Masuk Daftar
My Getplus

Orang Utan di Ambang Kepunahan

Primata khas Nusantara itu kini menjadi satwa yang dilindungi. Namun populasinya kian menyusut akibat ulah manusia.

Oleh: Martin Sitompul | 05 Nov 2020
Orang utan yang sedang gelantungan di pohon. (123rf.com).

Orang utan tentu familiar bagi masyarakat Indonesia generasi 1990-an. Primata khas Nusantara itu pernah menjadi ikon dalam uang kertas pecahan 500 rupiah emisi tahun 1992 yang beredar hingga 1999. Dalam satu sisi di lembar uang tersebut, nampaklah sesosok orang utan dewasa sedang bermain-main di atas cabang pohon sambil tersenyum. Simbol inilah yang dulu pernah dijadikan bahan lawakan oleh seorang komedian dan menyebabkan dia sempat berurusan dengan aparat Orde Baru pada era 1990-an.

“Kehadiran” orang utan dalam pecahan uang 500 rupiah ternyata punya muatan pesan. Saat itu, pemerintah sedang mempromosikan orang utan sebagai satwa nasional yang statusnya dalam perlindungan. Orang utan ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990. Menteri Kehutanan menyusul kemudian lewat Surat Keputusan No. 331 pada 10 Juni 1991.

Upaya konservasi terhadap orang utan sebenarnya telah dimulai sejak zaman kolonial. Pada 1931, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 233 yang melindungi orang utan. Namun seiring waktu, keberadaan orang utan justu makin terancam. Populasinya menurun dari tahun ke tahun. Apa yang menyebabkannya?    

Advertising
Advertising

Diburu Manusia

Populasi orang utan tersebar di dua pulau besar Indonesia: Sumatra dan Kalimantan. Orang utan Sumatra (Pongo abeii) memiliki rambut yang lebih terang dibandingkan dengan orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Sementara itu, orang utan Kalimantan berkelamin jantan punya ciri khas pada pipinya yang berkelepak. Perbedaan lainnya, orang utan Sumatra lebih mudah akrab dengan sesamanya dibandingkan orang utan Kalimantan.

Belakangan, penemuan orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) menambah daftar spesies orang utan yang ada di Indonesia. Orang utan Tapanuli punya tengkorak yang lebih kecil tapi taringnya lebih besar daripada dua spesies lainnya. Seperti namanya, orang utan Tapanuli berasal dari Tapanuli, tepatnya daerah Batang Toru, Tapanuli Selatan.    

Orang utan Sumatra dapat ditemukan di Taman Nasional Gunung Lauser di Aceh sedangkan di Kalimantan relatif lebih banyak terdapat lokasi konservasi. Beberapa diantaranya di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah, Taman Nasional Kutai dan Bukit Semboja di Kalimantan Timur, serta Gunung Palung, Betung Karihun, Danau Sentarum, Sebangau, dann Bukit Bakar Raya. Beberapa konservasi juga terdapat di utara Kalimantan, yakni Sabah dan Sarawak yang termasuk ke wilayah Malaysia.

Baca juga: Orang Utan dalam Catatan Masa Silam

Menurut Wildan Yatim, ahli primata terkemuka, musuh orang utan sesungguhnya tidak banyak. Di Sumatra musuhnya hanyalah siamang, macan, dan macan tutul. Ular mungkin juga mematuk dan melilit mereka tapi itu jarang sekali terjadi. Musuh terbesar orang utan justru adalah manusia yang kerpa memburunya.

Dahulu kala, orang Dayak di Kalimantan Barat suka menangkap orang utan untuk dipelihara dalam kurun waktu tertentu. Biasanya induknya disumpit. Dagingnya dimakan. Lalu anaknya dipelihara, disusukan dengan susu manusia. Setelah cukup besar dan gemuk, dibunuh, kemudian dagingnya dikonsumsi sebagai penganan. MUngkin itulah sebabnya orang utan Kalimantan lebih beringas tatkala melihat manusia.   

Perilaku manusia yang mengancam orang utan bukan cuma soal perburuan dan makanan. Orang utan juga ditangkapi hidup-hidup untuk berbagai kepentingan komersil. Ada yang menjadikan orang utan koleksi dalam kebun binatang. Selain itu, orang utan yang punya anatomi mirip manusia kerap diteliti sebagai percobaan di laboratium. Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah perdagangan orang utan di pasar gelap.

Orang utan yang tersenyum dalam lembar Rp. 500 emisi tahun 1992. (Public domain).

Di mata penyelundup dan pedagang hewan langka, orang utan menjadi komoditi bernilai tinggi. Manusia rakus ini tahu benar kalau orang utan amat banyak peminatnya di luar negeri. Terlebih lagi, bagi negara maju yang sudah mapan secara ekonomi punya permintaan terhadap orang utan sebagai peliharaan atau penghuni kebun binatang.

“Monyet besar itu dihargakan di pasar gelap Rp 90 juta, seekornya. Jelas bikin ngiler para penyelundupnya,” dilansir majalah Warnasari No. 144, Januari 1991.

