Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz
Pantang surut dikeroyok koalisi Eropa, Napoleon meracik sistem, formasi, dan strategi yang masih dipakai militer saat ini.
HUJAN salju dan kabut menyamarkan persiapan La Grande Armée, pasukan tersohor Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte (diperankan Joaquin Phoenix) di Desa Telnitz, wilayah Kekaisaran Austria pada pagi 2 Desember 1805. Sesaat setelah pengintai melihat pergerakan pasukan Austria, Napoleon segera menyiagakan para jenderalnya.
Napoleon sengaja hanya menempatkan satu resimen di Dataran Tinggi Pratzen. Pasukannya yang lebih besar plus meriam-meriamnya bersembunyi di balik pepohonan di lembah Goldbach di sisi kanan desa.
Tak berapa lama, infanteri dan kavaleri musuh menyerbu kubu pertahanan pasukan Prancis yang berkemah di desa. Pertempuran Austerlitz pun dimulai.
“Kerahkan infanteri! Ambil posisi mereka di dataran yang lebih tinggi. Cepat!” seru Napoleon.
Serentak, barisan infanteri yang bersembunyi di lembah Goldbach bergerak cepat untuk menyerbu dari sisi belakang musuh. Pasukan Austria yang awalnya di atas angin pun mulai kewalahan.
“Pasukan kavaleri dari (sisi) barat, tembus barisan samping mereka!” Napoleon memerintahkan.
Baca juga: Napoleon yang Sarat Dramatisasi
Secepat kilat, pasukan berkuda Prancis ikut keluar dari pepohonan untuk memberi kejutan tak terduga bagi Austria. Pasukan musuh pun terjepit. Mereka tak bisa mundur lantaran saat kabur, ratusan meriam Napoleon menembaki dan menghancurkan lapisan es di bawah pasukan Austria. Mereka kemudian tenggelam.
Potret brutal Pertempuran Austerlitz itu disajikan sutradara Ridley Scott dalam film epik Napoleon (2023). Namun scene berdurasi hanya sekira lima menit itu satu-satunya adegan pertempuran yang memperlihatkan kejeniusan taktik dan strategi Napoleon. Sisanya, seperti penggambaran Pengepungan Toulon (29 Agustus-19 Desember 1793), Pertempuran Borodino (7 September 1812), dan Pertempuran Waterloo (18 Juni 1815) ditampilkan sebagai selingan semata tanpa menyuguhkan detail maupun taktik pertempurannya.
Padahal, Pertempuran Austerlitz punya makna penting. Selain sebagai peringatan setahun Napoleon menasbihkan dirinya sebagai kaisar, di pertempuran itulah pasukan La Grande Armée yang belum lama dibentuk mendapatkan kemenangan besar pertamanya.
Baca juga: Para Perempuan dalam Buaian Napoleon
La Grande Armée Menghancurkan Koalisi Eropa
Banyak sejarawan menilai kejeniusan taktik Napoleon tak kalah hebat dari taktik Hannibal, jenderal Kartago dalam Pertempuran Cannae (216 SM), atau Alexander Agung di Pertempuran Gaugamela (331 SM). Pertempuran Austerlitz, yang juga dikenal sebagai “Pertempuran Tiga Kaisar”, menjadi pembukti awalnya.
Pertempuran Austerlitz dilatarbelakangi kekhawatiran Inggris akan kekuasaan Napoleon selepas menjadi kaisar. Karena masih lemah dalam pertempuran di darat, Inggris merangkul dua monarki Eropa lain yang juga rival Napoleon: Kaisar Austria Franz I dan Kaisar Rusia Tsar Aleksandr I. Mereka membentuk Koalisi Ketiga untuk mencegah Napoleon menguasai Eropa usai Napoleon merebut Bavaria dan Italia Utara dari tangan Austria.
Kegemilangan Napoleon tak lepas dari kedigdayaan La Grande Armée-nya. Dibuat pada 1804, awalnya pasukan ini dibuat sebagai pasukan pantai, L’Armée des côtes de l’Océan.
