LITERATUR Cina klasik yang menyinggung soal kapan dan atau oleh siapa agama Islam disebarkan pertama kali ke Cina, amat sedikit. Celakanya, referensi yang minim itu justru menyuguhkan informasi yang saling tidak kongruen. Mari kita bedah satu per satu bahan-bahan yang acap dijadikan sandaran banyak sejarawan.
Pertama, “Catatan tentang Persatuan Ming Agung” (Da Ming Yi Tong Zhi). Jilid 90 buku yang dirampungkan pada 1461 ini menyatakan Islam mulai disebarkan ke Cina oleh salah satu sahabat Nabi Muhammad bernama Sa’ad Waqqas (sahaba Sa’ade Wangesi) pada masa Dinasti Sui pemerintahan Kaisar Wen (Kaihuang).
Sebelumnya, prasasti yang dipahat di batu oleh Wu Jian pada 1350 untuk Masjid Qingjing di Quanzhou (Qingjingsi Ji), menyuguhkan data yang lebih detail berupa tahun, jalur yang dipakai, daerah pertama, dan apa yang dilakukan Sa’ad guna menyebarkan Islam di Cina. Wu menyebut, Islam disebarkan ke Cina oleh Sa’ad ketika dia pada tahun ketujuh pemerintahan Wen (587) tiba di Guangzhou setelah mengarungi samudera lalu membangun Masjid Huaisheng yang kini masih kokoh berdiri itu.
Masalahnya, Wen hanya memerintah Dinasti Sui selama 20 tahun. Yakni dari 581 sampai 600. Artinya, Wen mulai menjadi penguasa Dinasti Sui sepuluh tahun sesudah Aminah binti Wahab melahirkan Muhammad pada 570. Sedangkan Islam, baru mungkin menyebar setelah Muhammad yang usianya 40 tahun, menerima wahyu perdana pada 610. Itu berarti, Wen sudah turun dari singgasananya sepuluh tahun sebelum Malaikat Jibril memerintahkan Muhammad yang sedang berkhalwat di Gua Hira untuk “Iqra’”. Dengan demikian, sulit diterima akal jika Sa’ad yang lahir pada 595, menyebarkan Islam sampai ke Cina pada era Wen padahal di Arab sendiri belum ada.
Meski begitu, para sejarawan istana Qing, dinasti terakhir sebelum Republik Cina berdiri, juga mengamini “teori Islam disebarkan ke Cina oleh Sa’ad pada masa Dinasti Sui pemerintahan Kaisar Wen” dengan memasukkannya ke dalam “Sejarah Ming” (Ming Shi), buku ratusan jilid berisi tarikh resmi Dinasti Ming yang penulisannya memakan waktu lebih dari 90 tahun.
Kedua, “Kitab Fujian” (Min Shu) yang ditulis He Qiaoyuan, sejarawan Dinasti Ming. He menulis, Nabi Muhammad “[...] mempunyai empat murid (mentu) yang pada masa Dinasti Tang pemerintahan Kaisar Gaozu [618–626] berkunjung ke Cina, lalu menyebarkan agama [Islam] di Cina. Murid pertama menyebarkan agama [Islam] di Guangzhou. Murid kedua menyebarkan agama [Islam] di Yangzhou. Murid ketiga beserta keempat menyebarkan agama [Islam] di Quanzhou hingga wafat dan dikubur di Gunung [Ling] ini.”
Persoalannya, Liu Zhiping dalam “Bangunan Islam Cina” (Zhongguo Yisilanjiao Jianzhu, 1985) menyimpulkan, dilihat dari arsitektur dan material yang dipakai, makam yang dimaksud He diperkirakan dibangun antara era Dinasti Song (960–1279) sampai Dinasti Yuan (1271–1368), tapi lebih condong ke yang disebut belakangan. Dan, menurut Wu Wenliang dalam edisi revisi “Batu Ukir Agama Quanzhou” (Quanzhou Zongjiao Shi Ke, 2005), Gunung Ling tak lain merupakan gunung yang oleh masyarakat era Dinasti Yuan disebut sebagai Gunung Lingtang, kompleks makam pedagang-pedagang Arab yang dikelola oleh Lin Zhiqi, orang zaman Dinasti Song. He sendiri nampaknya juga berusaha menamengi tesisnya dengan mengatakan sumbernya adalah “cerita kalangan Hui” (Huihui jia yan).
