Konon penyakit kolera (ta’eun) yang membuat masyarakat Aceh kalang kabut adalah akibat ulah perang jen (jin). Jin kafir menyerang jin muslim dengan panah. Mereka berlindung di antara manusia tanpa membedakan muslim atau bukan. Akibatnya, banyak manusia terkena panah itu yang menyebabkan penyakit kolera.
Mitos muasal kolera itu disebut dalam buku De Atjehers karya Snouck Hurgronje. Ia tinggal di Aceh dari 1857 hingga 1936.
"Sebagaimana di Jawa," kata Snouck, "kekuatan-kekuatan gaib memainkan peran penting berkaitan dengan cacar dan kolera, meskipun konsepsi orang Aceh sangat berbeda rinciannya dengan konsepsi Jawa."
Baca juga: Kemenangan dan Kegagalan Snouck Hurgronje di Aceh
Di balik mitos itu, ternyata epidemi kolera di Aceh berawal dari serangan Belanda yang bagi orang Aceh adalah perang sabil melawan kafir.
"Terhadap Belanda, rakyat Aceh sudah bertekad sabil, menang atau syahid," tulis Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid 2.
Perang Sabil
Perang Aceh pecah pada April 1873, tak lama setelah Traktat Sumatra ditandatangani Belanda dan Inggris pada 1 November 1871. Tujuannya mengganti Traktat London 1824 yang menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh. Kesepakatan baru itu memberi peluang kepada Belanda untuk menguasai Aceh.
Serangan pertama Belanda berhasil dipatahkan pasukan Aceh. Belanda menderita banyak kerugian, bahkan panglima perangnya, Jenderal J.H.R. Kohler tewas. Serangan kedua dilancarkan pada 9 Desember 1873 di bawah komando Letjen Jan van Swieten yang sudah pensiun.
Baca juga: Kala Kolera Menyerang Batavia
Belanda menduduki keraton pada 31 Januari 1874. Sultan Mahmud Syah mengungsi ke Pagar Ayer, di mana ia meninggal dunia karena kolera.
"Pada agresi yang kedua pihak Aceh tak akan keluar dari dalam (istana raja) jika bukan karena kolera. Lihat saja agresi Belanda yang pertama," tulis Said.
Van Swieten segera memproklamasikan kemenangannya. Ia mengira seluruh wilayah Aceh akan menyerah. Ternyata, perlawanan malah semakin meningkat.
Kolera yang Menyusup
Belanda mengerahkan 8.500 serdadu, 4.300 pelayan dan kuli ke Aceh. Tak lama kemudian, 1.500 pasukan cadangan didatangkan dari Padang. Hampir separuh dari pasukan ini adalah serdadu bayaran, terutama yang dihimpun di Belanda. Mereka berasal dari kalangan sampah masyarakat dari berbagai negera di Eropa.
"Kolera menjadi bagian yang menyusup di dalam ekspedisi pasukan terbesar yang pernah dikerahkan Belanda di timur," tulis sejarawan Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh, dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19.
Kolera telah merajalela di Batavia pada November 1873. Kolera menyerang pasukan Belanda sehari setelah meninggalkan pelabuhan Batavia. Sedikitnya 80 orang tewas sebelum mendarat di Aceh pada 9 Desember 1873.
Kolera yang dibawa serdadu Belanda menulari orang-orang Aceh. Kolera juga menyerbu masuk istana. Panglima Tibang, pembesar Aceh yang menyeberang ke pihak Belanda, menceritakan kala Belanda menyerang di saat itu pula pihak Aceh menghadapi serangan kolera di dalam istana. Setiap hari lebih dari 150 orang dimakamkan di pekarangan istana.
Baca juga: Intel Kolera di Batavia
Van Swieten mengepung istana pada 24 Januari 1874. Pasukan Aceh secara diam-diam meninggalkan benteng yang telah terjangkit penyakit. Mereka mundur ke bukit-bukit.