Baca juga: Daendels Napoleon Kecil di Tanah Jawa
Pasukan yang berbasis di kota pelabuhan Boulogne, Prancis Utara ini mulanya berkekuatan 100 ribu prajurit yang ditempa pelatihan militer –di Boulogne, Bruges, dan Montreuil– lebih keras dari pasukan reguler. Pasalnya, pasukan ini awalnya dibentuk untuk menginvasi Inggris. Rencananya ongkos invasinya dibiayai anggaran yang berasal dari hasil penjualan wilayah Louisiana kepada Amerika Serikat pada 1803.
Armadanya dibangun kemudian di lepas pantai Republik Batavia (Belanda, red.) dengan bantuan Bataafsche Marine (Angkatan Laut Belanda) pimpinan Laksamana Carel Hendrik Ver Huell. Inggris yang mengetahui rencana itu, langsung mengirim 45 kapal perangnya ke Selat Inggris untuk menghadapi armada Batavia di Pertempuran Gris-Nez dan Blanc-Nez (18 Juli 1805).
“Napoleon juga sempat mempertimbangkan menggunakan armada balon udara sebagai upaya invasinya. Militer Prancis pertamakali menjajal penggunaan balon udara pada 1794. Namun alternatif itu dibatalkan setelah pakar aeronautika Madam Blanchard berasumsi invasi dengan balon udara akan gagal karena faktor angin,” tulis Bernard Horn dan Michel Wyczynski dalam Paras Versus the Reich: Canada’s Paratroopers at War.
Namun, invasi itu akhirnya dibatalkan. Menurut John T. Kuehn dalam Napoleonic Warfare: The Operational Art of the Great Campaigns, Napoleon merasa tidak mampu mengonsolidasikan armadanya untuk mengawal invasi menyeberangi Selat Inggris, di mana AL Inggris sukses memblokade Selat Inggris dengan agresif.
Napoleon lalu mereorganisasi pasukan elit yang sudah disiapkan tadi menjadi La Grande Armée. Buah pikiran Napoleon menghasilkan organisasi La Grande Armée di luar pasukan pribadinya, Garda Kekaisaran. Dalam reorganisasi La Grande Armée, Napoleon memperkenalkan sistem “korps”, sistem yang sampai saat ini masih ditiru setiap angkatan perang di kolong langit.
Baca juga: Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Jerman
Medio 1805, Napoleon mereorganisasi La Grande Armée menjadi pasukan berkekuatan tujuh korps plus Garda Kekaisaran dan pasukan kavaleri cadangan. Setiap korps berisi 15-30 ribu prajurit yang terdiri dari infanteri, kaveleri, artileri, serta pengintai dan zeni. Oleh karenanya setiap korps yang dipimpin seorang maréchal atau général de division (setara mayor jenderal) mampu bermanuver secara independen di luar pasukan inti La Grande Armée sesuai kebutuhan Napoleon.
“Dengan penyebaran kekuatan, Grande Armée seringkali mampu membuat kejutan terhadap pasukan lawan dengan keunggulan kecepatan manuvernya,” ungkap Rupert Smith dalam The Utility of Force.
Kekuatan yang fleksibel itu mengantarkan Napoleon meraih kemenangan gemilang di Serangan Ulm, 25 September-20 Oktober 1805. Manuver korps-korps La Grande Armée membuat pasukan Austria terperangkap hingga membuat Jenderal Karl Mack von Leiberich menyerah dengan 60 ribu pasukannya tertawan.
Tahu sekutunya menyerahkan diri, pasukan Rusia pimpinan Jenderal Mikhail Kutuzov yang mestinya bergabung dalam Serangan Ulm dengan Jenderal Mack, memilih mundur. Seiring Napoleon merebut Wina pada 12 November, Kutuzov mengonsolidasikan diri lagi di Ölmutz dengan sisa-sisa pasukan Franz I dan pasukan Tsar Aleksandr I yang baru tiba dari Rusia.
Baca juga: Napoléon Sang Pahlawan Revolusi Prancis
Dari Wina, Napoleon menggerakkan setengah kekuatan La Grande Armée, sekira 74.500 prajurit, untuk menemui pasukan koalisi yang punya kekuatan seimbang, 73 ribu prajurit. Napoleon sendiri yang menentukan medan laganya dekat kota Austerlitz (kini Slavkov u Brna, Republik Ceko).
