Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto merupakan tokoh yang dikenal sebagai guru bangsa. Dia menempa tokoh-tokoh seperti Sukarno, Muso, Alimin hingga Kartosoewiryo kala mondok di rumahnya, di Surabaya. Selain sebagai guru politik yang jago berpidato, Tjokroaminoto ternyata juga seorang seniman.
Bakat seni Tjokroaminoto terasah ketika dia bersekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) Magelang. Selain mendapat pendidikan sebagai calon pegawai pemerintahan, Tjokroaminoto juga dilatih berbagai kesenian Jawa. Pelajaran khusus bagi para pelajar Jawa di OSVIA meliputi sastra, karawitan hingga tari-tarian Jawa.
"Adalah suatu aib bagi seorang priyayi lulusan OSVIA, bila tidak mahir menari Jawa, yang disebut beksa. Dan Oemar Said Tjokroaminoto memang mahir sekali dalam hal tari-tarian ini," sebut Subagiyo Ilham Notodijoyo dalam Harsono Tjokroaminoto: Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah.
Baca juga: Menghidupkan Lakon Raja Tanpa Mahkota
Pada 1902, Tjokroaminoto lulus dari OSVIA. Dia kemudian menjadi pegawai pamongpraja sebagai juru tulis patih di Ngawi, Jawa Timur.
"Akan tetapi seperti halnya dengan Tirto Adhi Soerjo, ia tidak menyukai pekerjaan tersebut, sehingga ia keluar dari dinas pamongpraja pada tahun 1905, kemudian menggabungkan diri pada suatu pertunjukan wayang orang," tulis Hartono Kasmadi dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah.
Pada 1907, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja di firma Kooy & Co. Kegemaran berkesenian Jawa, terutama pada pertunjukan wayang orang, terus ia bawa. Ia seringkali membawa anak dan para pelajar yang mondok di rumahnya untuk berlatih wayang orang.
"Kalau saya tidak salah ingat, ketika saya masih berusia sekitar 5-6 tahun, di Surabaya, ayah bersama-sama para pelajar yang mondok di rumah, secara teratur entah seminggu sekali atau seminggu dua kali, mengadakan latihan tari-tarian wayang bertempat di Taman Seni Panti Harsoyo, sekarang barangkali taman ini telah berubah menjadi hotel," ungkap Harsono Tjokroaminoto dalam Menelusuri Jejak Ayahku.
Baca juga: Rumah Raja Tanpa Mahkota
Ketika bermain dalam pertunjukan wayang orang, Tjokroaminoto sering memerankan tokoh Hanoman. Sosok kera putih sakti itu adalah tokoh wayang idolanya.
"Jika ikut dalam suatu pertunjukan wayang orang, maka kesukaan almarhum dulu ialah menjadi Hanoman. Dalam memilih peranan itu kiranya beliau ingin memuntahkan isi jiwanya dalam menghadapi perjuangan bangsanya,” tulis Amelz dalam H.O.S Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya.
Dalam kisah Ramayana, Hanoman bersama pasukan wanara diceritakan berhasil mengalahkan banyak tentara Dasamuka dalam satu peperangan. Dasamuka sendiri merupakan tokoh yang oleh TJokroaminoto dianalogikan sebagai penjajah.
"Jadi rupanya yang menjadi latar belakang ayah menggemari peran sebagai Hanoman tidak lain adalah karena Hanoman itu, bagi beliau, merupakan simbol di dalam perjuangannya membela bangsa Indonesia dari penindasan penjajah Belanda," kata Harsono.
Baca juga: Ketika Tjokroaminoto Dituduh Korupsi
Selain itu, Tjokroaminoto mengibaratkan Dasamuka sebagai kapitalis yang harus dihancurkan. Maka pertarungan Hanoman dan Dasamuka relevan dengan semangat perjuangannya.
"Bagi ayah, pertarungan ini merupakan perlambang dari perjuangan beliau dalam usaha rakyat Indonesia menghancurkan penjajah yang angkara murka, yang bersifat kapitalistik dan imperialistis itu," terang Harsono.
Selain pandai bermain dalam pertunjukan wayang orang sebagai Hanoman, Tjokroaminoto juga jago menyanyikan tembang-tembang Jawa serta membuat sajak dan pantun Jawa. Keluarganya pun juga dekat dengan kesenian meskipun mereka berbeda selera. Istrinya, Soeharsikin, lebih memilih piano daripada gamelan. Sedangkan anak-anak Tjokroaminoto seperti Oetari, Anwar Tjokroaminoto, dan Harsono Tjokroaminoto juga pandai bermain alat musik dan menyanyi.