“Galilah yang lama, sesuaikan dengan zaman dan lingkungan.” Demikianlah kata-kata mutiara yang terlontar dari mulut Ashin Jinarakkita, biksu yang membangkitkan agama Buddha yang inklusif di Indonesia modern.
Ashin dianggap sebagai biksu pertama Indonesia setelah 500 tahun keruntuhan agama Buddha pada era Majapahit. Sejak perkembangan Islam di Nusantara begitu pesat, lambat laun agama Hndu dan Buddha tersisih. Sebagian yang bertahan, mundur ke daerah pegunungan seperti ke Tengger, Bromo dan juga di Pulau Bali. Sepanjang era kolonialisme, agama Buddha lebih dikenal sebagai agama orang Tionghoa bersama Konghucu dan Taoisme.
Pasca-Kemerdekaan, agama Buddha perlahan kembali memperlihatkan eksistensinya sejak kemunculan Ashin Jinarakkhita. Jinarakkhita memulainya dengan ceramah-ceramah Dharma ke berbagai daerah serta membuat agama Buddha lebih terbuka bagi semua etnis.
Baca juga: Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya
Ashin lahir di Bogor pada 23 Januari 1923 dengan nama Tee Boan An. Tak seperti teman-teman sebayanya, Tee suka mengunjungi klenteng dan membaca tentang Ketuhanan. Saat itu biksu yang tinggal di klenteng tidak memberi ceramah Dharma. Namun, Tee tertarik dengan Buddhisme karena mendengar kidung-kidung dan tentang vegetarianisme.
Menurut Jack Meng-Tat Chia dalam Monks in Motion: Buddhism and Modernity Across the South China Sea, ketika Jepang menduduki Indonesia dan sekolah-sekolah ditutup, Tee bergabung sebagai relawan dapur umum. Namun, ketertarikannya terhadap spiritualitas membawanya melakukan perjalanan ke Solo dan Yogyakarta. Ia kemudian berkenalan dengan anggota-anggota teosofi.
Pasca-Kemerdekaan, Tee berkesempatan kuliah di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Alam Universitas Groningen, Belanda. Di negeri kincir angin, ia bergabung dengan loji teosofi lokal. Tee juga mempelajari bahasa Pali dan Sansekerta. Di tahun kedua kuliahnya, ia sudah memberi kuliah di pertemuan-pertemuan teosofi di Belanda, Prancis, dan Inggris.
“Kemudian dia mulai mempelajari ajaran agama-agama besar dunia dan menjadi tertarik secara khusus pada agama Buddha. Minatnya yang semakin besar pada Buddhisme membawanya pada keputusan untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk mempelajarinya, dan menghentikan studinya di bidang kimia,” tulis Jack Meng-Tat Chia.
Baca juga: Tempat Pendidikan Buddha di Nusantara
Pada 1951, Tee kembali ke Indonesia dan mulai menyebarkan Buddhisme. Ia kemudian menjadi wakil ketua Pemuda Teosofi dan mendapat banyak undangan untuk memberi kuliah di berbagai daerah di Jawa. Misi awalnya adalah membangun komunitas Buddha di klenteng-klenteng, di mana ceramah Dharma tak pernah diadakan. Jumlah pengikut Tee makin hari makin banyak.
Pada 1953, Tee menginisiasi diselenggarakannya perayaan Waisak di Candi Borobudur. Ia membuat candi Buddha terbesar di Asia Tenggara itu kembali aktif menjadi situs agama Buddha, bukan sekedar bangunan mati. Waisak pertama di Candi Borobudur sejak Indonesia merdeka kemudian berhasil diadakan pada 22 Mei 1953. Pesertanya berasal dari seluruh Indonesia dan perwakilan dari Singapura, Thailand, Burma, Sri Lanka hingga India.
Pada tahun yang sama, Tee belajar Dharma pada biksu Pen Ching, pendiri Vihara Kong Hoa Sie, Jakarta. Oleh biksu asal Fujian, Tiongkok ini dia ditahbiskan dan mendapat nama baru yakni Ti Chen (Ti Zheng).
Menurut Edij Juangari, tak lama kemudian Ti Chen berguru ke Burma. Ia mendapat bimbingan dari biksu U Nyanuttara Sayadaw. Pada 23 Januari 1954, ia ditahbiskan secara Theravada (mahzab Buddha tertua) menjadi seorang biksu. Nama barunya, Ashin Jinarakkhita.
Baca juga: Kota Seribu Biksu
Ashin sempat menjalani kehidupan biksu di Rangon. Setelah mendapat bimbingan Mahasi Sayadaw selama beberapa bulan, akhirnya ia memutuskan pulang ke tanah air pada 17 Januari 1955.
“Ia merupakan putra bangsa Indonesia pertama yang menjadi biksu sejak berakhirnya Dinasti Majapahit. Kala waktu berangkat ke Burma, ia adalah seorang Sramanera Ti Chen yang ditahbiskan mengikuti tradisi Mahayana, kini ia pulang mengenakan jubah kuning, jubah dari jaman sang Buddha yang masih dipertahankan tradisi Theravada,” tulis Edij Juangari dalam Menabur Benih Dharma di Nusantara: Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita.
Di Indonesia, Ashin memulai pengabdian serta ceramah-ceramah Dharma ke berbagai daerah serta mendatangi komunitas-komunitas kepercayaan seperti di Dieng dan Bromo. Meski membawa tradisi Theravada dari Burma, dia terbuka terhadap pembauran tradisi yang telah ada di Nusantara.
Menurut I. Wibowo dan Thung Ju Lan (ed.) dalam Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998, Ashin adalah orang yang telah mengindonesiakan agama Buddha. Ia menggali konsep Adi Buddha yang terdapat dalam teks Buddhis Jawa yang berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.
Baca juga: Sejarah Vihara, Tempat Belajar Para Biksu
Pada Juli 1955, Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang pada 1979 berubah menjadi Majelis Buddhayana Indonesia. Ia juga mendirikan Sangha Suci Indonesia yang pada 1963 menjadi Maha Sangha Indonesia.
Meski dalam perjalanannya terjadi pro-kontra terhadap ajaran Ashin, ia adalah tokoh penting dalam sejarah Buddha di Indonesia modern. Ashin meninggal pada 18 April 2002 di Jakarta. Sesuai wasiatnya, ia dikremasi di Lampung, di pulau di mana Bhuddisme berkembang pesat pada era Sriwijaya. Selain itu, ia juga ingin mempromosikan kembali agama Buddha di luar Jawa sekaligus menghindari Jawasentrisme. Pada 2005, Jinarakkhita dianugerahi Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.