“Napoleon membayangkan pasukan koalisi akan lebih kuat di sisi kanan untuk mengganggu jalur komunikasi dari Wina. Oleh karenanya barisan tengah dan kirinya akan terekspos dan rentan. Maka Napoleon meninggalkan posisi strategisnya di Dataran Tinggi Pratzen dan menyamarkan pasukan intinya untuk kembali merebut Dataran Tinggi Pratzen, lalu dari sana melancarkan serangan menentukan ke barisan tengah pasukan koalisi, membuat mereka pincang dan mengepung dari belakang,” tulis Gregory Fremont-Barnes dalam Napoleon Bonaparte: Leadership, Strategy, Conflict.
Napoleon sendiri bermarkas di di Zuran, terletak di belakang medan laga. Ia menempatkan Korps IV pimpinan Jenderal Jean-de-Dieu Soult di Pratzen menghadapi barisan tengah koalisi. Di sisi kanan terdapat Korps III pimpinan Jenderal Louis-Nicolas Davout untuk menghadapi sayap kanan pasukan koalisi. Korps V di bawah Jenderal Jean Lannes membuat kubu di sektor utara. Sedangkan Garda Kekaisaran dan Korps I pimpinan Jenderal Jean-Baptiste Bernadotte didisposisikan sebagai kekuatan cadangan. Tak lupa, Napoleon menempatkan satu resimen untuk membuat kubu pertahanan di Desa Telnitz sebagai “umpan”. Rencananya, resimen itu akan diperkuat dua brigade dari Korps III yang sedang dalam perjalanan ke Telnitz.
Meski cuaca masih berkabut, pasukan koalisi memulai serangannya ke Desa Telnitz dari Dataran Tinggi Pratzen sekira pukul 8 pagi dengan harapan bisa menyerang Napoleon dari sisi kiri. Serangan itu menandai dimulainya Pertempuran Austerlitz.
Baca juga: Kala Napoléon Dianggap Putra Nab di Mesir
Andrew Roberts dalam Napoleon: A Life menulis, sekira pukul 9 pagi Napoleon di markasnya terus menanti update dari pengintainya. Ia tidak sabaran untuk mendengar kabar setidaknya empat divisi musuh sudah turun semua dari Dataran Tinggi Pratzen.
“Ia bertanya pada Soult, ‘berapa lama pasukan Anda bisa mencapai puncak dataran (Pratzen)?’ Soult menjawab cukup 20 menit. Napoleon kemudian menunggu lagi selama 25 menit hingga akhirnya waktunya tiba, ia menegaskan, ‘mari kita selesaikan perang ini dengan sebuah petir!’” tulis Roberts.
Seiring kabut perlahan berganti terangnya sinar mentari pada pukul 10 pagi, Napoleon memerintahkan serangan kilat pasukannya dari Lembah Gladbach ke Dataran Tinggi Pratzen. Pasukan Divisi Saint-Hilaire jadi yang pertama menyapa pasukan lini tengah pasukan Rusia-Austria yang tak siap menerima kejutan itu.
Adu kekuatan nan sengit di Dataran Tinggi Pratzen selama dua jam tak terelakkan, hingga kemudian serangan enam resimen kavaleri Prancis dibantu Garda Kekaisaran berhasil mendesak pasukan koalisi yang sudah berantakan dan mundur. Akibatnya, pasukan koalisi di Telnitz dan Sokolnitz terperangkap. Sekira 200 sisa pasukan koalisi yang menembus kepungan justru tewas di sungai es ketika lapisan esnya dibombardir artileri Napoleon.
Pertempuran Austerlitz pun dimenangkan Napoleon dengan kehilangan 8.852 prajurit tewas sebagai harganya. Sementara, pasukan koalisi kehilangan sekira 36 ribu prajuritnya tewas. Seiring koalisi bubar, Franz I terpaksa menerima Traktat Perdamaian Pressburg pada 26 Desember 1805.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar