MARET 1978 suatu pagi. Emil Salim menerima telepon dari ajudan Presiden Soeharto. Dia diminta menemui presiden di Pelabuhan Tanjung Priok. Emil Salim segera meluncur. Setibanya, dia dibawa masuk ke dalam kapal motor. Soeharto sudah menunggu.
“Dahulu saya suka memancing di teluk Jakarta, tapi sekarang terpaksa harus lebih ke dalam Selat Sunda menjauhi Jakarta,” ujar Soeharto.
“Cobalah lihat,” Soeharto menunjuk pekat dan hitamnya air laut yang dijejali sampah, kotoran dan buangan minyak, “pembangunan baru berjalan sepuluh tahun, tetapi sampah dan limbah sudah membunuh ikan-ikan di laut. Bagaimana nanti kalau kita mulai membangun industri? Akan musnahkah kehidupan lautan kita?”
“Saya meminta jij [“anda” dalam bahasa Belanda] membantu saya menangani lingkungan hidup, mencegah jangan sampai alam kita rusak. Kita harus wujudkan pembangunan tanpa merusak lingkungan.”
“Saya ekonom, Pak. Saya mengerti sedikit tentang ekonomi. Tapi tentang lingkungan ekologi saya tidak paham,” ujar Emil Salim.
Soeharto lalu bercerita dengan serius.
“Dulu di masa kecil saya suka bermain di hutan Wonosari yang masih penuh dengan monyet, ular dan pepohonan. Kini hutan itu sudah gundul. Dulu saya suka mandi dan membersihkan kerbau di sungai yang jernih. Kini sungai itu sudah kotor dan berwarna coklat. Kampung kini sudah rusak lingkungannya sedangkan pembangunan belum seberapa. Dan masih banyak yang harus kita bangun. Tugasmu mengembangkan pola pembangunan tanpa merusak lingkungan. Lagipula bukankah ekonomi berbicara tentang rumahtangga manusia dan ekologi tentang rumahtangga alam?” ujar Soeharto meyakinkan.
Baca juga: Lingkungan dalam Kungkungan
Mendengar cerita itu, Emil Salim tak berdaya untuk menolak. Jadilah dia Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Perkenalan pertama Emil Salim dengan isu lingkungan hidup bermula ketika Juni 1972 Soeharto menugaskannya memimpin delegasi Indonesia untuk menghadiri Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia (UNCHE) pertama di Stockholm, Swedia. Tapi pekerjaan kali ini jelas lebih pelik dan rumit. Pesan Soeharto untuk “merencanakan pembangunan tanpa merusak lingkungan” bukanlah perkara mudah. Dalam benak Emil Salim, pembangunan suatu negara berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi rakyat. Dalam proses itu moda sarana teknologi pembangunan sering mengorbankan sisi ekologi dan kelestarian alam. Ibarat buah simalakama, Emil Salim dihadapkan pada persoalan dilematis.
Lama Emil Salim merenungi cara yang harus dia tempuh. Akhirnya dia teringat diskusi dengan Perdana Menteri India Indira Gandhi dalam konferensi UNCHE. Kunci persoalannya bukanlah mempertentangkan pelestarian lingkungan dengan pembangunan, tapi mengedepankan pembangunan yang selaras dan bersinergi dengan kelestarian lingkungan dan kemanusiaan.
Baca juga: Usaha Awal Melindungi Lingkungan di Hindia Belanda
Emil Salim tak menafikan dampak buruk pembangunan terhadap lingkungan. Dalam tulisan berjudul “Mengapa Analisis Dampak Lingkungan”, dia menekankan pentingnya Analisis Dampak Lingkungan (Andal) sebelum memulai program pembangunan. Tujuannya, “membantu pengusaha memilih teknologi dan cara produksi yang bisa memperkecil dampak negatif kepada lingkungan.”
Sementara gagasannya tentang pembangunan yang berpihak pada kemanusiaan tampak dalam tulisan “Pertambangan dalam Keberlanjutan Pembangunan”. Emil Salim mengkritik pola ekspolitasi pertambangan yang tak mengindahkan keberadaan masyarakat adat. Akibatnya, muncul dendam di hati masyarakat kepada negara dan perusahaan tambang.
Isu kerusakan lingkungan yang berujung pada pemanasan global menjadi perhatian serius semua negara. Persoalannya, semangat untuk memperbaiki kondisi alam seringkali melibatkan tarik-menarik kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini tercermin dalam pertemuan Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009. Para peserta sulit mencapai kata sepakat dalam menetapkan ambang batas produksi karbon dioksida masing-masing negara. Negara maju menuntut negara-negara berkembang seperti China, India, dan Brasil diperlakukan sama dalam menurunkan gas rumah kaca (GRK). Jika tidak, mereka enggan melakukannya.
Baca juga: Perdebatan Lingkungan di Volksraad
Padahal, memasuki tahun 2008, kepadatan GRK di bumi mencapai 380 parts per million (ppm) dari 280 ppm sebelum Revolusi Industri (1780). Untuk mencegah peningkatan suhu bumi di atas 2 derajat celcius, pengendalian emisi karbon harus diupayakan berada pada 450 ppm.
Saking kesalnya, Presiden Maldives secara demonstratif memimpin sidang kabinet di bawah laut. Sedangkan Kabinet Pemerintah Nepal bersidang di puncak Mount Everest sambil memakai masker oksigen.
Indonesia menghadapi tantangan yang jelas. Jika suhu bumi melampaui 2 derajat celcius, Indonesia yang terletak di zona khatulistiwa akan terkena dampaknya. Permukaan air laut akan naik, yang bisa menenggelamkan ratusan pulau, banjir, angin taufan, musim kemarau panjang, evaporasi air tawar di permukaan, erosi keanekaragaman hayati, meluasnya kebakaran hutan, serta merebaknya penyakit baru pada hewan dan manusia. Karena itu apa pun yang diperdebatkan di forum internasional, Indonesia harus sudah melangkah melewati tahap perdebatan dan menggalang kesepakatan dengan negara-negara sahabat untuk menanggapi tantangan perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam berbagai forum lingkungan hidup internasional, di KTT Bumi Rio de Jeneiro, Brazil, maupun konvensi perubahan iklim yang termaktub dalam Protokol Kyoto Jepang, 1994. Pada 2007 Indonesia bahkan menjadi tuan rumah konferensi perubahan iklim dunia di Bali.
Baca juga: Tarik-Ulur Soal Lingkungan Zaman Kolonial
Pelestarian lingkungan diperlukan demi keberlangsungan hidup generasi mendatang. Di sinilah peranan pemuda. Menurut Emil Salim para pemuda perlu dibawa ke tingkat penghayatan lingkungan dengan memperkenalkan mereka pada berbagai masalah lingkungan hidup sekaligus melibatkan dan memberikan kepercayaan untuk mencari solusi pemecahan.
Ada banyak cara nyata dan sederhana guna mencegah meningkatnya pemanasan global. Antara lain menghemat penggunaan BBM dan konsumsi air bersih, tak membuang sampah nonorganik sembarangan, dan menghemat penggunaan listrik.
Terhitung sejak 1978 hingga 1993 Emil Salim menempati posisi sebagai menteri yang bertanggungjawab terhadap persoalan lingkungan hidup. Selama satu dekade lebih menjabat posisi itu, kiprah Emil Salim dalam pelestarian lingkungan hidup di kancah nasional maupun internasional tak perlu diragukan lagi. Sayangnya, dari 38 gagasan tentang lingkungan dalam buku ini, hanya tiga tulisan yang dia tulis saat menjabat sebagai menteri. Alhasil tak terlihat jelas apa saja bentuk nyata dari kebijakannya.
Betapapun semangat Emil Salim dan kecintaannya pada lingkungan hidup patut dihargai dan diteladani. Bukan untuk dia, tapi untuk bumi yang kita diami.