INDONESIA tak pernah kehabisan orang pintar (bukan paranormal), termasuk yang punya visi jauh ke depan. Hanya saja, dalam hal kemajuan sains dan teknologi mesti diakui kita masih mengejar ketertinggalan hingga detik ini. Padahal “Bung Besar” Presiden Sukarno sudah mewariskan gagasannya untuk bisa dilanjutkan tongkat estafetnya.
Gagasan Bung Karno untuk memanfaatkan sains dan teknologi tentu bertujuan menyejahterakan seluruh bangsa Indonesia. Namun, sejak merdeka golongan “akar rumput” hanya jadi penonton segelintir elite yang menikmati kesejahteraan.
Untuk menguasai sains dan teknologi, dasarnya adalah pendidikan dan literasi atau minat membaca. Sayangnya, sampai saat ini rata-rata persentasi literasi di negeri ini sangat memprihatinkan. Survei Program for International Student Assesment (PISA) pada 2019 menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara.
“Literasi menjadi salah satu fondasi kemajuan bangsa. Rata-rata negara maju itu literasinya tinggi semua. Contoh, Jepang sebelum Perang Dunia I dan II, mereka literasinya sudah mendekati 100 persen,” kata Dr. Petit Wiringgalih, inspektur keselamatan nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), dalam dialog sejarah Historia bertajuk “Bung Karno dan Supremasi Sains”, Jumat (24/6/2022).
Baca juga: BPPT, Riwayatmu Kini
Padahal, minat baca akan membuka berbagai kemungkinan fakta dan data. Muaranya, pemikiran dengan nalar yang lebih baik. Utamanya ketika kaum intelektual yang menggali literasi memberi masukan pada pemerintah agar menelurkan kebijakan yang masuk akal.
“Contohnya Singapura, 40 tahun lalu mereka bukan negara yang bisa produksi apapun, tapi sekarang menjadi economic hub di Asia Tengara. Korea Selatan pada 1960-an lebih miskin daripada Indonesia karena mereka perang saudara. Tapi habis perang Korsel berinvestasi besar di sektor pendidikan hingga membuat keajaiban ekonomi Asia seperti sekarang. Jadi saya pikir literasi adalah fondasi buat kita membangun bangsa yang lebih maju,” imbuh pakar fisika nuklir jebolan University of Manchester tersebut.
Di sisi lain, penguasaan sains dan teknologi melalui literasi juga tak bisa dilepaskan dari ekosistemnya. Dalam hal ini pemikiran-pemikiran maju kaum intelektual hasil literasi yang baik dan produktif bisa muncul untuk kemaslahatan publik. Akan percuma jika negara mengkongkosi pemuda-pemuda Indonesia belajar ke luar negeri dengan label ikatan dinas namun ekosistemnya tak dibuat sebagaimana mestinya.
“Kalau di negara-negara maju seperti di Barat, ada patron-patron orang kaya yang sengaja membiayai pusat-pusat pendidikan untuk membangun intelektual-intelektual yang bisa bekerja. Prinsipnya sama, ilmuwan tidak gila harta tapi butuh hidup. Jika kebutuhan basic-nya dipenuhi lingkungan, maka akan mendorong kemajuan dan perubahan. Itu yang terjadi di Cina, di Jepang, di mana mereka sudah merangkul meritokrasi sehingga orang-orangnya bisa sukses,” tambah Petit.
Baca juga: Habibie Kecil dan Soeharto Muda
Butuh waktu memang. Terlebih untuk bisa mengubah kultur yang ada di Indonesia, utamanya birokrasi, bergerak lamban menjawab kebutuhan akan ekosistem yang kondusif.
