Masuk Daftar
My Getplus

Solusi Perkara Pengeras Suara di Masjid

Perkara pengeras suara sampai ke gubernur DKI Jakarta. Alim ulama punya ketentuan penggunaannya agar tak berlebihan.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 12 Apr 2018
Pengeras suara atau Toa di sebuah masjid.

WAKTU salat subuh belum tiba. Masih satu jam lagi. Tapi seorang pengurus Masjid Anyer, Jakarta, telah berada di masjid. Dia memutar kaset bersuara orang baca Alquran dan menghubungkannya dengan pengeras suara masjid. Suara kasetnya lantang dan menjangkau wilayah jauh. Lalu orang-orang di sekitar masjid bangun.

Seseorang menggerutu lantaran terganggu pengeras suara. Jauh sebelum waktu salat subuh. Gerutuannya merembet dari satu orang ke orang lainnya. Hingga sampai ke Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta.

Ali menyuruh stafnya datang ke Masjid Anyer dan menegur pengurus masjid. “Agar mereka mengikuti petunjuk Musyawarah Alim Ulama DKI pada 22-23 September 1973,” kata KH Djamil Latif, kepala wantor wilayah Departemen Agama DKI Jakarta, dikutip Kompas, 4 September 1976.

Advertising
Advertising

Baca juga: Azan Sebelum Ada Pengeras Suara

Sejak ramai penggunaan pengeras suara di masjid pada 1970-an, alim ulama telah lumayan tanggap. Mereka menyaring beragam pendapat masyarakat dari dua sisi, yang pro dan kontra. Juga mencari dalil-dalil agama untuk mengeluarkan rekomendasi seputar penggunaan pengeras suara di masjid kepada warga.

Musyawarah Alim Ulama DKI 22-23 September 1973 tak menolak penggunaan pengeras suara ketika azan dan untuk informasi penting bersifat darurat ke seluruh masyarakat. Tapi lain soal jika penggunaan pengeras suara melebihi batas. Misalnya untuk pidato, doa, dan zikir dari kaset pada dinihari sebelum subuh. Mereka nilai itu berlebihan.

Musyawarah Alim Ulama DKI mendasarkan pendapatnya pada empat hal. Pertama, doa, zikir, dan ibadah perlu tempat sunyi dan hening. Kedua, cerita Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi dan hidup pada abad ke-8 Masehi, melembutkan bacaan salat ketika Imam Syafi’i menginap tidur di rumahnya.

Ketiga, kitab Sunan wal Mubtada’at karya Syekh Muhammad bin Abdul Khadir al-Syaqairi. Di dalamnya termaktub peristiwa Nabi Muhammad menegur Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sepupunya, ketika membaca doa keras-keras. Keempat, Surat al-Israa ayat 110. Terjemahannya berbunyi, “Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu."

Baca juga: Awal Mula Pengeras Suara di Masjid

Empat dasar ini berujung kepada rekomendasi penggunaan pengeras suara di masjid. Bahwa warga hendaknya arif. Tahu saat dan tempat ketika menggunakan pengeras suara. Misalnya, jangan gunakan pengeras suara jauh sebelum subuh.

Kalau warga ingin menggunakan pengeras suara sebelum subuh, Musyawarah Alim Ulama DKI usul lima belas menit sebelum subuh pada hari biasa dan tiga puluh menit sebelumnya pada bulan puasa. Dan sebaiknya orang benar-benar yang membaca. Fasih lagi merdu, sehingga menyentuh hati warga untuk pergi ke masjid atau musala.

Tapi rekomendasi ini tak mengena ke warga. Tak ada konsekuensi apapun bagi warga jika mengabaikan atau menjalankannya. Maka penggunaan pengeras suara tak terkendali. Lebih lagi pertumbuhan masjid di Jakarta terus meningkat.

Baca juga: Ketika Siaran Azan Diprotes

Sidi Gazalba dalam Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam mencatat hanya ada 275 masjid di Jakarta pada 1957, kemudian meningkat jadi 904 masjid pada 1974. Ini belum termasuk surau atau musala. Satu sama lain saling berdekatan. Rapat dengan permukiman. Dan masing-masing mulai memasang pengeras suara.

Kafrawi M.A, ketua Dirjen Bimas Islam, menyambut baik penggunaan pengeras suara untuk sarana dakwah Islam. “Boleh lantang saat azan untuk masjid-masjid di kota, tapi setelah itu cukup didengar jamaah dalam masjid,” kata Kafrawi dalam Kompas, 30 Mei 1978.

Kafrawi membedakan penggunaan pengeras suara di kota dan desa. Kota sudah terlalu sumuk oleh kebisingan. Warga kota mendambakan kesuwungan. Di desa justru sebaliknya. Desa itu sepi. Maka pengeras suara bikin kehidupan agama desa lebih hidup.

Baca juga: Larangan Azan Picu Pemberontakan

Kafrawi bersama lembaganya kemudian menggelar lokakarya ketentuan penggunaan pengeras suara. Hasil lokakarya ini merupakan embrio Instruksi Dirjen Bimas Islam Depag bernomor KEP/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di tempat ibadah.

Isi Instruksi Dirjen Bimas Islam Depag hampir mirip dengan rekomendasi Musyawarah Alim Ulama DKI 1973, yaitu menekankan penggunaan pengeras suara hanya untuk azan. Kegiatan lain harus menggunakan salon di dalam masjid. Suaranya tidak perlu keluar. Tujuannya untuk menutup potensi antipati masyarakat terhadap dakwah.

Kafrawi berpesan jika masyarakat mematuhi anjuran ulama, buahnya adalah simpati. Pesan Islam pun sampai di hati. Dan Masjid bisa terisi penuh oleh jamaah.

TAG

islam masjid

ARTIKEL TERKAIT

Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Soerjopranoto Si Raja Mogok Dakwah Walisongo Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker Empat Bangunan Bersejarah Turki yang Dihancurkan Gempa Gempa Merusak Keraton Bupati dan Masjid Agung Cianjur Pencarian Islam Muhammad Ali