Ketika Napoleon Kena Batunya di Rusia
Ada yang ingin balik ke zaman Napoleon tapi lupa bagaimana ending-nya, kata Presiden Putin menyindir balik Presiden Macron.
SEBAGAI seorang presiden dari satu-satunya negara Uni Eropa yang memiliki nuklir, Emmanuel Macron membuka opsi deterrence atau penggentar untuk menangkal Rusia yang dianggap sebagai ancaman bagi Eropa. Rusia kini masih bertahan dengan invasinya ke Ukraina sejak Februari 2022.
Pada Rabu (5/2/2025) lalu, Presiden Macron akan membuka opsi dan pembahasan untuk memperluas program penangkalan nuklir. Tidak hanya dengan para sekutunya di Eropa, Macron juga berharap Amerika Serikat mendukungnya untuk “mengeroyok” Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin yang dituding sebagai ancaman bagi Eropa mencoba meresponsnya dengan kepala dingin. Dengan setengah menyindir, Putin mengingatkan Prancis dan siapapun tentang kegagalan memalukan Napoleon Bonaparte yang kondang itu di tanah Rusia pada 213 tahun lampau.
“Ada orang yang masih belum bisa duduk tenang. Masih ada yang ingin kembali ke masa-masa Napoleon, (namun) lupa bagaimana akhirannya,” cetus Putin, dikutip Euronews, Kamis (6/2/2025).
Fakta sejarah berbicara, Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte menginvasi Rusia lewat Campagne de Russie (24 Juni-24 Desember 1812) dan menemui kegagalan. Padahal, pasukannya tak hanya berisi Grande Armée yang kondang tetapi juga dibantu sekutu-sekutunya: Konfederasi Rhine, Swiss, Kerajaan Italia, Kerajaan Napoli, Kerajaan Warsawa, Kerajaan Prusia, dan Kekaisaran Austria.
Baca juga: Protes Anti-NATO di Masa Lalu
Kedigdayaan Napoleon Kandas di Rusia
Di atas sebuah rakit khusus di Sungai Nieman, kota Tilsit (kini kota Sovetsk), pada 7 Juli 1807 Kaisar Napoleon akhirnya bersua untuk kali pertama dengan Tsar Rusia, Aleksandr I, usai mengakhiri Pertempuran Friedland (14 Juni 1807). Pertemuan keduanya menghasilkan Traktat Tilsit yang diteken bersama Napoleon dan Aleksandr I serta Raja Prusia Friedrich Wilhelm III yang menyusul ikut menandatanganinya dua hari berselang.
Traktat itu berisi keterikatan aliansi antara Rusia dan Prusia dengan Prancis yang ingin menguasai daratan Eropa. Namun aliansi yang rapuh itu perlahan terkikis setelah Rusia mulai murka gegara Napoleon mendirikan Duchy of Warsaw, kerajaan boneka di Polandia yang dekat perbatasan Rusia.
Rusia “membalas” dengan tetap berhubungan dagang dengan Inggris, padahal dalam traktat aliansi itu Napoleon ingin para sekutunya menerapkan blokade ekonomi kontinental pada musuh bebuyutannya. Pada 1810, Tsar Aleksandr I memutuskan untuk keluar dari sistem blokade kontinental dan sepenuhnya meningkatkan hubungan dagang demi memperbaiki perekonomian Rusia yang tengah lesu.
Baca juga: Napoléon Sang Pahlawan Revolusi Prancis
Dari tempat peristirahatannya di Wilkowiszky, Polandia (kini Vilkaviškis, Lithuania) pada 21 Juni 1812, Napoleon pun mendeklarasikan perang pada Rusia.
“Di Tilsit, Rusia mengikrarkan aliansi abadi bersama Prancis dan berperang melawan Inggris. Sekarang mereka melanggar ikrarnya...Apakah mereka kira bahwa kita telah merosot? Apakah kita bukan lagi para prajurit (Pertempuran) Austerlitz?” seru Napoleon kepada para prajurit dan perwiranya, dikutip Henry Tyrell dalam History of the Russian Empire: From Its Foundation, by Ruric the Pirate, to the Accession of Empreror Alexander II.
Meski urusannya di Spanyol dan Portugal pada Perang Semenanjung Iberia (1807-1814) belum rampung, Napoleon mengumpulkan pasukan sebanyak yang ia bisa di Polandia untuk merencanakan invasi raksasanya ke Rusia dengan 685 ribu prajurit. Napoleon memecahnya menjadi tiga bagian yang berkekuatan lebih dari 420 ribu prajurit: pasukan utama di bawah Napoleon langsung berada di garis utara beserta pasukan kedua di bawah komando Eugène Rose de Beaurharnais di garis tengah serentak maju menuju Vilnius. Adapun pasukan ketiga di bawah pimpinan sang adik, Jérôme Bonaparte, pada garis selatan maju menuju Minks. Sedangkan sejumlah korps Prusia disiagakan di sayap kiri (utara) dan korps-korps Austria disiagakan di sayap kanan (selatan).
