Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro
Di mana pun Henri Chevallier bertugas, selalu ada masalah besar, Perang Jawa salah satunya. Akibat nafsu seksnya, Pangeran Diponegoro ikut menjadi korban
BEGITU Napoleon Bonaparte menguasai Negeri Belanda, dia menjadikan adiknya, Luis Napoleon, raja di sana. Nusantara yang berada di bawah Hindia Belanda pun menjadi bawahan Napoleon.
Dalam waktu singkat banyak pemuda Belanda menjadi militer di tentara Napoleon. Namun setelah pengikut Napoleon diusir dari Belanda, negeri itu menjadi musuh Napoleon juga. Pemuda Belanda yang sebelumnya ikut Napoleon pun ganti bendera lagi. Maka saat Napoleon membangun pasukannya lagi pada 1815, Kerajaan Belanda ikut mengirim pasukan guna perang melawan Napoelon.
Salah satu pemuda yang ikut melawan pasukan Napoleon adalah Pierre Frederic Henri Chevallier. Dia adalah perwira kavaleri Belanda.
Lahir di Haderwijk pada 16 April 1795, Henri merupakan anak dari pasangan Petrus Chevallier dan Jacoba Arnolda Elizabeth Haesebroeck. Begitu menginjak remaja, dia menjadi serdadu kerajaan. Henri lalu ditempatkan di Belanda selatan sebelum akhirnya ditugaskan dalam perang melawan Napoleon. Dia terlibat dalam Pertempuran Quatre Bras dan Waterloo pada 1815.
Di pertempuran itu, Henri dianggap berani dan berhasil menembak dua kuda. Prestasi itulah yang, menurut Register Ridders Militaire Willemsorde (RMWO) 4e nomor 0569, membuat Henri dianugerahi Ksatria Orde Militer Willem (RMWO) berdasar Koninklijk Besluit tanggal 11 Agustus 1815 nomor 17.
Pada 1820, saat berpangkat letnan dua, Henri dikirim ke Hindia. Dia naik kapal dari pelabuhan Haderwijk, kota tempat kelahirannya. Haderwijk dikenal sebagai “Got Eropa”, tempat orang-orang Eropa yang miskin, bermasalah, atau mendekati sampah masyarakat dinaikan ke kapal dan dikirimkan ke Nusantara, koloni Belanda dan disebut Hindia Belanda.
Di Hindia, pangkatnya naik menjadi letnan satu. Namun dia hanya sebentar menjadi perwira di Hindia Belanda lantaran pada 1822 dia ditunjuk menjadi sekretaris Karesidenan Banten.
Namun saat dia baru beberapa bulan bertugas di karesidenan, kerusuhan muncul di daerah tempat tugasnya. Javaansche Courant tanggal 26 September 1822 memberitakan, di Serang pada 11 September 1822 terjadi kerusuhan yang dipimpin oleh Moerad dan pengikutnya.
Henri pun kembali angkat senjata. Bersama sepasukan berkuda, Henri membubarkan mereka. Henri bahkan menjadi orang yang menghabisi Moerad.
Prestasi itu membuat Henri dapat jabatan penting di Yogyakarta, asisten residen, sejak 1823. Henri berarti menjadi pembantu dari Residen Anthonie Hendrik Smissaert (1877-1832).
Namun, rupanya kedua pejabat itu tak bisa diandalkan. Bahkan, ketentraman dan ketertiban (rust en orde) di Keresidenan Yogyakarta rawan terancam. Menurut Pieter Johan Frederik Louw dan Eduard Servaas de Klerck dalam De Java-oorlog van 1825-30 Volume 1, Smissaert tidak cocok di Yogyakarta yang kerajaan dan Henri Chevallier yang sangat sombong untuk ukuran asisten residen malah melakukan hal “amoral” yang menimbulkan keresahan.
Kantor Residen Yogyakarta punya penerjemah, namanya Johannes Godlieb Dietrée. Dia punya aktivitas seksual yang meresahkan, yakni menjalin hubungan dengan Patih Danurejo, pemegang pemerintahan Kesultanan Yogyakarta atas nama raja. Dietrée dan Danurejo punya hasrat seks yang tak terkendali.
“Atas dorongan Danurejo dan Dietrée, Chevallier ikut bergabung dalam praktik perselingkuhan bejat itu,” tulis Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1795-1855.
Menurut Carey, hasrat seksual Henri digerakkan oleh kesombongan yang keterlaluan dan sikap rasisnya terhadap orang pribumi, dalam hal ini Jawa. Suatu kali, Henri melihat seorang perempuan sedang mandi sehingga hasrat seksualnya muncul. Dia lalu memberi perempuan itu sesuatu yang tidak menyenangkan.
Di lain waktu, Henri selama berhari-hari tinggal bersama seorang selir yang bukan miliknya. Perempuan bangsawan itu masih terhitung saudari dari Pangeran Diponegoro sekaligus selirnya. Maka begitu Pangeran Diponegoro mengetahui apa yang dilakukan Henri dan perempuan bangsawan tadi, dia tak mau menerima selir itu kembali ke rumahnya.
Alih-alih merasa bersalah dan lalu meminta maaf, Henri Chevallier yang sombong itu malah memperlihatkan sikap “sok kuaasanya” dengan mendatangi Pangeran Diponegoro di rumahnya di Tegalrejo. Henri bertanya kenapa Diponegoro tidak mau menerima selir itu kembali.
Pertanyaan itu memicu Diponegoro untuk menegaskan sikapnya. Dia pun menjawab pertanyaan Henri dengan cerdas: dia tidak memelihara selir untuk asisten residen.
Lagi-lagi, Henri Chevallier yang sombong tak menyesal sedikit pun. Dia malah berkata bahwa dirinya akan berlaku sesuka hati pada perempuan-perempuan pribumi. Dalam pertemuan, Henri Chevallier juga sempat memukul kepala Diponegoro.
Laku bejat Henri Chevallier itu menjadi bahan bakar bagi kemarahan Diponegoro yang memang sudah benci pada tingkah kolonialis Belanda di Jawa. Sang pangeran akhirnya memilih pergi dari Yogyakarta lalu memimpin perang besar terhadap Belanda. Perang yang meletus pada 21 Juni 1825 dan berakhir lima tahun kemudian itu dikenal dengan Perang Diponegoro atau Perang Jawa.
Chevallier sendiri setelah perang meletus terkena tulah dari laku bejatnya. Pada 11 November 1825, dia meninggal dunia.
“Chevallier, seorang rasis yang menjadi khas hasil dari dunia Eropa pasca-Revolusi, yang kemudian dilaporkan meninggal karena diracun,” catat Peter Carey dalam Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar