Masuk Daftar
My Getplus

Gedong Bagoes Oka Menapaki Jalan Gandhi

Tokoh pembaharu Hindu pengikut setia Mahatma Gandhi. Aktif dalam isu perdamaian agama-agama dan hak asasi manusia.

Oleh: Andri Setiawan | 26 Des 2020
Gedong Bagoes Oka dalam meterai Pos Indonesia 2004. (Pos Indonesia/Wikimedia Commons).

Ni Wayan Gedong tak beruntung ketika berkesempatan mengunjungi India pada 1953. Tokoh panutannya, Mahatma Gandhi, telah meninggal lima tahun sebelumnya. Alhasil, Gedong tak bisa bertemu langsung tokoh yang banyak menginspirasinya itu.

Kendati begitu, Gedong yang lahir di Karangasem, Bali pada 3 Oktober 1921 sebetulnya termasuk orang beruntung. Lahir dari keluarga pejabat kolonial, Gedong punya kesempatan yang tak dimiliki kebanyakan anak sebayanya, yakni mendapat pendidikan layak. Gedong bersekolah di Holands Inlandsche School (HIS) Klungkung, lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Yogyakarta dan Algemeene Middelbare School (AMS) Batavia.

Meski menikmati banyak keistimewaan, Gedong didik keras oleh ayahnya, I Wayan Komang, yang merupakan sekretaris Karangasem Raad. Komang termasuk orang yang menentang sistem kasta di Bali. Pendirian ini kemudian ditanamkannya pada Gedong sehingga membentuk karakter Gedong menjadi seorang yang egaliter.

Advertising
Advertising

Baca juga: Mahatma Gandhi, Pejuang tanpa Kekerasan

Selesai menempuh pendidikannya, Gedong mengajar di beberapa sekolah di Bogor, Singaraja, dan Denpasar. Ia juga sempat menjadi kepala sekolah SMA pertama di Bali, SMA Negeri Singaraja (1956-1963). Sastrawan Putu Wijaya dan aktor Ikranegara adalah termasuk murid-muridnya.

Pada 1943, Gedong menikah dengan I Gusti Bagoes Oka, sekretaris di Paruman Agung yang kemudian menjadi wakil gubernur Provinsi Sunda Kecil. Semenjak menikah, Ni Wayan Gedong menggunakan nama Gedong Bagoes Oka.

“…penambahan Bagoes Oka pada namanya sendiri menjadi tanda bahwa ia ingin sejajar dengan suaminya, dan tetap dipakainya nama Gedong sebagai tanda bahwa ia juga ingin mempertahankan jati diri dan kepribadiannya sendiri,” tulis Frederik Lambertus Bakker dalam The Struggle of the Hindu Balinese Intellectuals.

Pada 1953, Gedong melakukan perjalanan ke Eropa dan India. Di India, ia mengunjungi Gandhi Ashram yang didirikan Mahatma Gandhi sejak 1915. Gandhi merupakan salah satu tokoh panutan Gedong, terutama karena ajaran Swadeshi, Ahimsa, Satya dan Karuna-nya.

Meski tak bertemu Gandhi karena telah meninggal pada 1948, Gedong bertemu dengan Vinoba Bhave (1895-1982) yang dianggap sebagai ahli waris spiritual Gandhi. Gedong kemudian menghabiskan waktunya belajar di Ashram Gandhi selama di India.

Baca juga: Ketika Islam dan Hindu Bertemu dalam Sikh

Ajaran-ajaran Gandhi kemudian disebarkan Gedong ketika ia pulang ke Indonesia. Pada 1976, ia mendirikan Ashram Gandhi Candidasa di bawah Yayasan Bali Canti Sena yang ia bangun pada 1970. Meski mengikuti model Ashram Gandhi di India, ashram ini memadukannya dengan keadaan masyarakat Hindu Bali.

Ashram Gandhi Candidasa tidak hanya untuk mereka yang beragama Hindu. Semua orang diterima. “Ashram ini memang tidak mengenal perbedaan suku dan agama. Siapa yang berkenan ikut dapat masuk ke situ,” tulis Egy Massadiah dkk. dalam Srikandi: Sejumlah Wanita Indonesia Berprestasi.

