DUA pekan penuh gempita Asian Games (AG) XVIII resmi berakhir, Minggu (2/9/2018). Ratusan prestasi ditorehkan. Beragam rekor baru terukir. Tuan rumah tak ketinggalan, sukses sebagai penyelenggara sekaligus prestasi.
Setelah upacara pembukaan yang membahana, upacara penutupan tak kalah greget. Panitia bahkan menghadirkan Super Junior (SJ), grup K-pop papan atas.
Akar Sejarah K-pop
Kehadiran SJ membuat banyak muda-mudi dan remaja ibukota tertarik untuk mendatangi upacara penutupan AG XVIII. Dea Faradita, salah satunya. Gadis berusia 30 tahun amat ngebet ingin menyaksikan langsung aksi boyband favoritnya itu.
Namun, akhirnya Dea urung datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) lantaran kesulitan mendapatkan tiket sebagaimana para anggota ELF, fans fanatik SJ, lain. “Sistemnya crash terus. Lebih susah jadinya nonton (SJ) di Indonesia. Padahal kalau di luar Indonesia enggak pernah sesulit ini. Sebelum-sebelumnya pernah nonton di Bangkok (Thailand), Singapura, Malaysia, Makau, Seoul (Korea), kalau beli tiket online enggak pernah crash begitu,” ujar Dea, leader ELF Indonesia, kepada Historia.
Sebagai pentolan ELF, Dea tak luput jadi sasaran calo. “Yang menawarkan banyak. Tapi saya pribadi enggak rela saja. Ya harganya dari yang resminya Rp450 ribu jadi Rp1,5 juta. Yang Rp1 juta bisa jadi Rp3,5 juta. Yang Rp2 juta bisa jadi Rp5 juta! Teman-teman yang lain tetap banyak yang rela beli. Sebenarnya lewat online akhirnya juga bisa dapet satu tiket. Tapi kemudian saya kasih teman yang sama sekali belum pernah nonton SJ,” tandasnya.
Dea hanya satu contoh dari sejumlah fans K-pop yang gagal menyaksikan langsung idolanya di upacara penutupan. Masalah tiket online dan masih maraknya calo membuat ribuan fans SJ yang datang ke Kompleks GBK tapi tak kebagian tiket terpaksa hanya menonton dari layar besar yang di ada di beberapa titik.
Namun, meski diguyur hujan, mereka bertahan demi melihat idola K-pop mereka. Bukan hanya SJ yang dihadirkan panitia, namun juga boyband iKON. Kehadiran kedua boyband K-Pop asal Korea itu mesti diakui merupakan magnet terbesar dari closing ceremony AG XVIII.
Bukan hanya di Indonesia, fans fanatik K-pop menyebar sampai ke Eropa hingga Amerika. Jumlah artis K-Pop, baik di Korea sendiri maupun yang populer di dunia, sudah tak terhitung hingga kini.
“Memang banyak sekali saingannya di Korea sendiri. Nah, seperti dalam kompetisi olahraga saja, band-band atau artis K-pop yang terbaiklah yang akhirnya diambil pemerintah untuk diikutkan dalam promosi budaya. Oleh karenanya, K-pop kini sudah sangat dikenal secara global,” ujar peneliti sejarah modern Korean Culture Center Bae Dong-sun.
Meski begitu membanggakan K-pop, orang Korea mengakui bahwa akar K-pop bukan dari budaya asli mereka tapi percampuran budaya sejak akhir abad ke-19. Musik K-pop atau musik populer Korea berhulu dari musik atau lagu changga atau lagu-lagu yang aslinya berbahasa Inggris yang diperkenalkan misionaris Amerika Serikat Henry Gerhard Appenzeller.
Menurut Michael Fuhr dalam Globalization and Popular Music in South Korea: Sounding Out K-Pop, Appenzeller datang ke Korea bersama istrinya, Ella Appenzeller, serta empat rekannya: Horace N. Allen, Horace G. Underwood, William B. Scranton, dan Marion F. Scranton pada 5 April 1885. Mereka datang ke Semenanjung Korea untuk menyebarkan Protestan ke masyarakat Korea yang saat itu masih banyak memeluk paganisme.
Setahun kemudian di Seoul, Appenzeller bersama istrinya mendirikan Sekolah Paeje khusus untuk pria. Selain mengajarkan agama, Appenzeller juga mengadakan silang budaya lewat musik. Lagu-lagu yang banyak dikenal di Amerika, Inggris, dan Irlandia dimodifikasinya dengan lirik berbahasa Korea yang lalu dikenal sebagai Changga.
Dalam K-POP: A New Force in Pop Music terbitan Korean Culture and Information Service (2011), diungkapkan beberapa lagu seperti “Shimcheongga” sebenarnya adalah lagu Amerika “My Darling Clementine” yang liriknya diubah pakai bahasa Korea. Pun lagu “Londonberry Air” yang di-Korea-kan dengan judul “Danny Boy”.
Lagu-lagu changga (K-pop) kemudian jadi bentuk ekspresi rakyat Korea saat pendudukan Jepang (1910-1945) walau pengaruh Jepang kemudian juga menular ke musik Korea. Album K-pop pertama dalam sejarah, Yi Pungjin Sewol, yang dirilis duat artis Park Chae-seon dan Lee Ryu-saek pada 1925 berisi lagu-lagu berbahasa Korea yang diadaptasi dari lagu-lagu Jepang.
“Kembalinya” arwah musik Barat ke jiwa K-pop baru terjadi usai Perang Dunia II. Lantaran pada 1950-an semua hal berbau Barat dilarang di Korea Utara, K-pop kemudian hanya berkembang di Korea Selatan. Usai Perang Korea, K-pop berkembang pesat hingga menghadirkan sejumlah legenda seperti The Kim Sisters (1959), Add4 (1962), Han Dae-soo, Cho Yong-pil (1975), Lee Gwang-jo (1985), dan Seo Taiji & Boys (1992).
Seo Taiji & Boys menjadi penanda era baru K-pop, berbasis pada idol group. K-pop modern yang bergulir sejak 1990-an musiknya sangat kental dengan percampuran hip hop, rock, jazz, dan electro. K-Pop jenis inilah yang kita kenal di era milenial sekarang. K-pop “hibrid” ini bahkan digunakan dalam diplomasi antara Korea Selatan dan Korea Utara.
Baca juga:
Korea Bersatu di Arena
Korea Merajut Persatuan Lewat Olahraga
Di Balik Lagu dan Bendera Pemersatu