Baca juga: Sarimin (Tak) Pergi Ke Pasar

Berita Warnasari menyebut, penyelundup dari negeri Taiwan yang paling banyak mencuri orang utan dari Indonesia. Taiwan disebut-sebut sebagai satu-satunya pasar anak orang utan terbesar sejagad. Pada 1991, tercatat ada sekira 700-1000 orang utan yang dikandangkan siap untuk masuk pasar. Sayangnya, Taiwan bukan anggota Konvensi Internasional Perdagangan Fauna dan Flora Langka (CITES). Akibatnya, mereka dengan bebas memperdagangkan orang utan tanpa harus khawatir dihadang Undang-Undang CITES.

“Itulah sebabnya manusia merupakan musuh terbesar orang utan. Karena diincar terus, dijual, dan diangkut keluar negeri,” kata Wildan Yatim dalam Mengenal Orang Utan.

Penyusutan Populasi

Dari sekian banyak ulah manusia, perusakan habitat merupakan tindakan yang paling membahayakan orang utan. Padahal, naturalis Inggris Alfred Wallace sejak pertama kali meneliti orang utan di Kalimantan pada 1855 telah menguraikan seperti apa habitat yang patut bagi orang utan. Wallace mengatakan hutan perawan yang luas dan tidak terputus serta seluruhnya berpohon tinggi penting bagi kelangsungan hidup orang utan.

“Hutan seperti itu akan membentuk daerah terbuka bagi mereka, di mana mereka bisa mengembara ke segala arah dengan kecakapan tinggi seperti orang Indian di padang rumput, atau orang Arab di padang pasir, menyeberang dari puncak pohon ke puncak pohon tanpa harus turun ke tanah,” ujar Wallace dalam The Malay Archipelago (Kepulauan Nusantara)

Baca juga: Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia

Pada kenyataannya, hutan-hutan di Indonesia terus menerus tergerus. Hutan dirambah untuk dijadikan kebun kelapa sawit, penebangan kayu, dan konversi lahan lainnya. Tanpa disadari, orang utan kehilangan habitatnya perlahan. Padahal, orang utan merupakan garda terdepan pelestarian hutan sebab mereka menabur biji-bijian lewat perilaku makannya.

“Tempat tinggal dan sumber makanan mereka jadi susut cepat. Mereka pun kurang makan, mendapat tekanan batin dan dihinggapi rasa cemas terus-menerus. Akhirnya mereka merana, lalu mati,” kata Wildan Yatim.

Gerakan konvervasi orang utan baru digiatkan pada dekade 1960 lewat program rehabilitasi. Tujuannya menambah populasi dan meningkatkan kualitas hidup orang utan. Namun pada 1970, populasi orang utan dikabarkan tinggal 5000 individu. Pada 1980-an dan 90-an, beberapa pelestari lingkungan meramalkan orang utan akan punah dalam 20 atau 30 tahun kemudian.

Baca juga: Janganlah Penyu Punah

Mimpi buruk kepunahan orang utan memang belum terjadi. Penelitian terkini memperoleh angka yang lebih besar terhadap populasi orang utan. Namun, ini tidak berarti bahwa dunia orang utan baik-baik saja. Jumlah yang lebih tinggi ini akibat metode survei yang lebih cermat serta penemuan populasi baru, bukan karena pertambahan populasi sebenarnya.

“Malah, populasi keseluruhan orang utan turun sekurangnya 80 persen dalam 75 tahun terakhir,” tulis National Geographic Indonesia, Desember 2016. “Laporan 2013 yang disusun beberapa peneliti terkemuka menyatakan bahwa sebanyak 65.000 orang utan mungkin dibunuh di Kalimantan saja dalam beberapa dekade terakhir.”

Baca juga: Burung Surga dalam Bahaya

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016, diperkirakan terdapat 71.820 individu orang utan yang tersisa di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Namun, lembaga konservasi non-pemerintah WWF menyebutkan bahwa ketiga spesies orang utan yang ada di Indonesia berstatus kritis. Temuan ini berdasarkan daftar merah dari Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).

Dari ketiga spesies, orang utan Sumatra merupakan yang paling terancam punah karena mengalami penyusutan paling cepat. Hilangnya hutan yang menjadi habitat primata ini menjadi penyebab utamanya.  Jumlah orang utan Sumatra diperkirakan tinggal 14.000-an. Jika kerusakan hutan terus berlangsung, maka bukan hal yang mustahil jika gambar orang utan tersenyum dalam lembar uang 500 rupiah hanya tinggal kenangan.

TAG

orang utan fauna sejarah-fauna

ARTIKEL TERKAIT

Serba-serbi Hewan Kesayangan Michael Jackson (Bagian II – Habis) Serba-serbi Hewan Kesayangan Michael Jackson (Bagian I) Timah dan Tuan Besar Orang Utan dalam Catatan Masa Silam Cenderawasih, Si Burung Surga dalam Bahaya Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Di Balik Operasi Bayi Biru yang Bersejarah Penyakit Sifilis di Hindia Belanda Asal Nama Bengkulu