga berlaku belakangan ini. Seluruh dunia tengah sibuk berjuang menghadapi wabah Covid-19 yang lebih dikenal sebagai Virus Corona. Wabah pandemik inipun menyasar kaum dari segala golongan. Di Inggris, putra mahkota kerajaan, Pangeran Charles sempat terinfeksi Virus Corona. Di Indonesia, sejumlah pejabat negara dinyatakan positif terjangkit virus yang sama. Mereka antara lain Menteri Perhubungan Budi Karya dan Wali Kota Bogor Bima Arya.
Di masa silam, sejarah mencatat beberapa raja di Nusantara yang menjadi korban wabah penyakit. Kolera menjadi wabah yang paling banyak merenggut nyawa beberapa raja. Selain itu, wabah lain seperti cacar dan malaria turut pula menjadi penyebab raja lainnya mangkat. Siapa saja mereka?
Sultan Alauddin Mahmud Syah
Sultan Alauddin Mahmud Syah merupakan sultan Aceh terakhir sebelum invasi Belanda. Sultan berkuasa pada periode 1870—1874. Pada masa pemerintahannya, Sultan menolak pengakuan kedaulatan Kerajaan Belanda dalam Traktat Sumatra yang ditandatangani Inggris dan Belanda pada 1871. Atas penolakan itu, Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh.
Pada 28 Januari 1874, Istana Sultan Aceh jatuh ke tangan serdadu Belanda pimpinan Letnan Jenderal (pensiunan) Jan van Swieten. Swieten menggantikan Jenderal Kohler yang tewas tertembak pejuang Aceh dalam ekspedisi pertama penaklukan Aceh. Sebanyak 8.500 serdadu tempur, 4.300 pelayan dan kuli, serta 1.500 pasukan cadangan dikerahkan Swieten untuk menyerang Istana.
Baca juga: Mitos dan Fakta Kolera di Aceh
Sultan Mahmud Syah yang terdesak, menyingkir ke pegunungan Leungbata. Dalam pelariannya, Sultan mangkat pada hari itu juga akibat terjangkit wabah kolera. Namun menurut sejarawan Mohammad Said cukup alasan untuk menuduh bahwa Belanda telah sengaja menjadikan penyakit kolera itu sebagai "senjata" untuk membinasakan rakyat Aceh.
“Satu dari alasan tersebut ialah bahwa penyakit itu sudah ketahuan menjalar kepada orang-orang selagi kapal (Belanda) masih di Priok,” tulis Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid 2
Kendati demikian, orang Aceh tetap melanjutkan perjuangan. Perlawanan terhadap Belanda ini kemudian mengobarkan perang yang dikenal sebagai “Perang Atjeh” atau Atjeh Oorlog. Perang baru berakhir ketika Aceh telah ditaklukkan sepenuhnya pada 1904.
Si Singamangaraja XI
Gelar lengkapnya bernama Raja Ompu Sohahuaon Sinambela. Dia merupakan Raja-Imam Batak ke-11 dari dinasti Si Singamangaraja. Tidak diketahui persis kapan Si Singamangaraja XI dinobatkan sebagai raja. Si Singamangaraja XI diperkirakan memegang tampuk kepemimpinan ketika kaum Padri meninggalkan Tanah Batak pada 1830-an
Masa kekuasaan Si Singamangaraja XI beriringan dengan kehancuran total di seluruh roda kehidupan Tanah Batak pasca serangan pasukan Padri. Si Singamangaraja XI mencoba membangun kembali pusat pemerintahannya yang luluh-lantak. Dia membuka huta (perkampungan) yang baru di pedalaman yang dinamai Huta Lumban Raja. Sayangnya, kolera masih mewabah di Tanah Batak pada era Si Singamangaraja XI.
Baca juga: Ketika Hantu Kolera Mengamuk di Tanah Batak
“Penyakit kolera bercokol terus di Tanah Batak sejak pembumihangusan tentara Padri. Banyaknya mayat yang tidak sempat dikuburkan menyebabkan berkembangnya penyakit di seluruh Tanah Batak,” tulis Tiurma Tobing dalam Raja Si Sisingamangaraja.
Faktor usia ditambah fisik yang lemah menyebabkan Si Singamangaraja XI menjadi sangat rentan terserang kolera. Setelah lama menderita kolera, Si Singamangaraja XI wafat pada 1872. Trah kerajaan diteruskan oleh anaknya Patuan Bosar bergelar Si Singamangaraja XII yang kelak menjadi pahlawan nasional Indonesia.
Sultan Syarif Hasyim
Sultan Syarif Hasyim bergelar Yang Dipertuan Besar As-Sayyidi Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin. Dia adalah Sultan ke-11 dari Kesultanan Siak Sri Indrapura. Syarif Hasyim dinobatkan sebagai sultan pada 25 Oktober 1889 dan bertahta selama 19 tahun.