“Pak (Bacharuddin Jusuf) Habibie menjadi Habibie saat ini lebih dulu melampaui lompatan luar biasa dalam ekosistem yang sangat kondusif (di Jerman). Kalau Pak Habibie langsung pulang setelah lulus S2 atau S3 dari Jerman, mungkin dia sibuk fotokopi, bikin kwitansi. Ini fakta yang bahkan terjadi sampai hari ini. Betapa kita capek, energi kita habis untuk hal-hal yang enggak substantif dan enggak ada manfaatnya sama sekali,” sambungnya berkeluh kesah.
Belakangan, muncul fenomena “Brain Drain”. Yakni fenomena di mana banyak orang Indonesia yang mengenyam mendidikan di luar negeri enggan pulang. Selain karena faktor fulus yang lebih menjanjikan, ekosistem di tanah-air yang belum kondusif juga memainkan faktor penting.
“Saya lulus S1 tahun 2000 saja dari Australia mengalami counter culture shock. Syok saya lebih berat saat kembali ketimbang saat berangkat ke Australia. Di luar negeri kita dituntut profesional, di sini beda. Di sini taat aturan, taat atasan, jadi energi kita habis enggak produktif, walau sekarang pemerintah mulai berbenah. Sekarang indikator kinerja untuk pegawai negeri, terutama fungsional, sudah mulai berbasis output ketimbang proses (administratif),” tambah Petit.
Walau sudah berbenah namun belum holistik, sistematis, dan masih ada kemungkinan berubah-ubah lantaran di republik ini lazimnya ganti pemerintahan ganti kebijakan. Itu juga yang berkelindan dengan tersendatnya kemajuan teknologi dan sains sejak fondasinya dibangun Bung Karno: tidak kontinyu.
“Sebenarnya kita mampu, bahkan menjadi negara mandiri. Yang penting kita harus punya kebijakan jangka panjang yang kontinyu. Bukan semacam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), tapi visi dengan peta jalan lewat pengembangan sains. Kestabilan politik jadi salah satu pengaruh agar kita bisa mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju,” paparnya lagi.
Jejak Tapak Nuklir Bung Karno
Bukti visionernya Bung Karno lewat gagasan penguasaan sains dan teknologi untuk menyawab tantangan zaman adalah nuklir sebagai energi bersih untuk tujuan damai. Tantangan zaman yang dimaksud adalah krisis energi dan pemanasan global yang memicu perubahan iklim.
Setelah ratusan tahun umat manusia menikmati energi fosil, anak cucunya sekarang mendapat “getahnya”. Pemanasan global memicu kenaikan permukaan air laut dan cuaca ekstrem. Melonjaknya pencemaran karbon dioksida, terutama sejak 1940, kini justru menyulitkan banyak negara maju.
Di sini pula Petit berharap pemerintah Indonesia juga bisa belajar dari “kesalahan” negara-negara Barat, terlebih Eropa yang mulai menjerit krisis energi gegara konflik Ukraina-Rusia. Petit mencontohkan Jerman, yang sebelumnya begitu percaya diri menutup banyak PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) dan malah menggantungkan sumber energinya pada pasokan gas alam dan batubara dari Rusia yang lantas diembargo NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) dkk.
“Rusia seperti jantung buat Eropa untuk ketahanan energi. Lucunya, contoh Jerman, tidak berpikir reliability. Mereka cari yang murah dari Rusia. Nuklirnya pun ditutup dan kini membuat Jerman makin sulit karena ngotot menutup sisa PLTN yang masih ada. Padahal PLTN mereka sudah beroperasi dengan baik dan jelas-jelas tidak menghasilkan emisi karbon. Mereka malah melukai diri sendiri,” tutur Petit.
Baca juga: Serba-serbi Chernobyl
Bicara nuklir atau tenaga atom untuk kesejahteraan, sejak 1950-an Bung Karno tak ingin ketinggalan dari negara-negara maju. Pandangan Bung Karno soal nuklir pertamakali ia sampaikan ke hadapan publik dalam pidatonya di Istana Negara pada 12 Juni 1958. Menukil “Inventaris Pribadi Roeslan Abdulgani No.80” yang tersimpan di Arsip Nasional RI (ANRI), Bung Karno dengan tegas menolak pengembangan nuklir untuk senjata pemusnah massal.