Ketiga, “Asal-usul Hui” (Huihui Yuanlai) yang dikutip oleh Zhang Xinglang dalam “Kumpulan Literatur Sejarah Transportasi Cina dan Barat (Zhong Xi Jiaotong Shiliao Huibian, 1930)” tak jelas siapa dan pada tahun berapa penulis “Huihui Yuanlai” menggarap artikel pendeknya. Begini rangkuman isinya:
Syahdan, pada tahun kedua pemerintahan Kaisar Taizong (628) Dinasti Tang, Kaisar bermimpi ada seorang yang mengenakan kain di kepalanya mengejar setan yang masuk ke istana. Kaisar mengumpulkan para menteri, menanyakan apa makna mimpinya tersebut. Ahli tafsir mimpi bilang, yang memakai kain di kepalanya adalah orang Arab; setan yang masuk ke istana artinya ada roh jahat yang gentayangan di istana dan hanya orang Arab yang mampu mengusirnya.
Kaisar lantas mengutus duta khusus untuk menghadap raja Arab. Sebagai balasannya, raja Arab mengutus tiga pakar agama Qais (Gaisi), Uwais (Wuwaisi), dan Qasim (Gexin). Qais dan Uwais meninggal dalam perjalanan. Hanya Uwais yang berhasil sampai ke Cina dan menghadap Kaisar. Kaisar menyambut dengan meriah, menanyakan perihal Islam, Qais menjawab dengan rinci. Kaisar gembira dan mengirim tiga ribu tentara ke Arab untuk ditukar dengan tiga ribu pasukan yang mengenakan kain di kepalanya. Tiga ribu tentara Arab ini beranak-pinak dan menjadi nenek moyang penganut Islam di Cina.
Ya, lebih menyerupai legenda ketimbang sejarah. Terlebih, apabila kita menelusuri literatur yang lebih awal, cerita tersebut akan terlihat mirip dengan kisah menyebarnya agama Buddha ke Cina yang terdapat dalam kata pengantar “Sutra Empat Puluh Dua Bagian” (Sishier Zhang Jing), kanon Buddhis pertama yang diterjemahkan ke bahasa Mandarin. Diceritakan di sana, Kaisar Ming dari Dinasti Han Timur (25–220) bermimpi melihat orang yang tubuhnya memancarkan cahaya bak kilau emas, terbang ke istana. Kemudian Kaisar meminta pendapat para menterinya untuk menafsirkan mimpinya. Mufasir mimpi bilang, itu adalah Buddha Gautama. Lalu kaisar mengutus duta khusus ke India... dan seterusnya.
Keempat, “Kitab Tang Lama” (Jiu Tang Shu) dan “Kitab Tang Baru” (Xin Tang Shu) yang masing-masing selesai dikompilasi pada 945 dan 1060 mengungkap bahwa Arab pernah mengirim utusan ke Cina pada tahun kedua pemerintahan Kaisar Gaozong (651) Dinasti Tang. Hingga kini, mayoritas sejarawan Cina menjadikan tahun itu sebagai tahun permulaan menyebarnya Islam ke Cina. Padahal, kita semua mafhum, pengiriman duta diplomatik tidak bisa disamakan dengan penyebaran agama tertentu.
Jadi, memang sulit sekali untuk mematok secara pasti tahun berapa dan atau oleh siapa Islam disebarkan ke Cina pertama kali. Sepanjang belum ada bukti yang sahih, jalan tengahnya ialah: karena hubungan ekonomi Cina dengan Arab sudah terjalin jauh sebelum Islam lahir, tidak kecil kemungkinan Islam dibawa masuk oleh saudagar muslim Arab ke Cina sejak periode awal pembentukannya yang bertepatan dengan era Dinasti Tang, lantas perlahan menyebar melalui pernikahan mereka dengan orang lokal.
Yang pasti, Islam tidak disebarkan ke Cina secara terstruktur, sistemis, dan masif. “Agama warisan”, istilah siswi sekolah menengah yang dulu sempat beken ini, nampaknya cukup pas untuk mendeskripsikan proses meluasnya penganut Islam di Cina yang sekarang lebih dari 30 juta jiwa.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.