Masuk Daftar
My Getplus

Kakek Buyut Sang Guru Bangsa Tjokroaminoto

Anak dan cucunya tak mengikuti jejaknya. Perjuangannya justru diteruskan cicitnya.

Oleh: Muhammad Husnil | 09 Apr 2015
Langgar Kyai Kasan Besari. Foto: dok. Claude Guillot.

PADA akhir 1820, Kasan Besari mendapatkan pengakuan dari penghulu Surakarta sebagai kepala desa Tegalsari. Pada saat itulah dia mendapat pengakuan baik secara agama maupun politik. Namun, pernikahannya dengan Murtosiyah tak melahirkan putra yang meneruskan perjuangannya menyebarkan Islam.

Baca juga: Guru Bagi Para Ulama dan Bangsawan

Sebagaimana para bangsawan keraton Kasunanan, putra-putra Kasan Besari dari jalur Murtosiyah ini mengabdi kepada pemerintahan Belanda. Salah satunya bernama Tjokronegoro. “Ia tidak menjadi kiai yang masyhur dan tidak memimpin sebuah pondok pesantren,” tulis Anhar Gonggong dalam HOS. Tjokroaminoto.

Advertising
Advertising

Namun, saat Perang Jawa (De Java Oorlog) meletus, menurut Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, Kyai Kasan Besari bersimpati terhadap Diponegoro, tapi tidak aktif memberi dukungan.

Baca juga: 

Panglima Wanita Perang Jawa
Perempuan Setelah Perang Jawa
Perang Jawa Libur Selama Ramadan

Kemungkinan besar karena beberapa anaknya menjadi pejabat pemerintah Belanda. Tjokronegoro sendiri tercatat pernah menjadi pejabat penting di lingkungan pemerintah Hindia Belanda yang pernah jadi bupati Ponorogo. Putra Tjokronegoro bernama Tjokroamiseno meneruskan jejak ayahnya dengan menjadi pamong praja dan pernah menjabat wedana di Kawedanan Kleco, sekarang masuk daerah Madiun, Jawa Timur. 

Setelah terputus dua keturunan, darah keislaman dan politik Kyai Kasan Besari mengalir lagi pada putra kedua Tjokroamiseno: Tjokroaminoto, kelak dikenal Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Berbeda dengan buyut dan orangtuanya, putra Tjokroamiseno itu terang-terangan melawan Belanda. Dia meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah, padahal setiap orang saat itu mengidamkan posisi tersebut. Setelah berhenti sebagai juru tulis patih di Ngawi, dia bekerja serabutan, mulai jadi karyawan di sebuah Firma Kooy & Co di Surabaya, calon masinis, ahli kimia di pabrik gula, dan menggeluti jurnalistik.

“Perpindahan pekerjaan itu lebih didorong oleh kehedaknya untuk mencari suasana yang lebih dapat membangun daya kreativitasnya,” tulis Anhar Gonggong. Pilihan pekerjaan dan jalan hidup itu membuatnya bertentangan dengan orangtua, bahkan mertuanya yang pangreh praja, sampai meminta anaknya, Suharsikin, bercerai dengan Tjokroaminoto. Tapi mereka berdua bergeming.

Meski menanggalkan kebangsawanannya, Tjokroaminoto dijuluki raja Jawa: raja tanpa mahkota. Dia juga menjadi tokoh Islam yang tenar dengan tulisannya, Islam dan Sosialisme dan menjadi pemimpin Sarekat Islam. Gaya kepemimpinannya membuat anak-anak muda seperti Sukarno, Semaoen, SM Kartasuwirjo, dan Tan Malaka menjadikannya guru. Bila sang kakek buyutnya, Kyai Kasan Besari jadi guru bagi para ulama, maka Tjokroaminoto adalah guru para pendiri bangsa. Baca juga: Rumah Raja Tanpa Mahkota

TAG

1820 kasan besari pesantren tegalsari kyai kasanbesari tjokroaminoto

ARTIKEL TERKAIT

Tjokroaminoto Jadi Hanoman Menghidupkan Lakon Raja Tanpa Mahkota Penistaan Agama Pada Masa Lalu Tuduhan Tak Terbukti, Tjokro Maafkan Darsono Ketika Tjokroaminoto Dituduh Korupsi Jejak Tafsir Kaum Ahmadi Rumah Raja Tanpa Mahkota Cerita Tentang Hamka Alkisah Gereja Tertua di Gaza Saul, Raja Israel yang Berakhir di Tangan Bangsa Filistin