“Namun bukan berarti Sukarno memalingkan muka dari teknologi nuklir. Ia melihat nuklir sebagai teknologi penting yang harus dikuasai dan dikembangkan Indonesia demi tujuan-tujuan damai. Pandangan Sukarno direalisasikan dengan membentuk lembaga khusus di bidang nuklir,” tulis peneliti sejarah University of London Teuku Reza Fadeli dalam Nuklir Sukarno: Kajian Awal atas Politik Tenaga Atom Indonesia, 1958-1967.
Fadeli mengacu pada pembentukan Panitia Penjelidikan Radioaktivitet dan Tenaga Atom (PPRTA) pada 23 November 1954 yang diketuai Menteri Kesehatan Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy. PPRTA kemudian direorganisasi menjadi Dewan Tenaga Atom (DTA) dan Lembaga Tenaga Atom (LTA) lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 1958. LTA sendiri merupakan cikal-bakal Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN, kini Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional/ORTN BRIN).
Reaktor nuklir jadi suatu keharusan untuk penelitian dan pengembangan. Lewat kerjasamanya dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) serta perjanjian bilateral dengan Amerika, Indonesia membangun Reaktor TRIGA-Mark II di Bandung yang rampung pada 1965. Bung Karno amat berharap reaktor itu jadi titik nol kemajuan teknologi nuklir Indonesia untuk perdamaian dunia dan kesejahteraan rakyat.
Baca juga: Kisah Bom Atom Buatan Indonesia
TRIGA-Mark II dibangun dengan dana hibah dari Amerika sebesar USD350 ribu. Namanya dicomot dari makna “Training, Research, and Isotope production by General Atomic”. General Atomic merupakan kongsi pembuat reaktor Mark II.
Guna mewujudkan harapan itu, sumber daya manusia (SDM) Indonesia disiapkan sejalan dengan pembangunan TRIGA-Mark II. Negara menyekolahkan 16 lulusan Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung ke beberapa negara maju seperti antaranya Amerika, Uni Soviet, Yugoslavia, dan Jepang.
“Kita harusnya berterimakasih pada Bung Karno karena ia pemimpin dengan visi besar supaya kita tidak tertinggal secara teknologi. Walau beliau sudah tiada, faktanya jejak itu sudah ada bahwa beliau berniat membangun Indonesia sebagai negara adidaya di bidang sains, termasuk teknologi nuklir untuk tujuan damai,” sambung Petit.
TRIGA-Mark II sendiri merupakan salah satu reaktor Generasi I tipe SPR (Swimming Pool Reactor) yang memanfaatkan air di kolam terbuka sebagai moderator neutronnya. Reaktornya punya kapasitas 250 kilowatt (KW) dan sampai detik ini masih dioperasikan ORTN BRIN.
Selain itu, Indonesia mendapat bantuan kredit dari Uni Soviet untuk membangun fasilitas pendukung Reaktor IRT-1000 di Serpong. Diikuti bantuan pembangunan proyek subcritical assembly di Yogyakarta pada awal 1964.
Energi nuklir kembali jadi perhatian pemerintah sejak akhir 1970-an dengan dibangunnya Reaktor Nuklir Kartini di Sleman, Yogyakarta yang jenisnya juga Reaktor TRIGA-Mark II. Itu ditambah dengan pembangun Reaktor Serbaguna (kini RSG G. A. Siwabessy) dan laboratorium pendukungnya di kawasan Puspiptek (Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) atas dorongan Menristek BJ Habibie pada 1983 yang rampung pada 1987.
Baca juga: Indonesia Bikin Bom Atom, Amerika Kelabakan
RSG Serpong, yang merupakan reaktor buatan Interatom Internationale, Jerman, juga didukung sejumlah peralatan dan instalasi fabrikasi bahan bakar, uji bahan bakar, uji limbah, uji sistem reaktor, hingga uji simulasi kecelakaan. Jadi meskipun RSG Serpong masih reaktor non-PLTN, ia tetap bisa digunakan untuk serangkaian pengujian penting menuju PLTN, selain untuk memproduksi radioisotop.
“Dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, kita memiliki tiga reaktor nuklir yang sudah beroperasi, walau tidak menghasilkan daya tapi untuk penelitian. Beroperasi dengan baik dan aman karena selalu kita inspeksi. Obat-obat untuk terapi kanker sekarang produksi radioisotopnya ada di (RSG) Serpong,” lanjut Petit.
Isu PLTN untuk pasokan energi kembali mengemuka untuk menjawab krisis pemanasan global. Hingga saat ini Indonesia masih menggantungkan sebagian besar pasokan listriknya dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dengan bahan bakar batubara.
Menurut data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM pada Januari 2022, hingga kurun setahun pada 2021 total pasokan listrik mencapai 73.736 Megawatt (MW). PLTU masih mendominasi 50 persennya dengan 36.976 MW, diikuti Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) sebagai runner-up dengan 12.412 MW (17 persen).
Baca juga: Awal Mula Tambang Batubara
Pembangkit listrik dari energi baru terbarukan (EBT), entah tenaga surya, biomassa, maupun geothermal (panas bumi), masih termarjinalkan dengan 2.223 MW (3,2 persen). Tenaga nuklir yang hanya jadi salah satu opsi kerap dipandang sebelah mata dan nyaris tak pernah jadi perhatian serius para pengambil kebijakan sebelumnya.
Menukil siaran pers Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) tanggal 17 Februari 2022 di laman resminya, Menteri Arifin Tasrif dalam rapat kerjanya dengan Komisi VII DPR RI memaparkan program prioritas transisi energi dalam rangka menuju NZE (net-zero emission) 2060 sebagai ketaatan pemerintah akan komitmen COP 26 (26th Conference of the Parties) pada Climate Change Conference di Glasgow yang diteken 13 November 2021. Salah satu programnya adalah perencanaan strategi pengelolaan energi jangka panjang guna meminimalisir emisi karbon dan beralih ke energi bersih serta ramah lingkungan, di mana penggunaan nuklir sebagai salah satu EBT untuk energi listrik diniatkan akan dibangun dan beroperasi mulai 2049.
“Faktanya nuklir itu kunci masa depan karena energi density-nya sangat besar. Saat kebijakan basa-basi ketemu dengan hukum fisika, maka hukum fisika yang menang karena hukum fisika mengatakan energi density terbesar sampai saat ini adalah nuklir. Dengan energi density yang besar maka dampak ekologinya makin kecil karena limbahnya makin kecil,” tambah Petit.
Di Asia Tenggara, atau bahkan dibanding Australia, kata Petit, Indonesia boleh saja berbangga punya tiga reaktor nuklir yang produktif menghasilkan radioisotop yang lebih maju. Namun mesti diakui, soal keberanian mengambil kebijakan terkait PLTN, Indonesia sudah tertinggal dari negara seperti Bangladesh.
Bangladesh sudah punya rencana konkret tentang PLTN sejak 2001 dan sembilan tahun berselang mencapai kesepakatan kerjasama dengan Rusia untuk membangun dua unit PLTN Rooppur di tepi Sungai Padma dengan reaktor PWR jenis VVER. PLTN unit pertama bakal rampung 2023 dan yang kedua setahun kemudian.
“Sebenarnya nuklir kita nomor satu dari besarnya fasilitas dan kelengkapan. Kita sudah bisa buat bahan bakar sendiri kok. Dibanding Malaysia, Filipina, bahkan Australia, kita nomor satu. Jadi ironis sekali sekian tahun investasi tapi kita tidak pernah move forward untuk menjadi negara yang diidam-idamkan Bung Karno,” tandas Petit.
Baca juga: Arus Sejarah Baterai Penopang Mobil Listrik