"Menurut Tibang, dia dan sultan yang terakhir kali menyingkir. Ketika itu kolera sudah menyerang tubuh sultan. Tibang sendiri pun merasa diserang oleh kolera, selama delapan hari dia menderita dan mengatasinya," tulis Said mengutip Biografie van den Toekoe Panglima Maharadja Tibang karya J.A. Vink.
Sementara itu, pihak Belanda yang merasa sudah menang, terkepung di Kutaraja.
"Orang Belanda tak mempercayai orang Aceh. Mereka tak berani keluar jauh-jauh dari kubu pertahanan. Akhirnya, mereka terpaksa mendatangkan semua bahan makanan dan perbekalan dari Penang," jelas Reid.
Belanda kehilangan 1.400 serdadu terutama karena kolera. Korban terus bertambah sekira 150 orang setiap bulan sepanjang tahun.
Korban orang Aceh jauh lebih besar. Berdasarkan surat dari Aceh ke Penang, diperkirakan 37.000 orang Aceh mati karena kolera dan pertempuran pada akhir 1874. Termasuk Sultan Mahmud Syah.
"Kesulitan yang dihadapi Van Swieten bertambah besar lagi dengan meninggalnya Sultan Mahmud karena penyakit kolera pada 26 Januari 1874 tanpa meninggalkan pengganti yang jelas," tulis Reid.
Sengaja Ditularkan
Mohammad Said mencurigai Belanda sengaja menularkan kolera ke penduduk Aceh. Alasannya karena orang Belanda sudah tahu penyakit itu ada di kapal sejak di pelabuhan Priok, Batavia. Kapal itu lekas diberangkatkan untuk menjaga agar yang di darat tak sampai kena.
"Kenapa mendadak saja orang di kapal kena jika bukan karena 'barang' ini disimpan di situ?" tulis Said.
Alasan lain, kapal itu sengaja tak dikarantina dan terus berlayar menuju perairan Aceh tanpa singgah di pulau atau tempat manapun yang tak ada manusianya.
Said menyebut bahwa menurut laporan di perairan Aceh, seluruh armada Belanda menaikkan bendera kuning. Ini tanda internasional untuk menunjukkan kapal perang sedang dihinggapi penyakit menular.
"Tidak berani masuk pantai Aceh, berhubung sudah disiarkan di kapal dan di pantai-pantai Aceh penyakit itu sudah menjalar," tulis Said.
Keanehan lainnya berkaitan dengan pensiunan tentara Italia di Mincio bernama Nino Bixio. Awalnya, ia ditawari menjadi nakhoda kapal pengangkut Maddaloni. Ia menjual kapal itu kepada Belanda setelah mendapat tawaran tinggi. Ternyata, ia menjadi korban penipuan Belanda.
"Sungguh menjadi tanda tanya serius bagi orang luar ketika mendengar Nino turut menjadi salah seorang korban (kolera, red.). Padahal di kapal Maddaloni itu tak diketahui ada orang lain yang menjadi korban," tulis Said.
Baca juga: Ketika Hantu Kolera Mengamuk di Tanah Batak
Said menduga, Nino sengaja dikorbankan menjadi sasaran kolera. Mayatnya dibuang ke darat di salah satu pantai Aceh. Orang Aceh segera menyingkirkan mayat itu. Namun, mayat itu sudah terlanjur berada di sana beberapa waktu.
"Wabah kolera sudah sempat menjalari badannya. Itu pulalah yang menyebabkan wabah turut mendarat bersama dengan mendaratnya tentara agresi Belanda waktu itu," tulis Said.
Tak akan ada yang mengetahui rahasia itu selain Van Swieten dan orang-orang kepercayaannya.
"Rahasia seperti ini jika terbongkar akan menjatuhkan prestise Belanda," tulis Said. "Walau masih abad ke-19, tapi sudah dikenal juga hukum internasional yang melarang suatu bangsa menyerang bangsa lain dengan alat bengis seperti bibit kolera."
Memang tak bisa dipastikan penyebab wabah kolera menyebar di Aceh. Namun dari kejadiannya, menurut Said, sudah cukup alasan untuk menuduh Belanda sebagai pihak yang sengaja menyebarkan kolera ke tengah masyarakat Aceh.