Rusia jelas kalah jumlah. Tetapi setidaknya mereka sudah lebih dulu mengamankan Perang Finlandia (1808-1809) di utara dan Perang Rusia-Turki (1806-1812) agar konsentrasi Tsar Aleksandr I tak terpecah pada tiga front. Sebab, Rusia hanya berkekuatan 220 ribu prajurit kekaisaran yang dipecah jadi tiga pasukan untuk bertahan: Pasukan Barat ke-1 di bawah Marsekal Barclay de Tolly, Pasukan Barat ke-2 pimpinan Pangeran Pyotr Bagration, dan Pasukan Kavaleri Cadangan ke-3 di bawah Jenderal Aleksandr Tormasov.
Baca juga: Kala Napoléon Dianggap Putra Nabi
Ketiga pasukan Rusia itu kemudian memang terus mundur dalam beberapa pertempuran kecil di sekitar Vilnius dan Vitebsk. Tetapi seiring balik kanan, mereka menjalankan taktik bumi hangus lahan-lahan pertanian hingga pergudangan pangan. Akibatnya, pasukan Prancis harus memperlambat ofensifnya demi menunggu suplai logistik yang terkendala kondisi geografis menyulitkan. Itu pun bisa tiba jika tak diganggu serangan-serangan hit-and-run partisan kavaleri ringan Cossacks.
Clash besar pertama akhirnya pecah di Pertempuran Smolenks (16-18 Agustus 1812). Pasukan utama Napoleon diladeni pasukan utama Barclay de Tolly dan Pangeran Bagration di sana.
“Smolenks adalah rute utama menuju Moskow dari jalur barat. Kotanya turut diperkuat 38 menara bastion dan dinding batu kuno. Oleh karenanya Napoleon mengantisipasi pertempuran di luar kota agar kotanya tidak mengalami kehancuran,” ungkap Richard K. Riehn dalam 1812: Napoleon’s Russian Campaign.
Kemenangan akhirnya jatuh ke tangan Napoleon setelah tiga hari pertempuran alot yang memakan korban jiwa sekitar 10 ribu pasukan Prancis dan 14 ribu serdadu Rusia. Tetapi, sisa pasukan Bagration dan Barclay mundur sembari membumihanguskan segala sesuatu di Smolenks untuk menghambat ofensif Napoleon ketimbang terkepung.
“Takkan sampai satu bulan, kita akan tiba di Moskow; dalam enam pekan kita akan meraih perdamaian,” kata Nepoleon optimis pasca-Pertempuran Smolenks, dikutip Sidney John Watson dalam By Command of the Emperor: A Life of Marshal Berthier.
Namun, tantangan pasukan Napoleon bertambah, sebab musim gugur yang lebih dingin suhunya di Rusia kian menjelang. Belum lagi situasi jalur suplai logistik di garis belakang yang terus-menerus diganggu kavaleri Cossacks membuat Napoleon tak bisa bergerak lebih cepat meski hanya berjarak 370 km dari Moskow, yang tetap menjadi jantung spiritual Rusia meski seabad sebelumnya Kekaisaran Rusia memindahkan pusat pemerintahannya ke St. Petersburg.
Baca juga: Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz
Tsar Aleksandr I pun bertitah untuk mempertahankan mati-matian tanah airnya dengan mengobarkan semangat peperangan kepada para perwiranya karena mereka berhadapan dengan Napoleon yang dianggap sebagai anti-Kristus. Oleh karenanya, Tsar Aleksandr I memanggil Mikhail Kutuzov, jenderal bermata satu –yang dikalahkan Napoleon pada Pertempuran Austerlitz (2 Desember 1805)– untuk mengemban tugas panglima tertinggi. Pangeran Bagration dan Marsekal Barclay akan berada di bawah komandonya. Kutuzov ingin membalikkan keadaan agar Rusia tidak melulu jadi pihak yang bertahan yang berujung pada menukiknya moril prajurit.
Kutuzov pun menjajal kekuatannya dengan menghadapi Napoleon di Pertempuran Borodino (7 September 1812). Pertempuran ini jadi palagan paling berdarah dan penentuan di gerbang kota Moskow.