Di bawah kepemimpinan Syarif Hasyim, Siak mencapai kemakmuran. Wilayah kekuasaan Siak terbentang dari Langkat sampai Jambi. Lambang kemegahan Siak di masa Syarif Hasyim terwujud dalam bangunan bernama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang mencampurkan unsur Eropa, Moor, dan Melayu.
Baca juga: Rumah-Rumah Zaman Kesultanan
Sultan juga berperan memodernisasi tatanan pemerintahan Kesultanan Siak dengan menerapkan sistem pemerintahan konstitusional. Pada masa pemerintahannya disusun Undang-Undang Kerajaan Siak yang dibukukan dalam Babul Qawa’ied (Pintu Segala Pegangan).
Pada suatu hari di tahun 1908, Sultan beristirahat di salah satu rumahnya di Singapura. Dua jam kemudian, beliau meninggal dunia. Mengutip berita Pembrita Betawi, 2 April 1908, Taufik Rahzen dalam Kronik Kebangkitan Indonesia: 1908-1912 menyebut bahwa Sultan Syarif Hasyim meninggal karena penyakit malaria yang dideritanya.
Sultan Agung
Sultan Agung sebagaimana dicatat sejarawan Merle Calvin Ricklefs merupakan penakluk terbesar di Tanah Jawa setelah era Majapahit. Dia menjadi sultan ketiga Kesultanan Mataram dan memerintah dari tahun 1613 sampai 1645. Sultan Agung menguasai sebagian besar wilayah Jawa, kecuali Batavia dan Banten.
Pada 1640-an wabah penyakit merajalela di Jawa (Ricklefs tak menyebut secara khusus nama penyakit tersebut). Di saat yang sama, kesehatan Sultan Agung menurun. Dia jatuh sakit pada 1642. Tidak lama berselang, tepatnya tahun 1646, Sultan Agung meninggal dunia, kira-kira antara awal Februari dan awal April.
Baca juga: Sultan Agung dan Wabah Penyakit
“Kematian Agung mungkin sekali disebabkan oleh salah satu wabah tersebut,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern: 1200—2000.
Mengenai wabah penyakit itu, sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1, mengutip Babad ing Sangkala bahwa pada 1643–1644 di Mataram (Jawa) terjadi “epidemi beratus-ratus mati setiap hari”.
Pangeran Antasari
Pangeran Antasari merupakan Sultan Banjar yang terkenal gigih menentang penjajahan Belanda. Pada 1859, Antasari memimpin perlawanan rakyat di Kalimantan Selatan dan Tengah yang dikenal sebagai Perang Banjar.
Pada September 1862, Antasari bersiap untuk menyerang benteng Belanda di Montallat, Barito Utara. Bala bantuan berupa peluru dan mesiu dari Kutai menambah kekuatan pasukan Antasari. Namun rencana ini mesti tertunda karena pasukan Antasari dilanda wabah cacar. Antasari sendiri meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 di Bayan Begak.
Baca juga: Mohammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
Dalam biografi Pangeran Antasari, M. Idwar Saleh mengutip laporan Belanda yang menyebutkan bahwa Pangeran Antasari telah meninggal karena cacar, pukul 09.00 pagi. Pangeran Antasari berwasiat kepada anak-anaknya untuk meneruskan perjuangan dengan pesan “Haram manyarah” atau pantang menyerah.
Untuk mengenang jasanya, pemerintah Indonesia menetapkan Pangeran Antasari sebagai pahlawan nasional pada 1968. Wajahnya diabadikan dalam lembaran uang rupiah edisi 2009 bernilai Rp. 2.000.
Raja Josephus Mbako II
Merentang ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Pulau Flores. Tersebutlah nama Josephus Mbako II bergelar lengkap Raja Moang Ratu Don Jozef Ximenes da Silva. Dia merupakan raja Sikka yang memerintah dari 1898 hingga 1902. Kerajaan Sikka telah berdiri sejak tahun 1600-an dan dipimpin oleh seorang raja secara turun-temurun.
Pada 1902, Josephus mengadakan perjalanan meninjau sebagian wilayahnya yang pernah melawan Sikka. Kampung-kampung yang dikunjungi terletak di Maumere Timur yang pada 1900 berpihak pada kerajaan lokal Kangae dibantu oleh Raja Larantuka, wilayah Flores Timur. Namun pada saat itu, wabah penyakit sedang merebak.
Baca juga: Kala Kolera Menyerang Batavia
“Malang bagi kunjungan raja kali ini, karena ia diserang penyakit perut, ternyata penyakit kolera ganas yang merenggut nyawa,” tulis Paulus Jepolus Gessing dalam Memori Perjuangan dan Pengabdian Moan Teka Iku.
Raja Josephus Mbako II wafat pada 29 November 1902 akibat penyakit kolera. Dia digantikan oleh anaknya Nong Meak da Silva.