Bahkan, di ashram ini pula tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid, YB Mangunwijaya, Th. Sumartana dan tokoh-tokoh lintas agama lain sering bertemu dan berdiskusi dengan Gedong. Ashram Gandhi kemudian juga didirikan di Denpasar dan Yogyakarta.

Sebagai pluralis, Gedong telah malang melintang di bidang kemanusiaan dan perdamaian agama-agama baik di tingkat nasional maupun internasional. Gedong pernah menjadi direktur eksekutif Konferensi Asia untuk Perdamaian dan Agama. Pada 1994, Gedong menerima Jamnalal Bajaj Peace Award dari India karena telah mempromosikan ajaran Gandhi di luar India.

Gedong juga memiliki perhatian terhadap isu perempuan dan anak. Ia merupakan ketua Yayasan Kosala Wanita, yang bergerak dalam bidang kesehatan ibu dan anak, periode 1956-1963. Gedong juga merupakan anggota Komisi Hak-hak Asasi Wanita Asia.

Baca juga: Pasang Surut Hubungan Islam-Hindu di Bali

Di Bali, Gedong termasuk salah satu pembaharu Hindu Bali. Dalam tulisannya “Spiritualitas Baru dalam Agama Hindu” yang termuat dalam Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, misalnya, Gedong mengkritik masyarakat Hindu yang mementingkan ritual daripada spiritual. Hal itu menurutnya perlu dibenahi karena akan memberatkan rakyat kecil.

“Perubahan hanya dapat diharapkan dari kehidupan spiritual kalangan terpelajarnya. Tekanan beban upacara yang dirasakan oleh cendekiawan Hindu mendorong mereka untuk memperdalam isi dari kitab-kitab suci demi menjernihkan pengertian mereka tentang agama sendiri,” tulis Gedong.

Kegusaran Gedong tak hanya terhadap Hindu Bali, tapi terhadap turisme Bali yang semakin berkembang pesat. Wisata budaya dan agama, di satu sisi memberi penghidupan, di sisi lain menggeser spiritualitas menjadi hanya sebatas komoditas. “Di sinilah letak tantangan yang berat bagi mereka yang mendambakan kehidupan rohani Hindu,” ungkapnya.

Di dunia politik, Gedong pernah menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (1968-1972). Setelah Orde Baru lengser, Utusan Golongan di MPR yang sebelumya didominasi Golongan Karya (Golkar) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kemudian menjadi lebih beragam. Dari golongan agama, budayawan, hingga penyandang disabilitas. Gedong kemudian menjadi anggota Utusan Golongan Hindu MPR (1999-2002).

Baca juga: Konflik Muslim-Hindu India dari Masa ke Masa

Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Volume 3, pada 1950-an Gedong sangat dekat dengan tokoh-tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), mulai dari Sutan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, hingga Soedjatmoko.

“Di masa tuanya, bila datang ke Jakarta, Ibu Gedong saya lihat pasti mampir ke rumah Soebadio Sastrosatomo dan di sana bertemu dan berdiskusi dengan kawan-kawan sosialis,” tulis Rosihan.

Gedong Bagoes Oka meninggal pada 14 November 2002 di Jakarta. Wajahnya kemudian muncul pada meterai Pos Indonesia keluaran 2004. Sepanjang hidupnya, Gedong telah menerjemahkan beberapa buku Gandhi seperti From Yeravda Mandir, Ashram Observances in Action, dan otobiografi Mahatma Gandhi.

TAG

hindu bali mahatma gandhi

ARTIKEL TERKAIT

ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Pulangnya Keris Pusaka Warisan Puputan Klungkung Agung Jambe Dibunuh dan Kerisnya Dirampas Pembantaian di Puri Cakranegara Banjir Darah di Puri Smarapura India, Bharat, dan Hindustan Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi Pesona dari Desa Penglipuran Sanghyang Dedari, Pertunjukan Penolak Marabahaya dari Bali Menyelundupkan Seniman Bali