Napoleon sendiri kekuatannya telah berkurang. Dari hampir setengah juta pasukannya, telah berkurang hampir setengahnya. Selain karena pertempuran, juga penyakit dan kelaparan akibat kesulitan mendapat suplai logistik (amunisi, makanan, obat-obatan) dan taktik bumi hangus Rusia. Napoleon hanya bisa mengerahkan sekitar 135 ribu serdadunya untuk melawan 121 ribu prajurit Rusia di bawah Kutuzov.
“Dari semua 50 pertempuran yang saya jalani, yang paling buruk adalah pertempuran yang saya lakukan di Borodino,” kenang Napoleon.
Pertempuran Borodino jadi yang paling berdarah sepanjang kampanye Napoleon ke Rusia. Borodino direbut Napoleon lewat serangan frontal dengan harga begitu mahal: sekitar 42 ribu serdadunya kehilangan nyawa atau terluka, 52 di antaranya merupakan jenderalnya. Sementara, Kutuzov kehilangan 53 ribu prajurit gugur dan terluka, di antaranya 27 jenderalnya.
Baca juga: Napoleon yang Sarat Dramatisasi
Meski begitu, Moskow sudah di depan mata. Tak ayal, Napoleon menyerukan pasukannya untuk maju menuju Moskow pada 15 September 1812. Namun, sial bagi Napoleon karena sipil maupun militer Rusia di Moskow sudah lebih dulu dievakuasi. Kutuzov mundur jauh ke arah selatan sehingga menyisakan para narapidana yang dibebaskan dari sejumlah penjara dengan tugas membakar kota Moskow hingga dua per tiga kotanya musnah dilalap api atas perintah Gubernur Jenderal Moskow, Pangeran Fyodor Rostopchin.
Kendati 36 hari menduduki Moskow, pasukan Napoleon tak bisa menemukan makanan dan obat-obatan. Mereka hanya bisa menjarah harta-harta yang tersisa tanpa suplai makanan. Napoleon lalu mengirimkan kurirnya ke St. Petersburg untuk menyampaikan tawaran perdamaian. Namun Tsar Aleksandr I cuek. Tak sekalipun ia sudi mengirimkan jawaban pada Napoleon yang sudah dianggapnya anti-Kristus.
Napoleon akhirnya “menyerah” dengan meninggalkan Moskow pada 19 Oktober 1812. Dalam perjalanan mundurnya, salju sudah turun, bahkan lebih menantang ketimbang kampanye ofensif sebelumnya karena berpotensi pasukannya terekspos untuk terkepung.
“Kini giliran momen kampanye saya dimulai,” ungkap Tsar Aleksandr I, dikutip David G. Chandler dalam On the Napoleonic Wars: Collected Essays.
Kutuzov membagi lagi pasukannya di utara dan selatan untuk menguber gerak mundur Napoleon menuju Polandia via Vyazma dan Smolenks. Dari sejumlah pertempuran kecil, akhirnya palagan brutal lain pecah di Pertempuran Berezina (26-29 November 1812) ketika pasukan Napoleon yang kabur tunggang-langgang berusaha menyeberangi Sungai Berezina dekat kota Studienka dengan jembatan buatan di tengah suhu minus 30 derajat celcius. Sekira 40 ribu pasukan Prancis yang tersisa mesti mati-matian membangun jembatan dan menyeberangi sungainya sembari menahan gempuran 64 ribu pasukan Rusia pimpinan Jenderal Peter Wittgenstein dan Jenderal Pavel Chichagov.
“Jalan-jalan penuh dengan jasad-jasad berserakan. Penderitaan kami melebihi bayangan apapun,” kenang Jenderal Jean Rapp, ajudan Napoleon dalam memoarnya, First Aide-de-Camp To Napoleon.
Dalam keadaan terjepit, zeni Prancis-Belanda merobohkan jembatan buatanya pada malam terakhir. Ribuan pasukan Prancis yang tertinggal, segera jadi mangsa kavaleri Cossacks di bawah komando Chichagov.
Setibanya di Vilna, Napoleon dengan beberapa sisa Garda Kekaisaran memilih kabur meninggalkan pasukan utamanya yang tersisa 20 ribu serdadu untuk balik kandang ke Prancis. Tak terhitung berapa nyawa sipil yang menjadi korban. Di pihak Prancis, sekitar 375 ribu serdadunya tewas dan lebih dari 100 ribu tertawan.
“Korps Ke-2 dan Korps Ke-3 tak lebih dari sekadar kenangan. Bahkan korps terakhir hanya menyisakan 60 prajurit,” tukas Marsekal Michel Ney, Panglima Korps ke-3 Grande Armée, tentang salah satu bencana militer terbesar itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar